Malam ini pekerjaanku menumpuk. Ada beberapa email yang belum aku buka, Aitu dan Pak Tiok sudah mengingatkanku. Kedua baby sudah bisa ditinggal, aku akan ke ruang kerja untuk membalas email. Sekalian menunggu Mas Suma yang belum kembali. Dia ada pertemuan 21 Club.Aku ke ruang kerja membawa camilan dan segelas besar jamu buatan Bik Inah. Jamu ini terbuat dari bahan kunyit, sirih, kunci, jambe dan pemanisnya dari gula jawa. Ibuku mengajarinya ketika ke sini, setelah itu, Bik Inah rutin membuatnya. Di Kulkas selalu tersedia dua botol besar. Segar sekali rasanya, apalagi dalam keadaan dingin seperti ini. Aku buka lap top dan membuka email. Pertama dari Aitu, dia menginfomasikan tentang persiapan kami untuk pameran furniture di Paris. Kami sudah mendapatkan tempat dan pembayaran sudah dilakukan. Semua yang berhubungan dengan pameran sudah siap. Untuk materinya, tanggung jawab Pak Tiok.Sebenarnya kami mendapat tawaran dari Dinas Pemerintah untuk mendapatkan fasilitas gratis di pemeran i
Hmm …. Aku tersenyum di sela aktifitas pagi ini, teringat bagaimana kami berdua tadi malam yang seakan lupa akan usia yang tidak muda lagi. Tak ubahnya pengantin baru yang sedang mabuk kepayang, aku menunggu suami dengan segala persiapan lebih sebagai ‘kucing garong’.Semua sudah ada di cek list, mulai dari rambut sampai ujung kaki sudah dibaluri wewangian yang dia suka, termasuk baju yang kurang bahan.“Sudah tidak sabar menunggu, ya? Aku pun demikian,” bisiknya sambil meraih tubuh ini, setelah meletakkan bawaannya. Tertinggal martabak special yang terabaikan karena kebersamaan kami yang sudah tak tertahan lagi.*Sebagai perempuan harus bisa berperan ganda, sebagai istri, teman, ibu, dan belum lagi disibukkan dengan pekerjaan. Kesibukan kami di Gallery semakin bertambah, bahkan aku harus setiap hari datang untuk memastikan semua dalam rencana. Padahal komunikasi kami tetap terjalin secara online, tetapi, pekerjaan kami yang lebih ke visual mengharuskan untuk tetap harus bertatap muk
Aku dan Mas Suma berangkat ke kantor bersama-sama, nanti aku di turunkan di gallery. Sebenarnya Mas Suma ingin membelikanku mobil, tetapi aku menolak. Aku lebih suka menebeng dia, lebih lama bisa berbincang banyak hal walaupun hanya beberapa menit. Itu sesuatu yang indah, berangkat kerja bersama suami.Ada mobil khusus untuk Gallery untuk keperluanku. Itu aku suruh Aitu bawa. Jadi dia bisa sewaktu-waktu menjemput atau mengantarku kalau aku memerlukan."Doain aku ya, Mas."Mas Suma menatapku dengan tersenyum. Dia menggenggam tanganku dengan erat. "Pasti! Mereka ke sini untuk bertemu dengan kamu dan menghargai karyamu. Buat mereka semakin yakin dengan apa yang kamu tawarkan. Team kamu lengkap, kan?" "Lengkap, Aitu, Mas Tiok dan team lainnya sudah siap. Materi meeting juga sudah siap. Tadi malam, kami cek ulang," ujarku.Aku menarik tanganku dari genggamannya, bersiap karena turun karena sudah tiba di gallery."Please call me!" teriak Mas Suma sebelum aku menutup pintu mobil.Baru ma
"Huuft ... penat rasanya!" teriakku sambil menghempaskan tubuhku di ranjang ini. Setelah membersihkan badan, pegal-pegalku terasa berkurang.Seharian peras otak, mengatur kerjaan dan handle tamu. Alhamdulillah, aku mempunyai team yang hebat dan solid. Mereka saling membantu, walaupun berbeda tanggung jawab. Aku selalu tekankan, suatu proyek adalah tanggung jawab kita semua walaupun setiap orang mempunyai tanggung jawab. Karena itu, ketika team ada yang memerlukan bantuan, semua harus perhatian dan cepat membantu. Fokus dengan tujuan proyek harus berhasil. Karena keberhasilannya bukan karena perseorangan atau salah satu team saja, tetapi itu adalah keberhasilan semua pihak yang terlibat."Mas Suma mau dibikinkan teh?" tanyaku setelah dia keluar dari kamar mandi.Dia menatapku kekilas tanpa menjawabku dan duduk menghadap laptop yang sudah dinyalakan dari tadi.Pasti dia belum selesai menyelesaikan pekerjaannya. Aku segera bangkit dari rebahanku, menuju dapur untuk menyiapkan minum dan
Aku kunci pintu. Sekarang juga, masalah ini harus diselesaikan. Pasti gara-gara foto ini dia marah. Kenapa tidak bertanya kepadaku saja?Mas Suma kumat ngambeknya, seperti dulu. Aku pikir dia sudah tidak terlalu menaruh curiga, ternyata tidak. Dia masih termakan dengan ulah orang usil ini."Mas .... Mas Suma…." Badannya aku goyang pelan, tidak bergerak sedikitpun. Mungkin karena begadang, tidurnya begitu lelap."Mas .... Mas Suma," bisikku di telinganya sambil kucium pipinya berkali-kali.Dia menggeliat, mengercapkan mata dan tersenyum. Tangannya diangkat akan memelukku, tetapi terhenti dan diturunkannya. Dia membalikkan badan memunggungiku.Fix, dia marah besar. Kumat cemburuannya."Mas Suma marah karena ini?" Aku tunjukkan foto-foto yang ada di tanganku. Dia tersentak dan menatapku dengan kesal. Seperti banyak yang akan dilontarkan tetapi tidak tahu mana yang didahulukan. Diam dan kembali posisi semula.Sabar dan cooling down. Aku tarik napas dalam-dalam. Ada rasa kesal di hatiku,
Tring![Aku mendapat kiriman ini. Entah dari siapa][Jangan sampai Pak Kusuma salah paham] Pesan dari Pak Tiok. Dibawahnya ada foto amplop dan isi yang sama dengan yang diterima Mas Suma.Kira-kira siapa yang melakukan pekerjaan iseng ini. Aku tidak punya musuh, kawan saja tidak ada. Selama ini, aku tidak pernah keluar rumah atau berkumpul dengan komunitas atau kelompok arisan. Kegiatanku hanya di rumah mengurus keluarga dan ke gallery mengurus pekerjaan."Mas Suma ... foto itu, Pak Tiok juga dapat kiriman," ucapku dengan menyodorkan ponselku menunjukkan pesan dari Pak Tiok.Mas Suma memperhatikan sebentar, kemudian diam seperti sedang memikirkan sesuatu."Buyer kamu yang dari Dubai, cara mendapatkannya bagaimana?" tanya Mas Suma menatapku dengan serius."Saat itu ada undangan tender untuk proyek ini. Aitu mengirimkan proposal, setelah itu kita terpilih dan sampai tahap sekarang. Memang ada hubungannya dengan mereka?" tanyaku heran. "Tidak dengan buyer. Tetapi ada kemungkinan, ada h
Kami berbincang lama bertiga. Tentang bisnis tentunya. Mas Suma dengan semangat menjelaskan strategi dalam perbisnisan yang tidak hanya ada orang baik di sana. Di dunia bisnis seperti berlayar di samudra. Tidak hanya dibutuhkan kemampuan berenang, tetapi kemampuan menaklukkan ombak. Bahkan harus punya strategi untuk menghindari buasnya ikan pemangsa. Walaupun, juga banyak lumba-lumba yang akan menjadi penolong kita. Atau, ikan paus yang bisa dijadikan kendaraan cepat kita. Yang harus diingat, jangan merubah konsentrasi kita selain pada tujuan yang sudah dicanangkan. Masalah dan musuh itu sudah biasa. Anggap saja itu merupakan selingan tanpa mempengaruhi langkah kita. Saat waktu makan siang tiba, Mas Suma menawarkan Pak Tiok untuk makan bersama kami. Aku segera masuk untuk menyiapkannya.Tadi pagi aku sudah siapkan rendang koya, opor ayam dan urap-urap. Bik inah yang membantuku dan meneruskan memasak setelah aku racik semuanya. "Silahkan Pak Tiok. Ala kadarnya, ya," kata Mas Suma.
POV PRASETYO (Pak Tiok) Memastikan Maharani dalam keadaan bahagia, itu sudah membuatku lega. Mungkin orang lain melihatku adalah laki-laki yang naif dan bodoh, mencintai dan menyayangi seseorang hanya sebatas melihatnya bahagia. Aku seperti penjaga hidupnya. Melindungi dan memastikan dia baik-baik saja dan selalu bersiap ketika ada yang akan membuatnya sakit. Seperti saat ini. Ditanganku ada foto-foto kebersamaan laki-laki dan perempuan. Setiap orang yang melihat pasti yakin bahwa mereka pasangan yang dimabuk asmara. Mereka berjalan bersama dengan si wanitanya menggelendot manja disampingnya. Bahkan ada foto yang terlihat mereka berpelukan. Hatiku berdesir sakit ketika laki-laki itu adalah suaminya, Pak Kusuma. Semakin sakit kala aku memikirkan reaksi Maharani melihat foto di tanganku ini. Rasa tidak rela menyesakkan dadaku ini, tetapi ini seperti foto lama?Badan Pak Kusuma masih terlihat tidak sebesar sekarang. 'Temui saya di Apartemen Anyelir, kamar 113'Tertulis di kertas