Aku dan Mas Suma berangkat ke kantor bersama-sama, nanti aku di turunkan di gallery. Sebenarnya Mas Suma ingin membelikanku mobil, tetapi aku menolak. Aku lebih suka menebeng dia, lebih lama bisa berbincang banyak hal walaupun hanya beberapa menit. Itu sesuatu yang indah, berangkat kerja bersama suami.Ada mobil khusus untuk Gallery untuk keperluanku. Itu aku suruh Aitu bawa. Jadi dia bisa sewaktu-waktu menjemput atau mengantarku kalau aku memerlukan."Doain aku ya, Mas."Mas Suma menatapku dengan tersenyum. Dia menggenggam tanganku dengan erat. "Pasti! Mereka ke sini untuk bertemu dengan kamu dan menghargai karyamu. Buat mereka semakin yakin dengan apa yang kamu tawarkan. Team kamu lengkap, kan?" "Lengkap, Aitu, Mas Tiok dan team lainnya sudah siap. Materi meeting juga sudah siap. Tadi malam, kami cek ulang," ujarku.Aku menarik tanganku dari genggamannya, bersiap karena turun karena sudah tiba di gallery."Please call me!" teriak Mas Suma sebelum aku menutup pintu mobil.Baru ma
"Huuft ... penat rasanya!" teriakku sambil menghempaskan tubuhku di ranjang ini. Setelah membersihkan badan, pegal-pegalku terasa berkurang.Seharian peras otak, mengatur kerjaan dan handle tamu. Alhamdulillah, aku mempunyai team yang hebat dan solid. Mereka saling membantu, walaupun berbeda tanggung jawab. Aku selalu tekankan, suatu proyek adalah tanggung jawab kita semua walaupun setiap orang mempunyai tanggung jawab. Karena itu, ketika team ada yang memerlukan bantuan, semua harus perhatian dan cepat membantu. Fokus dengan tujuan proyek harus berhasil. Karena keberhasilannya bukan karena perseorangan atau salah satu team saja, tetapi itu adalah keberhasilan semua pihak yang terlibat."Mas Suma mau dibikinkan teh?" tanyaku setelah dia keluar dari kamar mandi.Dia menatapku kekilas tanpa menjawabku dan duduk menghadap laptop yang sudah dinyalakan dari tadi.Pasti dia belum selesai menyelesaikan pekerjaannya. Aku segera bangkit dari rebahanku, menuju dapur untuk menyiapkan minum dan
Aku kunci pintu. Sekarang juga, masalah ini harus diselesaikan. Pasti gara-gara foto ini dia marah. Kenapa tidak bertanya kepadaku saja?Mas Suma kumat ngambeknya, seperti dulu. Aku pikir dia sudah tidak terlalu menaruh curiga, ternyata tidak. Dia masih termakan dengan ulah orang usil ini."Mas .... Mas Suma…." Badannya aku goyang pelan, tidak bergerak sedikitpun. Mungkin karena begadang, tidurnya begitu lelap."Mas .... Mas Suma," bisikku di telinganya sambil kucium pipinya berkali-kali.Dia menggeliat, mengercapkan mata dan tersenyum. Tangannya diangkat akan memelukku, tetapi terhenti dan diturunkannya. Dia membalikkan badan memunggungiku.Fix, dia marah besar. Kumat cemburuannya."Mas Suma marah karena ini?" Aku tunjukkan foto-foto yang ada di tanganku. Dia tersentak dan menatapku dengan kesal. Seperti banyak yang akan dilontarkan tetapi tidak tahu mana yang didahulukan. Diam dan kembali posisi semula.Sabar dan cooling down. Aku tarik napas dalam-dalam. Ada rasa kesal di hatiku,
Tring![Aku mendapat kiriman ini. Entah dari siapa][Jangan sampai Pak Kusuma salah paham] Pesan dari Pak Tiok. Dibawahnya ada foto amplop dan isi yang sama dengan yang diterima Mas Suma.Kira-kira siapa yang melakukan pekerjaan iseng ini. Aku tidak punya musuh, kawan saja tidak ada. Selama ini, aku tidak pernah keluar rumah atau berkumpul dengan komunitas atau kelompok arisan. Kegiatanku hanya di rumah mengurus keluarga dan ke gallery mengurus pekerjaan."Mas Suma ... foto itu, Pak Tiok juga dapat kiriman," ucapku dengan menyodorkan ponselku menunjukkan pesan dari Pak Tiok.Mas Suma memperhatikan sebentar, kemudian diam seperti sedang memikirkan sesuatu."Buyer kamu yang dari Dubai, cara mendapatkannya bagaimana?" tanya Mas Suma menatapku dengan serius."Saat itu ada undangan tender untuk proyek ini. Aitu mengirimkan proposal, setelah itu kita terpilih dan sampai tahap sekarang. Memang ada hubungannya dengan mereka?" tanyaku heran. "Tidak dengan buyer. Tetapi ada kemungkinan, ada h
Kami berbincang lama bertiga. Tentang bisnis tentunya. Mas Suma dengan semangat menjelaskan strategi dalam perbisnisan yang tidak hanya ada orang baik di sana. Di dunia bisnis seperti berlayar di samudra. Tidak hanya dibutuhkan kemampuan berenang, tetapi kemampuan menaklukkan ombak. Bahkan harus punya strategi untuk menghindari buasnya ikan pemangsa. Walaupun, juga banyak lumba-lumba yang akan menjadi penolong kita. Atau, ikan paus yang bisa dijadikan kendaraan cepat kita. Yang harus diingat, jangan merubah konsentrasi kita selain pada tujuan yang sudah dicanangkan. Masalah dan musuh itu sudah biasa. Anggap saja itu merupakan selingan tanpa mempengaruhi langkah kita. Saat waktu makan siang tiba, Mas Suma menawarkan Pak Tiok untuk makan bersama kami. Aku segera masuk untuk menyiapkannya.Tadi pagi aku sudah siapkan rendang koya, opor ayam dan urap-urap. Bik inah yang membantuku dan meneruskan memasak setelah aku racik semuanya. "Silahkan Pak Tiok. Ala kadarnya, ya," kata Mas Suma.
POV PRASETYO (Pak Tiok) Memastikan Maharani dalam keadaan bahagia, itu sudah membuatku lega. Mungkin orang lain melihatku adalah laki-laki yang naif dan bodoh, mencintai dan menyayangi seseorang hanya sebatas melihatnya bahagia. Aku seperti penjaga hidupnya. Melindungi dan memastikan dia baik-baik saja dan selalu bersiap ketika ada yang akan membuatnya sakit. Seperti saat ini. Ditanganku ada foto-foto kebersamaan laki-laki dan perempuan. Setiap orang yang melihat pasti yakin bahwa mereka pasangan yang dimabuk asmara. Mereka berjalan bersama dengan si wanitanya menggelendot manja disampingnya. Bahkan ada foto yang terlihat mereka berpelukan. Hatiku berdesir sakit ketika laki-laki itu adalah suaminya, Pak Kusuma. Semakin sakit kala aku memikirkan reaksi Maharani melihat foto di tanganku ini. Rasa tidak rela menyesakkan dadaku ini, tetapi ini seperti foto lama?Badan Pak Kusuma masih terlihat tidak sebesar sekarang. 'Temui saya di Apartemen Anyelir, kamar 113'Tertulis di kertas
POV PRASETYO (Pak Tiok)"Iya, betul. Wanita ini yang saya temui saat itu," ucapku yakin. Pak Kusuma memberiku beberapa foto wanita sebagai tersangka. Laki-laki di depanku ini ternyata mempunyai banyak wanita di sekelilingnya, dan semuanya terlihat bukan orang biasa. Entah, apa yang membuatnya memilih Maharani sebagai teman hidupnya. Namun, melihat kenyataan ini, membuatku semakin yakin kalau wanita yang membuatku jatuh hati itu bukan sekadar ibu rumah tangga."Dia anak rekan kerja orang tua saya. Kami besar bersama, dia sudah aku anggap adik saya sendiri. Setelah saya sadar, dia menginginkan lebih, saya menjauh dari mereka. Mungkin itu yang membuatnya masih penasaran denganku," terang Pak Kusuma.Saat ini, kami di Club sekedar untuk minum sekaligus membicarakan teror fotoku dan Maharani. Kemungkinan besar, ini serangan pertama wanita itu."Namanya Catherine. Sebenarnya saya iba dengan keadaannya. Seharusnya dia bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik," ungkapnya."Kita harus waspa
"Halo, Bu Rani. Ini Aitu. Saya di rumah sakit dengan Pak Tiok ...."Ucapan Aitu tidak terdengar lagi, bersamaan dengan terkulainya tanganku yang menggenggam ponsel."Mas Tiok ...."***Mas Tiok, Pak Tiok atau apalah sebutannya, dia akan selalu menjadi sahabatku. Kabar ini membuatku gemetaran, aku melihat pesan gambar di ponsel, kemudian membaca pesan tadi. Apakah kejadian ini berhubungan dengan suamiku, Mas Suma?Ah, tidak mungkin!Mas Suma bukan laki-laki yang bersikap curang. Kejadian sebelumnya bergantian muncul di otakku. Seperti film yang diputar berulang kali. Hukum sebab akibat menguatkan kecurigaanku.Foto kami, kemarahan Mas Suma, kepergian mereka bersama dan sikap manisnya tadi pagi yang bisa jadi sebagai alibinya.Aaarrrgg .... Bisa gila, aku!Kalau terjadi apa-apa dengan Pak Tiok, aku tidak akan tinggal diam."Mama ...! Ada apa?!" teriak Amelia.Amelia memgguncang badanku yang terduduk lemas di lantai. Kepalaku seperti berputar dan keringat dingin meluncur dengan sendirin