“Kamu cuci dulu, kemudian kupas, baru dipotong-potong dadu untuk wortel dan kentangnya. Kalau buncis dipotong senada.” Aku menyerahkan satu baskom ukuran sedang ke Rima. Ceritanya sekarang ini, kami sedang praktek membuat masakan praktis. Sop daging. Setelah kejadian semalam, ternyata Rima pesan makanan di luar. Katanya itu restoran tempat langganan keluarga Lee. Rasanya enak dan patut dijadikan langganan.Gadis itu tidak hanya meminta layanan antar, dia juga meminta untuk menyiapkan makanan langsung di meja makan. Pantas saja penyajiannya terlihat standar restoran.Aku tidak bisa protes, karena kegagalan menyiapkan makanan karena si pengajar-aku-justru bergelung di balik selimut.“Maafkan Tante, ya. Tidak jadi praktek masak,” ucapku, kemudian menyenggol kaki Mas Suma sambil mendengus ke arahnya. Dia hanya tersenyum dan asyik melanjutkan menikmati sup tofu.“Rima yang minta maaf, Tante. Rima tidak bisa masak.” Gadis itu mengerjap dengan sorot mata menyesal.“Besok saja kita praktek
“Mas Suma. Mami datang!” seruku setelah berlari menujua ruang baca. Mas Suma yang sedang membaca buku, menundukkan kepala bersamaan dengan menurunkan gagang kaca mata, dan mata ke menatapku. “Memang kenapa?” “Aku belum cerita tentang Rima. Nanti Mami marah seperti biasanya kalau ketinggalan berita,” ucapku mengingatkan yang sudah-sudah. Nyonya Besar terkadang merasa tidak dihargai kalau tidak diikutkan pada hal-hal pribadi. Terlebih ini mengenai Rima, calonnya Wisnu-jadi calon anggota baru keluarga ini. Memang Wisnu buka cucu kandung, tetapi rasa sayang mertuaku kepada anakku tidak dibedakan. “O, gitu. Ya tinggal suruh anak dua itu jalan-jalan ke mall. Jadi kalau Mami ke sini tidak ketemu Rima dulu. Nanti setelahnya, baru kita ajak dia sowan ke rumah Mami. Gitu saja kok repot,” ucapnya sambil menggerakkan tangan memposisikan kaca mata ke semula. “Mas ….” “Apalagi?” Kali ini dia mengernyit. Aku menunduk, mendekat padanya. “Masalahnya Mami sudah di sini.” Sesaat Mas Suma diam dan
Menantu perempuan dan mertua perempuan bisa menjadi teman, tetapi bisa juga menjadi saingan. * “Kamu sudah mengenal Rima berapa lama?” Nyonya Besar melontarkan pertanyaan sambil menaruh cangkir di meja, tanpa menatapku. “Kalau bertemu langsung, baru satu minggu, Mi. Tapi, saya dan Mas Suma sudah lama mendapat ceritanya dari Wisnu.” Kakiku merapat dengan jemari tangan terkait bertumpu di pangkuan. Mataku berposisi siap menatap mertuaku yang mengernyitkan dahi. “Bukannya kalian baru kembali dari Bali?” Dahinya semakin berkerut, dan sekarang telunjuknya bergerak. “Jadi kalian …?” “Iya. Mami. Kami bertemu di Bali. Rima pun juga ke sana saat menjenguk Wisnu, makanya dia kami ajak liburan bersama.” Tangannya bergerak ke atas, merapikan sasakan rambut yang begitu tinggi. Menolehkan kepala ke arah cermin di sebelahnya. Seakan mematut, supaya penampilannya tidak berubah. Aku masih belum berani bernapas lega. Sikap Mami terkadang tidak bisa terbaca. “Kalian ini begitu berani, ya. Memasuk
“Kamu diapain?” tanya Mas Suma menyambutku ketika membuka pintu kamar. Ini berarti selama aku berbincang dengan Nyonya Besar dia bersiap di depan sini. “Ngobrol saja. Mami kangen sama aku,” ucapku sambil bergegas ke belakang. Aku mencari Bik Inah. Sekarang gilirannya menemani mertuaku untuk melanjutkan tugas seperti biasanya. Pijit. Ini sudah seperti syarat wajib kalau Mami berkunjung. Sentuhan tangan Bik Inah di kedua kaki menjadi rutinitas. Bukan Mas Suma kalau dia sabar menunggu. Tanganku di cekal sebelum keluar pintu belakang. “Kamu tidak dimarahi, kan?” Aku tersenyum. Melihat matanya yang menyorotkan kekawatiran. “Nanti aku cerita di kamar. Sebentar aku cari Bik Inah dulu.” “Ran__” “Sebentar. Mas Suma mau Mami marah karena tidak segera dipijit?” ucapku memaksa dia melepas tangannya. Seakan sadar, seketika tangannya terangkat. “Ok! Ok! Aku tunggu di kamar. Jangan lama-lama. Penasaran,” ucapnya sambil mencolek pipi ini dan berlalu. Baru saja membuka pintu belakang, Bik Inah
“Tidak marah, kan?”“Sekarang tidak. Tapi nanti setelah Mami pulang, I-YA!” jawabku dengan melototkan mata. Cerita yang aku rangkum tentang pembicaraan dengan Nyonya Besar, menguap begitu saja. Sekarang terganti dengan menuntut penjelasan apa yang dibicarakan Mas Suma.Rasa kesal masih terasa lekat, setelah mendengar pengakuannya. Namun, kemarahan ini harus ditunda karena ketukan pintu dan suara Amelia. Tidak mungkin aku menunjukkan kekesalan di depan mertuaku nanti. Bisa-bisa masalah menjadi besar dan berkembang.“Mama! Papi! Semua sudah siap.”Aku bergegas berdiri dan diikuti Mas Suma yang berusaha mensejajari. “Marah kok bersambung,” celetuknya sambil meraih tangan ini. Aku menepisnya kesal. Dia justru tertawa.Terdiam beberapa saat dan menghirup udara saat tangan ini memegang gagang pintu. Aku harus merubah wajah kesalku dengan senyuman gembira.Ceklek.“Ma. Eyang, Amelia panggil sekarang, ya? Meja sudah siap ditata. Kita makan bersama sekarang saja. Amelia sudah lapar,” ucapnya s
Seorang istri memang terlihat suka ngeyel. Bahkan sering disematkan label kalau istri itu selalu benar dan tidak mau dibantah. Namun, apakah dimengerti kalau di hati istri sebenarnya adalah kebalikannya?Dia meletakkan dirinya di nomor terakhir dari seluruh anggota keluarga. Entah itu anak ataupun suami. Di balik sikapnya yang terkesan tidak mau dibantah, sebenarnya dia selalu mengalah. Hati dan perasaannya dia abaikan demi keluarga. Seperti sekarang ini, aku bersiap memenuhi undangan keluarga Dewi--mantan istri Mas Suma, ibu kandung Amelia.“Apa tidak ada alasan supaya aku tidak harus datang? Bilang saja aku tidak enak badan. Kamu bisa datang bersama Amelia.”Mas Suma tersenyum, berpindah duduk di sebelahku. “Kalau aku memberi alasan seperti itu, yang ada di pikiran mereka bukan tidak enak badan. Tetapi tidak enak hati.”“Memang iya,” sahutku sambil tersenyum miring.Hal yang paling aku benci saat mendapat tuduhan yang tidak aku lakukan. Aku menerima cacian dan makian kalau aku salah
Jajaran mobil menyambut kami, menunjukkan seberapa besar syukuran yang katanya sederhana ini. Beberapa pegawai dengan seragam restoran yang aku tahu pun menyambut kami. Pantas saja, Dewi mengeluh kerugian karena mengundurkan tanggal acara ini. Pasti anggarannya tidak sedikit.Masih belum masuk di kepalaku, kenapa Patrick suami Dewi bersikukuh seperti itu. Hanya gara-gara Mas Suma tidak bisa menghadiri acara ini. Walaupun tadi di perjalanan Mas Suma sempat mengungkapkan penyebabnya, katanya dia berbincang langsung dengan Patrick melalui telpon kapan hari.Untungnya, mobil dikemudikan oleh Pak Maman. Jadi aku leluasa mengorek ini kepada Mas Suma.“Patrick itu mengadakan syukuran karena masih diberi kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga dalam keadaan baik-baik saja. Dan katanya, itu karena aku. Kalau aku tidak datang, dia merasa tidak lengkap. Karena ini sebagai rasa terima kasih kepadaku.”“Segitunya?”“Iya, lah, Ran. Dia itu keluar penjara lebih cepat karena aku. Rahasia kejahata
“Mami Dewi cantik sekali!” seru Amelia.Teriakannya merubah senyuman kaku di wajah Dewi menjadi mengembang sempurna. Amelia menghambur di pelukannya. Mereka saling membisikkan kata kangen. Kasih sayang antara ibu dan anak terlihat jelas di sana. Aku bahagia melihat mereka mulai dekat.“Maminya Amelia,” ucapku kepada Rima dan Kevin. Aku mengajak mereka untuk mendekat.Mungkin merasa kehadiran kami, Amelia mengurai pelukannya. Dia menarik tangan Rima. “Ma. Ini Kak Rima. Kekasihnya Kak Wisnu. Cantik, ya?”Sesaat matanya memindai Rima, kemudian menyambut uluran tangannya. “Wisnu pintar mencari calon teman hidup, ya. Kenalkan saya Mami asli dari Amelia. Panggil saja Tante Dewi.”“Saya Rima, Tante. Senang berkenalan dengan Tante Dewi. Kalau tidak diajak ke acara ini, saya tidak tahu kalau Amelia punya ibu asli. Karena Tante Maharani begitu sayang kepada Amelia seperti ibu kandung. Iya, Mel?”Rima mengucapnya dengan nada biasa dan sikap yang tenang. Menunjukkan dia bisa mengontrol diri. Mun