"Mama ...." Amelia memegang lenganku dengan wajah merajuk. Keputusan Mas Suma untuk bertemu Rangga tidak bisa diganggu gugat. Apalagi sudah keluar kata 'pokoknya', sudah dipastikan tidak bisa berubah.Aku mengerti perasaan Mas Suma, dia pasti sangat kawatir akan Amelia. Dia ingin memastikan anak gadisnya tidak bergaul dengan orang yang salah. Sekarang, tugasku untuk memberi pengertian kepada Amelia. Bagaimanapun seusia dia, semakin dipaksa semakin menentang. Harus didekati dari hati ke hati. Aku harus menempatkan diri sebagai seorang sahabat bagi Amelia."Mama, bagaimana ini?" rengek Amelia."Sini sayang, Mama bilangin."Kamipun duduk di sofa panjang di depan taman, dia menyandarkan kepalanya di lenganku. "Rangga bilang ke Kakak, apa?" "Dia bilang, malam ini mau ke sini. Dia mau ngobrol sama Amelia, Ma. Tapi kenapa Papi mau ikut-ikutan, ya. Kan Amel nanti malu. Papi ini tidak asik!" teriaknya kesal."Sayang, Mama tanya. Kalau Kak Amel ke rumah orang, lebih suka dicuekin atau diajak
"Mas, mandi. Sudah sore. Ada apa, ya? Kok mondar-mandir terus."Dari aku keluar kamar mandi, dia bertingkah seperti itu. Apa tidak pusing? Aku saja melihatnya sudah terasa kepala berputar."Mas Suma!" teriakku langsung berdiri di depannya dan menatapnya."Rani, gimana caranya ngadepin temennya Amel, ya. Harus aku marahi atau bagaimana? Ih, dasar anak ABG, aneh-aneh saja. Anak itu, orangnya bagaimana, sih!"Aku menghela nafas panjang. Rasa kesal, ngregetan tercampur jadi satu. Dari tadi masalahnya itu itu saja!"Rangga, namanya. Selama aku ajak bicara, dia anaknya baik, sopan dan kelihatan pintar. Orang tuanya tentara, jadi dia dididik disiplin," kataku."Aku takut salah, Ran. Kamu tahu kan, aku selalu tidak bisa komunikasi dengan Amelia. Aku kawatir Amelia marah, padahal aku bermaksud baik.""Supaya tidak tegang, dia kita ajak ngobrol saja di ruang tengah. Ada Wisnu juga, jadi tidak tegang. Gimana?""Usul yang bagus! Istriku memang pintar dan sexy!" ucapnya.Dia menarikku dan mencium
Memiliki anak yang beranjak dewasa, tidak cukup menghidangkan makanan enak dan sehat saja. Kebutuhan mereka tidak sekedar kenyang di perut. Kami sebagai orang tua harus memberi makanan otak, iman dan hati. Makanan otak bisa kita alihkan dengan bersekolah dan pembekalan mengaji memupuk iman mereka. Walaupun tetap harus diperkuat di dalam keluarga.Sedangkan masalah hati, bertambah umur kebutuhan mereka menjadi berubah. Seperti Amelia dan Wisnu ini. Amelia sudah mulai menyukai lawan jenis, begitu juga Wisnu. Bedanya, Wisnu lebih bisa mengontrol diri. Pembekalanku dari kecil membuatnya bisa fokus dengan masa depan, mengesampingkan perasaan yang masih sekedar sesaat.Sedangkan Amelia, diumur yang belia masih terlihat bingung dengan yang dirasa. Mungkin karena sempat tidak ada seseorang yang mendampinginya, membuatnya tidak mempunyai acuan."Ma ... membuat apa?" tanya Amelia.Dia memelukku dari belakang. Badannya semakin tinggi, hampir menyamaiku. Seperti baru kemarin dia selalu menggela
Malam ini pekerjaanku menumpuk. Ada beberapa email yang belum aku buka, Aitu dan Pak Tiok sudah mengingatkanku. Kedua baby sudah bisa ditinggal, aku akan ke ruang kerja untuk membalas email. Sekalian menunggu Mas Suma yang belum kembali. Dia ada pertemuan 21 Club.Aku ke ruang kerja membawa camilan dan segelas besar jamu buatan Bik Inah. Jamu ini terbuat dari bahan kunyit, sirih, kunci, jambe dan pemanisnya dari gula jawa. Ibuku mengajarinya ketika ke sini, setelah itu, Bik Inah rutin membuatnya. Di Kulkas selalu tersedia dua botol besar. Segar sekali rasanya, apalagi dalam keadaan dingin seperti ini. Aku buka lap top dan membuka email. Pertama dari Aitu, dia menginfomasikan tentang persiapan kami untuk pameran furniture di Paris. Kami sudah mendapatkan tempat dan pembayaran sudah dilakukan. Semua yang berhubungan dengan pameran sudah siap. Untuk materinya, tanggung jawab Pak Tiok.Sebenarnya kami mendapat tawaran dari Dinas Pemerintah untuk mendapatkan fasilitas gratis di pemeran i
Hmm …. Aku tersenyum di sela aktifitas pagi ini, teringat bagaimana kami berdua tadi malam yang seakan lupa akan usia yang tidak muda lagi. Tak ubahnya pengantin baru yang sedang mabuk kepayang, aku menunggu suami dengan segala persiapan lebih sebagai ‘kucing garong’.Semua sudah ada di cek list, mulai dari rambut sampai ujung kaki sudah dibaluri wewangian yang dia suka, termasuk baju yang kurang bahan.“Sudah tidak sabar menunggu, ya? Aku pun demikian,” bisiknya sambil meraih tubuh ini, setelah meletakkan bawaannya. Tertinggal martabak special yang terabaikan karena kebersamaan kami yang sudah tak tertahan lagi.*Sebagai perempuan harus bisa berperan ganda, sebagai istri, teman, ibu, dan belum lagi disibukkan dengan pekerjaan. Kesibukan kami di Gallery semakin bertambah, bahkan aku harus setiap hari datang untuk memastikan semua dalam rencana. Padahal komunikasi kami tetap terjalin secara online, tetapi, pekerjaan kami yang lebih ke visual mengharuskan untuk tetap harus bertatap muk
Aku dan Mas Suma berangkat ke kantor bersama-sama, nanti aku di turunkan di gallery. Sebenarnya Mas Suma ingin membelikanku mobil, tetapi aku menolak. Aku lebih suka menebeng dia, lebih lama bisa berbincang banyak hal walaupun hanya beberapa menit. Itu sesuatu yang indah, berangkat kerja bersama suami.Ada mobil khusus untuk Gallery untuk keperluanku. Itu aku suruh Aitu bawa. Jadi dia bisa sewaktu-waktu menjemput atau mengantarku kalau aku memerlukan."Doain aku ya, Mas."Mas Suma menatapku dengan tersenyum. Dia menggenggam tanganku dengan erat. "Pasti! Mereka ke sini untuk bertemu dengan kamu dan menghargai karyamu. Buat mereka semakin yakin dengan apa yang kamu tawarkan. Team kamu lengkap, kan?" "Lengkap, Aitu, Mas Tiok dan team lainnya sudah siap. Materi meeting juga sudah siap. Tadi malam, kami cek ulang," ujarku.Aku menarik tanganku dari genggamannya, bersiap karena turun karena sudah tiba di gallery."Please call me!" teriak Mas Suma sebelum aku menutup pintu mobil.Baru ma
"Huuft ... penat rasanya!" teriakku sambil menghempaskan tubuhku di ranjang ini. Setelah membersihkan badan, pegal-pegalku terasa berkurang.Seharian peras otak, mengatur kerjaan dan handle tamu. Alhamdulillah, aku mempunyai team yang hebat dan solid. Mereka saling membantu, walaupun berbeda tanggung jawab. Aku selalu tekankan, suatu proyek adalah tanggung jawab kita semua walaupun setiap orang mempunyai tanggung jawab. Karena itu, ketika team ada yang memerlukan bantuan, semua harus perhatian dan cepat membantu. Fokus dengan tujuan proyek harus berhasil. Karena keberhasilannya bukan karena perseorangan atau salah satu team saja, tetapi itu adalah keberhasilan semua pihak yang terlibat."Mas Suma mau dibikinkan teh?" tanyaku setelah dia keluar dari kamar mandi.Dia menatapku kekilas tanpa menjawabku dan duduk menghadap laptop yang sudah dinyalakan dari tadi.Pasti dia belum selesai menyelesaikan pekerjaannya. Aku segera bangkit dari rebahanku, menuju dapur untuk menyiapkan minum dan
Aku kunci pintu. Sekarang juga, masalah ini harus diselesaikan. Pasti gara-gara foto ini dia marah. Kenapa tidak bertanya kepadaku saja?Mas Suma kumat ngambeknya, seperti dulu. Aku pikir dia sudah tidak terlalu menaruh curiga, ternyata tidak. Dia masih termakan dengan ulah orang usil ini."Mas .... Mas Suma…." Badannya aku goyang pelan, tidak bergerak sedikitpun. Mungkin karena begadang, tidurnya begitu lelap."Mas .... Mas Suma," bisikku di telinganya sambil kucium pipinya berkali-kali.Dia menggeliat, mengercapkan mata dan tersenyum. Tangannya diangkat akan memelukku, tetapi terhenti dan diturunkannya. Dia membalikkan badan memunggungiku.Fix, dia marah besar. Kumat cemburuannya."Mas Suma marah karena ini?" Aku tunjukkan foto-foto yang ada di tanganku. Dia tersentak dan menatapku dengan kesal. Seperti banyak yang akan dilontarkan tetapi tidak tahu mana yang didahulukan. Diam dan kembali posisi semula.Sabar dan cooling down. Aku tarik napas dalam-dalam. Ada rasa kesal di hatiku,