Arianne gemetar ketakutan, Kuah mie yang ada di mangkuknya tumpah, membuatnya kepanasan. Dia menggertakkan gigi dan bergegas menuju meja di ruang makan. Lalu, dia meletakkan mangkuknya. Tentu saja, itu berarti dia meletakkannya di depan Mark karena Mark sedang duduk di ruang tamu. Kuahnya berceceran dimana-mana. Rasa jijik terlihat jelas di wajah Mark.Dia mengumpulkan keberaniannya dan mengeluarkan beberapa lembar tissue. Kemudian dia menyeka tumpahan mie itu sampai bersih di bawah tatapan Mark yang mengawasinya. "Kau dari mana baru pulang sepagi ini?"Mark terdiam, bangkit dan menuju ke atas. “Ini jam 1 pagi.”Arianne menggigit bibirnya dan tidak menjawab. Tangannya yang melepuh sangat kesakitan. Menurutnya, dia pulang terlalu awal. Dia awalnya mengira bahwa dia tidak akan pulang sama sekali...Setelah makan, dia mencuci semuanya hingga bersih lalu berjalan di sekitar ruang tamu sebentar sebelum kembali ke kamar.Mark mengenakan pakaian santai dan sedang duduk di depan jendela d
"Halo, wakil direktur."Tiffany dengan bersemangat menengok kepalanya ke arah pintu, diikuti secara serentak oleh semua orang di kantor.Sebagai pegawai baru, perlu baginya untuk menunjukan pada atasannya atasannya kesan yang baik. Namun, ketika dia melihat ekspresi Jackson yang tampak tidak serius, dia serasa ingin mati. "Wakil direktur macam apa dia?" tanyanya pada seseorang disampingnya, dengan berbisik."Anak pak bos. Wakil direktur kita. Dia mengelola seluruh perusahaan. Direktur yang lama, saat ini ditendang menjadi penjaga toko. Perusahaan Bright adalah kantor utama bagi keluarga West…" Tiffany tidak dapat mendengar apapun dari yang diucapkan rekan kerjanya setelahnya, dia juga enggan untuk mendengarkan. Tidak pernah terlintas dipikiranku bahwa dia akan berada di jangkauan Jackson. Dia telah membulatkan tekad untuk memberikan kesan yang baik pada atasannya, namun sepertinya hal itu tidak perlu dilakukan saat ini. Dengan semua yang telah ia lalui, jelas nyatanya bahwa Jackson
Arianne mendapati Tiffany sedang duduk di samping jendela dalam sekali lihat ketia dia tiba di restoran. Dia mengembalikan suasana hatinya dan perlahan berjalan ke arah Tiffany lalu duduk.Sebelum Arianne dapat berkata, Tiffany mulai mengoceh terus menerus, “Selesai, tamat. Aku kira aku telah mendapatkan sebuah pekerjaan yang baik, tetapi tidak pernah terpikir bahwa atasanku adalah Jackson West! Aku menabrak mobilnya dan berkata sejumlah umpatan padanya juga. Aku tidak pernah bertemu siapapun yang tidak menyimpan dendam! Aku pasti tidak akan bertahan lama di perusahaannya. Aku mungkin perlu berkemas dan pergi dibandingkan menunggu dirinya untuk memecatku…”Arianne tampak sedikit kesal. Dia sedang berpikir tentang alasan Ethan untuk bertemu dirinya. Jika Arianne memberikan kartu ini pada Tiffany, dia pasti percaya bahwa Ethan hidup dengan baik, kehidupan yang berarti dia dapat menghabiskan uang jutaan seketika. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan memberitahu seseorang bahwa
Besok, dia akhirnya akan dapat menyelesaikan masalah dengan 'Pak Sloane' orang yang mengirimkan surat. Mungkin setelahnya, dia akhirnya akan dapat duduk dengan Mark dan menikmati sebuah masakan dalam ketenangan bersama...Setelah makan malam, Arianne berjalan-jalan di sekitar taman sebelum kembali dan berbaring di kamarnya. Karena kehamilan membuatnya mudah lelah, Arianne tertidur lebih cepat hari ini. Tidurnya terasa lebih nyenyak dari biasanya, sampai-sampai dia bahkan tidak menyadari bahwa Mark telah kembali dan mandi. Hanya saat dia bergeser dan terbangun di tengah malam dia menyadari bahwa Mark telah terduduk di depan jendela selama ini."Kau kembali…?" Dia bertanya kebingungan.Mark tidak menjawab dan dia tidak peduli. Dia hanya ingin cepat-cepat pergi ke kamar kecil secepatnya, sehingga dia bisa kembali pada selimut hangatnya.Saat dia mengarah ke pintu, suara dingin terdengar. "Mengapa Ethan memberimu uang?"Arianne menghentikan langkahnya saat dia tiba-tiba menyadari. "Ka
Tiga jam perjalanan kereta bukanlah perjalanan yang panjang maupun pendek. Saat kereta terhenti, Arianne segera berdiri dengan tas ranselnya, bersemangat untuk turun. Tiffany mengikuti tepat di belakangnya. “Hey, pelan-pelan! Kau masih membawa si kecil di perutmu!”Hampir tengah hari ketika mereka mencapai sebuah kota kecil tua berdasarkan alamat itu. Ini adalah dimana surat itu dikirimkan. Seluruh kota serasa tanpa kehidupan. Selain dari beberapa orang yang berjalan terhuyung di sepanjang jalan, mereka tidak melihat anak muda yang aktif di sekitar sini.Pertumbuhan ekonomi di kota ini buruk karenanya anak muda sebagian besar bekerja di kota-kota sekitarnya, hanya meninggalkan orang-orang tua.Setelah bertanya beberapa kali, mereka akhirnya tiba di ‘Rumah pak Sloan’. Rumah dua lantai yang begitu usang sampai terlihat tidak dapat ditinggali muncul di hadapan mereka. Pintu depan yang ditutupi rumput liar dibiarkan begitu saja. Sepertinya tidak ada orang yang tinggal disini untuk waktu
Dia menolak untuk percaya bahwa Pak Sloane telah meninggal. Bagaimana bisa seorang yang telah meninggal mengirimkan surat?“Berhentilah memikirkan hal itu sekarang, Ari. Mari kita tangani permasalahan ini perlahan. Aku akan membantumu mencari tahu juga. Aku memberikan surat ini padamu tak lama setelah aku menerimanya. Mengingat jarak dari sini ke ibu kota, tidak butuh waktu lama untuk surat itu diterima. Pengirimnya pasti masih hidup, atau setidaknya, ketika dia mengirimkan surat itu. Dia mungkin menggunakan alamat yang salah untuk mengirimkan surat itu karena dia tidak ingin kau mencari tahu dimana ia tinggal sekarang. Hmm, aku tidak cukup yakin apa yang terjadi saat ini, tetapi pak Sloane pasti belum meninggal. Jangan berkecil hati. Karena dia telah mengirimkan surat pertama, dia pasti akan mengirimkan surat lainnya. Kita hanya perlu menunggu! Dia mungkin tidak ingin kita melacak dirinya, tetapi dia tidak akan meninggalkan kita begitu saja, bukan?” Tiffany mencoba sebisanya untuk me
"Mengerti." Brian mengenali sikap Mark yang sedang kesal dan dengan hati-hati mengendarai mobilnya kembali ke kediaman keluarga Tremont.Ketika dia melewati sebuah toko obat, Mark tiba-tiba berseru. "Berhenti."Brian dengan cekatan menekan remnya. Mark keluar dari mobil dan masuk ke dalam toko obat. "Bawakan aku beberapa obat untuk sakit perut," ucapnya pada pegawai toko."Apakah lambung atau yang lainnya? Apa gejalanya? Untuk orang dewasa atau anak-anak?" tanya pegawai itu.Mark sedikit bersungut. Dia berpikir sejenak lalu menjawab, "tidak nafsu makan… Mual kronik dan wajah pucat. Untuk orang dewasa."Selesainya dia membayar obat-obatan itu, dia kembali ke dalam mobil dengan wajah serius. Brian tidak berani bertanya apapun. Dia hanya menginjak gas dan membawa Mark kembali ke rumah.Mark langsung menuju ke kamar tidur dengan membawa obat-obatan. Tanpa melihat orang yang sedang berbaring di tempat tidur, dia melemparkan obat-obatan itu atas meja samping tempat tidur. "Minum obat-o
Mark menghentikan langkahnya lalu kembali berjalan. “Bisakah dia mengatakan sendiri apa yang dia pikirkan? Apakah dia butuh orang lain untuk mengatakannya?”Mary merasa bersalah dan terdiam. Melihat Mark telah pergi kembali, Brian dengan cekatan mengeluarkan mobil dari garasi ketika suara berat Mark menghentikannya. “Aku akan menyetir sendiri.”Brian menjawab lirih. Tangannya basah berkeringat. Kata-kata ‘Jangan buat masalah denganku’ terpampang di seluruh wajahnya saat ini. Siapa yang berani menghadapinya saat ini seakan-akan akan bertaruh nyawa!“Brian, bawa Arianne ke rumah sakit besok pagi. Lakukan pemeriksaan fisik seluruh tubuh dan beri aku hasilnya.” Setelah memberikan perintah, mobil Mark segera menghilang di gelap malam.Mendengar suara mobil menjauhi kediaman keluarga Tremont, Arianne bangkit dari tempat tidur dan berdiri di depan jendela. Dia merasa sedikit kesal. Lagi pula, Mark telah dengan sengaja membelikannya obat-obatan, dan dia tidak mengira situasinya akan beruba