"Selamat!" Rima membalikkan badan, kemudian memberikan senyum tipis. Sementara Galih masih terpaku, menatapnya dengan sendu, tiga bulan ini memang banyak yang ajaib dalam hidupnya, bahkan keputusan untuk menikah batu saja diambil dua Minggu yang lalu. Sebuah keputusan yang berat, juga kesadaran bila dirinya dan Rima bukanlah jodoh."Aku tidak akan mengundangmu, jadi kamu tidak perlu datang," ucap Galih.Rima menganggguk. "Baik, aku tidak akan datang.""Aku bukan membencimu, aku hanya takut saja. Tidak perlu dijelaskan, kamu tentunya paham. Aku berusaha meraihmu, tapi tidak tergapai."Rima diam, wajahnya sudah berubah, ia tak lagi menunjukkan permusuhan. "Untuk hari baikmu, kamu tak perlu membicarakan perasaan di masa lalu. Semua sudah selesai dan kamu fokus menyongsong masa depan."Galih mengangguk setuju, meski terlihat sekali wajahnya lain dan sedih. "Mas Galih!" panggil seseorang. Rima membalikkan badan, terlihat wanita muda dengan jilbab merah melambaikan tangan, ia tidak sendiri
Alan membawa langkahnya lebih dekat, wajahnya terlihat cemas sekaligus lega melihat anak laki-laki itu. Kemudian setelahnya ia mengambil Gading dalam dekapan Rima. "Tidak menyangka bertemu di sini, maaf eskrimnya mengotori pakaianmu!" ucap Alan. "Tidak apa-apa, Mas!" Kembali bertemu seorang Rima setelah hampir tiga tahun adalah sebuah kejutan yang tidak pernah ia sangka. Tiga tahun yang lalu ia berhenti menggapai, berhenti memperjuangkan, tapi tak pernah berhenti mencintai. Hingga ada pada satu waktu, rindu tak lagi menyakitkan dan berjalan menjadi biasa. "Tidak menyangka bertemu di sini," ucap Alan. Rima mengangguk dengan senyumnya yang masih khas. "Ini anakmu?" Alan terdiam sejenak, anak kecil itu terlihat nyaman dalam pangkuan. "Iya." "Tampan sekali!" jawab Rima tulus seraya mengelus rambut Gading lembut. Tak berapa lama setelahnya, seorang wanita mendekat, rambutnya panjang dan tinggi semampai. Ia menyapa Alan. "Maaf, Mas! Aku telat, ya!" Nia langsung melihat ke arah Rima,
Suara itu milik Galih, Rima tahu betul. Namun, ia masih menahan diri untuk tidak melihat ke sumber suara. Perasaan bercampur aduk, tiba-tiba yang paling terasa adalah rasa takut."Rima!" Suara itu sekarang terdengar semakin dekat, tepat ada di belakangnya. Mau tidak mau kini ia menoleh, Galih sedang tersenyum di atas kursi rodanya."Kamu datang ke sini untuk menjengukku?" pertanyaan Galih seketika tidak bisa membuatnya berkelit."A ... aku menengok rekan kerjaku."Galih mengangguk sambil tersenyum, ia tahu Rima sedang tidak jujur. Tak berapa lama Syahra dan Alan menghampiri. Gading nampak nyaman di pangkuan Syahra, ia memainkan rambut panjang itu."Hai, Rima! Senang bertemu di sini," ucap Syahra.Rima berusaha tersenyum dan terlihat canggung. "Hai ... ia kebetulan sekali.""Sedang ada urusan di Jogja?" tanya Syahra.Rima menganggguk. "Ada rapat kerja.""Mau digendong Tante Rima?" ucap Syahra pada Gading yang tidak lepas pandangan menatap Rima."Hai ganteng. Lucu sekali. Berapa tahun
"Mohon maaf sudah membawamu masuk terlalu jauh dalam kehidupanku, Mas. Kamu itu malaikat yang dikirim Tuhan untukku di saat ku pikir bila hidupku sudah usai tiga tahun yang lalu," ucap Larissa yang kini sudah bisa berkomunikasi, bahkan ia duduk bersandar dan menerima jeruk yang Galih kupaskan.Sementaranya Galih terdiam, ia tak ingin sampai salah bicara."Bahkan keluarga ku pun saat ini membencimu atas kesalahpahaman yang aku ciptakan, Mas! Sekali lagi maafkan aku.""Saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahas masa lalu, kamu harus fokus untuk sembuh, pulih. Gading merindukan, juga membutuhkanmu."Larissa menunduk, ada pilu di hatinya. Semenjak tiga tahun yang lalu, ia memakai topeng yang tak pernah ia lepaskan sekalipun. Bahkan ketika pertemuan pertama dengan Rima, ia tersenyum lebar, menceritakan tentang Galih yang menceritakan Rima. Kenyataannya, ia dan Galih tak pernah benar-benar berbicara dengan begitu hangat dan akrab.Atas segala yang sudah terjadi, bahkan selama terbaring
"Aku datang ke sini hanya sebagai saudara, sahabat dan teman. Bukan ingin tahu tentang kehidupan pribadi kalian. Jadi jangan bawa-bawa aku dalam setiap keputusan yang kalian ambil." Rima terlihat masih tidak terima."Jangan salah paham, Mba. Aku hanya ingin bercerita sedikit tentang aku dan Mas Galih."Rima diam, sebetulnya ia tak ingin mendengarkan, tapi tidak mungkin juga begitu saja pergi dan meninggalkan Larissa yang masih bercerita."Tiga tahun lalu, aku adalah pasien Mas Galih. Saat itu aku sedang ada di fase yang begitu berat, sebagai orang yang terkenal sangat agamis, aku kecelakaan dan hamil. Sosok yang menghamiliku pun dikenal orang yang sangat alim, ia anak dari pemilik pesantren. Aku putus asa, aku takut, dan akhirnya aku memutuskan untuk menyelesaikan hidupku, hingga kemudian Mas Galih menjadi malaikat penolong saat itu. Jadi Gading bukanlah anak dari Mas Galih."Rima terdiam sejenak, ia menghela napas panjang dan mengatur semua isi hatinya yang berkabut. "Itu berarti mem
"Tak perlu buru-buru, aku akan memberimu waktu, tiga hari!"Rima masih tak bisa berkata-kata. "Aku tahu, kamu pasti tidak akan memutuskan semuanya sendiri, ada Allah dan orang tua yang akan kamu libatkan!"Rima tersenyum. "Terimakasih sudah mengerti.""Aku rasa saat ini kita semakin cocok," timpal Galih."Kenapa?" Rima mengernyitkan dahi."Aku duda, kamu janda!"Keduanya tertawa, kemudian makanan mereka datang. "Sudah lama aku tidak makan ini!" ucap Galih sambil menyendokkan makanan tersebut dengan lahap."Makanlah yang banyak, aku akan mentraktirmu," jawab Rima."Tidak! Aku yang akan mentraktirmu sepuasnya, syukuran aku kembali berdinas di rumah sakit!""Baiklah kalau kamu memaksa!" balas Rima."Tidak memaksa juga, sih! Setelah ku pikir gajian bulan ini terpotong banyak karena dipakai setoran rumah.""Dih ... laki-laki itu yang dipegang ucapannya," jawab Rima.Galih tertawa. "Aku bercanda, makanlah sepuasnya! Aku yang traktir.""Siap! Kamu tahu aku sangat suka makan, apalagi akhir-
Rima tercenung sendiri seraya menatap pemandangan di balik kaca jendela, sudah dua hari ini ia terserang sakit, semalam sampai menggigil dengan panas hampir 40 derajat. "Sudah membaik sekarang, Mba?" ucap Nia mengagetkan. Rima langsung melihat ke arah sumber suara."Sejak kapan kamu datang, Nia?""Mungkin sekitar sepuluh menit aku berdiri di balik pintu sana, tidak ada jawaban. Jadi maaf aku langsung masuk saja.""Tidak apa-apa, Nia.""Apa yang sedang dipikirkan, Mba? Jangan memaksa otak untuk banyak berpikir, Mba juga kan sedang sakit, harus banyak istirahat."Rima mengangguk pelan."Aku bisa jadi teman untuk bercerita kalau Mba mau, " lanjut Nia."Beberapa waktu ini memang ingatanku sering pergi ke masa lalu, kilasan balik rasa sakit sesekali muncul. Juga rindu.""Sama Mas Alan?" tanya Nia begitu saja.Rima tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku dan Mas Alan tidak terikat lagi dengan masa lalu. Melihat dia bersama Syahra entah kenapa membuat hatiku senang.""Lalu?""Aku
Setelah membantu Rima berdiri, Galih langsung mendekat ke arah seseorang yang menampar calon istrinya. Dia adalah Hasan, entah apa yang membuatnya tiba-tiba melayangkan sebuah tamparan pada Rima."Bangsat!" Ini kemarahan pertama Galih yang ia lampiaskan, satu pukulan langsung mendarat di pipi Hasan. Diikuti pukulan berikutnya, membuat suasana semakin kacau. Rima segera mendekat dan mencoba melerai, begitu juga semua yang menyaksikan di sini. Setetes darah terlihat keluar dari sudut bibir Hasan."Sudah Galih, sudah!" Rima memegang tangan Galih. Napasnya terengah-engah dengan tatapan tajam menatap ke arah Hasan."Jangan biarkan dia pergi! Saya akan membuat perhitungan di kantor polisi!" ucap Galih.Hasan menatapnya benci, ia bahkan meludah. Sementara Gayatri terlihat di belakangnya tanpa banyak bicara, ia lebih banyak menunduk dan memainkan jari jemari seperti seseorang yang sedang ketakutan.Entah apa yang membuat Hasan sampai bersikap seperti ini, bahkan di tempat umum."Tenang, Gali
Galih menemani setiap masa tersulit Rima, begitu juga dengan Rima. Pernikahan mereka saat ini sudah memasuki usia sepuluh tahun, tidak terasa. Banyak hal yang sudah dilewati dengan baik."Selamat hari pernikahan yang ke sepuluh!" Rima memeluk Galih dari belakang, suaminya itu sedang bersiap menuju rumah sakit. Galih membalikkan badan, ia kecup kening Rima dengan penuh cinta, semuanya masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah. "Semoga kita bisa lebih panjang lagi menikmati waktu berdua!""Tidak hanya berdua, aku ingin bertiga atau berempat," ucap Rima.Galih terdiam, ia tahu maksud istrinya, tapi kemudian dipatahkan oleh kenyataan pahit sebuah takdir yang tidak bisa diubah."Aku tetap bisa menjadi ibu meski tidak melahirkan, iya kan?" ucap Rima.Suaminya itu mengangguk pelan. "Kamu mau kita mengadopsi anak?""Iya! Kamu gimana?" tanya Rima."Aku ikut semua hal yang membuat kamu bahagia!""Tapi kamu happy?""Tentu."Rima tersenyum, ia sudah menimang semuanya beberapa waktu ini, tida
"Ayo, Dok! Satu suap saja!" ujar dokter muda bernama Hani."Tidak, biar saya makan sendiri saja!" jawab Galih."Ayolah, Dok! Semua sudah, tinggal dokter saja, nih!" ucap Hani mendekatkan tangan yang sedang memegang sepotong kue ke mulut Galih."Saya menganggap semua yang ada di sini itu keluarga, apalagi aku hidup sendirian semenjak kecil, jadi momen ini aku ingin merasakan kehangatan keluarga, aku suapi, ya!" ucap Hani. Sosoknya memang ceria dan dekat dengan siapapun, ia mudah bergaul dan mengambil hati banyak orang, termasuk semua yang saat ini ada di sini, hanya Galih yang bersikap biasa saja, ia memang dikenal sedikit tertutup dan membatasi diri."Sekali saja ya, dok!" Hani merajuk, merasa tidak enak dan tidak tega, Galih pun akhirnya menerima suapan itu dengan perasaan berdosa pada Rima. Hingga akhirnya, pintu terbuka tepat ketika Hani menyuapinya.Seketika ruangan hening melihat kedatangan Rima, begitu juga Galih yang langsung salah tingkah, ia takut bila istrinya akan berpikir
Selepas berdoa, Rima dan Galih beranjak dari tempat peristirahatan terakhir Gayatri. Keduanya memutuskan untuk singgah sejenak di kota ini dan menyewa sebuah penginapan sambil menikmati indahnya kebun teh di akhir pekan."Syahra memberi kabar padamu?" tanya Galih ketika keduanya berapa dalam perjalanan menuju hotel.Rima menganggukkan kepalanya dan melihat ke arah Galih. "Memangnya ada apa?""Tidak! Kemarin aku melihat statusnya hitam gitu, ku pikir sedang ada masalah dan siapa tahu kalian saling bertukar kabar.""Syahra tidak pernah bercerita apa pun, dia itu orang yang paling menutupi semua bentuk masalah. Sholehah banget sih, sebagaimana kekurangan suami, dia gak akan mengumbar apa pun itu yang sifatnya buruk."Galih mengangguk setuju dengan yang diucapkan Rima. Kenyataannya Syahra memang seperti itu. Sepanjang perjalanan menuju penginapan disuguhi pemandangan indah, hamparan luas kebun teh yang hijau, sejauh mata memandang membuat kesejukan yang tidak terkira, menyusup sampai ke
Galih memegang tangan sang istri. "Kalau memang kita ditakdirkan untuk tidak memiliki keturunan di dunia, pasti Allah menjanjikan nikmat di surga. Pernikahan kita untuk berjalan ke sana buka? Jangan khawatir tentang semua yang sifatnya sudah menjadi hal preogratif Allah. Kita bisa menjadi orang tua untuk seribu anak.Rima terdiam, ia menghela napas panjang. Matanya kini mulai menghangat, tentang anak ini memang seringkali membuatnya khawatir dan cemas, terkadang ia takut bila akan tua sendirian, ia takut pada hal yang sebetulnya belum terjadi."Aku merasa tidak berguna, beberapa waktu ini pikiranku kacau, semua ini sangat sulit.""Kita bisa melewati ini, Rima. Kita akan tetap bahagia. Jadikan Allah sebagai pusat bertumpu dalam segala hal, maka lambat laun semua kecemasan akan hilang."Rima menundukkan wajah, tangannya berpegang erat pada Galih. Satu tetes air mata turun."Dengan segala ujian ini, kamu adalah makhluk spesial yang dipilihNya," ucap Galih lagi.Istrinya itu mengangguk pe
Rima terdiam dan menatap Galih dengan nanar. Sejenak hening mengisi ruangan inI. Jantung Rima berdegup kencang dengan irama yang tidak menentu, ia seperti bisa membaca situasi yang terjadi. Disingkap pakaian yang ia kenakan, kemudian ia lihat bekas luka jahitan yang terlihat mengering."Apa sudah tidak ada rahimku di sana?" ucap Rima menunjuk perutnya.Galih membuang napas kasar, ia membawa langkahnya mendekat pada sang istri. Meski pijakan kakinya seperti sedang tak menapak."Jawab Galih!" Teriak Rima ketika suaminya hendak meraih tangannya. Tak terasa derai tangis turun. "Kita akan bahagia tanpa anak, Rima!"Tersentak Rima, ini adalah kehancuran kesekian kali yang akhirnya harus ia dengar dan ia rasakan. Bahkan selama 31 tahun hidupnya, ia sama sekali belum pernah merasakan kehamilan, tapi ternyata takdir berkehendak bila bagian penting bagi seorang wanita harus terangkat.Setelah itu ia jatuh terkulai, menangis sejadi-jadinya. Menerima takdir adalah hal yang tak mudah.Galih memel
"Aku harus mendapat tindakan, ya?" tanya Rima ketika menerima hasil yang Galih bawa."Hanya tindakan kecil, setelah itu gak apa-apa, kita bisa mulai programa hamil. Kita akan berbulan madu ke tempat yang kamu inginkan," ucap Galih."Kata orang, kalau punya kista suka susah hamil.""Kamu kan punya dua tangan untuk menutup telingamu, jadi dengarkan aku saja, jangan yang lain."Rima mengerucutkan bibir sambil memegang kertas, ada sejumput rasa khawatir, mengingat usianya pun tak lagi muda, sudah 30 tahun lebih. Galih mendekat, merasakan ketidaksenangan istrinya, ia peluk Rima dengan hangat dan membesarkan hatinya."Jangan takut dan khawatir, percayalah semua akan baik-baik saja."Rima membalas pelukannya, setelah berkali-kali mereka batal untuk menikmati waktu berduaan, dua hari ke depan Galih mengambil cuti. Mereka memilih untuk menghabiskan waktu berdua di rumah."Mau tidur di hotel?""Tidak usah, di rumah saja. Aku tidak ada mood pergi kemana-mana, di sini saja sudah nyaman."Galih me
Galih ikuti langkah istrinya yang kini duduk di ranjang. Ia pegang pundak Rima lembut dan duduk di sampingnya."Jangan ngambek!"Rima membalikkan tubuhnya, melihat Galih sesaat, kemudian tersenyum. "Aku tidak marah, aku hanya sedang menggodamu saja!"Galih membuang napas kasar. "Aku tidak suka kamu menggodanya seperti itu.""Iya, maaf pak dokter!""Ya sudah, ayo! Sekarang saja."Rima diam, ia sedikit mengigit bibir bawahnya. "Barusan aku cek dan sedang haid."Galih menelan ludah tanda kecewa. "Aku puasa satu Minggu?"Rima mengangguk pelan.Helaan napas dari Galih kembali terdengar. "Oke, baiklah! Aku akan menahan diri sampai satu minggu ke depan, sekarang habiskan dulu makananmu, aku tidak ingin kamu sakit!""Yuk!" Rima mengulurkan tangannya dan mereka berdua kembali menikmati makanannya.Hari setelah hari ini tidak menjanjikan sesuatu berjalan dengan baik-baik saja. Banyak hal yang akan berganti, bahagia tidak akan selamanya, begitu juga sakit. ****..Dua bulan pertama pernikahan
Saat-saat perjalanan Gayatri menuju dikebumikan adalah proses dimana Rima merasa bahwa ia harus mendampingi semuanya sampai akhir. Tak peduli apa yang terjadi, ia akan mengingat Gayatri sebagai teman paling baik yang ada di dalam hidupnya.Alan pun turun membantu semua prosesi ini sampai akhir, gerimis tipis-tipis seolah memberikan semilir surga yang terasa sejuk.Ketika semua selesai, satu persatu yang datang pun turut pulang. Alan masih mengadahkan tangannya memanjat doa. Kesedihan nampak jelas di wajahnya. Setelah beranjak pergi, terkadang baru disadari bila orang itu cukup berharga. Manusia lainnya yang luar biasa adalah Syahra, ia nampak sabar dan tegar."Kita pulang, Mas!" Syahra mendekat dan memayunginya. Alan mengangguk. Kemudian beranjak dari, ia ambil payung itu dan membawa Syahra lebih dekat dengan dirinya. Mereka pun berlalu, diiringi Galih dan Rima di belakangnya, juga dalam satu payung yang sama.Sesampainya di mobil, Syahra lebih banyak diam. Melihat sikap Alan tak mun
Galih dan Rima akan menggelar akad yang sederhana, kebaya putih dengan desain terbaiknya dipilih untuk prosesi akad nikah. Pakaian yang mereka kenakan, nampak indah membalut mereka. Sederhana dan elegan."Tak sabar hari itu tiba!" ucap Galih yang kini berdampingan dengan Rima. Keduanya berdiri di depan sebuah kaca yang besar. Menatap diri masing-masing.. Sebuah pesan dari "Hanya sebulan lagi," jawab Rima dengan senyumnya yang manis."Kamu sudah sepenuhnya yakin padaku, Rima?""Kalau tidak yakin, aku tidak akan membuat keputusan di awal."Galih mengalihkan pandangannya pada Rima, ia tatap wanita yang sudah ia kenal sejak masih duduk di bangku sekolah itu, yang berubah hanya satu, ia jauh lebih baik dan cantik dengan hijab yang dipakainya."Jangan lama-lama natapnya! Nanti jatuh cinta," ucap Rima yang tersipu."Sudah sejak lama!" jawab Galih semakin membuat jantung Rima berdegup kencang. Setelah itu mereka pulang ke rumah, Galih tidak memilikinya banyak waktu saat ini, seiring padatn