"Halo, Bu Rani. Ini Aitu. Saya di rumah sakit dengan Pak Tiok ...."Ucapan Aitu tidak terdengar lagi, bersamaan dengan terkulainya tanganku yang menggenggam ponsel."Mas Tiok ...."***Mas Tiok, Pak Tiok atau apalah sebutannya, dia akan selalu menjadi sahabatku. Kabar ini membuatku gemetaran, aku melihat pesan gambar di ponsel, kemudian membaca pesan tadi. Apakah kejadian ini berhubungan dengan suamiku, Mas Suma?Ah, tidak mungkin!Mas Suma bukan laki-laki yang bersikap curang. Kejadian sebelumnya bergantian muncul di otakku. Seperti film yang diputar berulang kali. Hukum sebab akibat menguatkan kecurigaanku.Foto kami, kemarahan Mas Suma, kepergian mereka bersama dan sikap manisnya tadi pagi yang bisa jadi sebagai alibinya.Aaarrrgg .... Bisa gila, aku!Kalau terjadi apa-apa dengan Pak Tiok, aku tidak akan tinggal diam."Mama ...! Ada apa?!" teriak Amelia.Amelia memgguncang badanku yang terduduk lemas di lantai. Kepalaku seperti berputar dan keringat dingin meluncur dengan sendirin
"Maaf, Mas Suma. Keadaannya membuatku bingung. Aku sempat berpikir seperti, itu, tetapi aku yakin Mas Suma tidak akan berbuat jauh seperti ini. Maafkan aku, Mas. A-aku takut, kawatir dan bingung."Tangannya mengusap kedua lenganku dan Mas Suma tersenyum yang membuat hati ini lega. Direngkuhnya tubuh ini dalam pelukannya. Penat dan sesak di hatiku mulai berkurang."Aku mengerti. Keadaan seperti ini, baru untukmu. Dunia sering kali tidak ramah kepada kita, walaupun kita di jalan yang benar. Tenang, ya. Jangan kawatir. Aku dan Tiok akan mengurusnya.""Mas Suma, maafkan aku yang sempat meragukanmu. Maaf."TringPesan dari Aitu. Dia memberitahu alamat rumah sakit di mana mereka berada sekarang."Mas Suma, aku ikut ke rumah sakit.""Untuk apa?" Aku menatapnya dan dia sadar akan artinya."Kamu masih belum yakin, kalau itu bukan Tiok?" tanyanya dengan mendekatkan wajahnya ke arahku."Mas, aku hanya ingin memastikan semua baik-baik saja. Hatiku biar tenang, aku ....""Iya, ayok ikut aku," uca
Musibah ini membuatku lebih berhati-hati. Membuka mataku bahwa semakin kita berlari, semakin besar resikonya. Semakin tinggi pohon semakin kencang pula, angin yang menerpa.Kasihan Sopir Pak Tiok, tidak tahu apa-apa berakhir di rumah sakit. Beruntung cideranya tidak fatal, hanya butuh beberapa hari di rawat di rumah sakit.Benar kata Mas Suma, aku harus beradaptasi dengan keadaanku sekarang. Mereka, Mas Suma dan Mas Tiok memberikan pengertian kepadaku, walaupun aku penyangkal pada awalnya. Bahwa kita harus hati-hati menghadapi seseorang, siapapun itu. Karena di dalam bisnis, penuh trik dan tipu muslihat untuk mencapai sesuatu. Kebiasaanku yang mudah percaya seseorang harus diubah.Aku sudah mengerti akan hal ini, hanya tidak terfikirkan sampai harus berhubungan dengan kekerasan.Seringkali aku tidak habis pikir, kekuasaan membuat seseorang tidak bersyukur, malah keserakahannya semakin tidak terbatas."Rani, masalah ini sebenarnya masalah pribadiku. Catherine masih penasaran denganku.
"Papi jadi penasaran," sahut Mas Suma."Siap, Pi. Wisnu akan jelaskan. Presentasinya ada di lap top," ucapnya seraya bersiap berdiri."Stop! Makan sahur dulu. Nanti setelah salat Subuh, diskusinya dilanjutkan," ucapku.Kami melanjutkan makan kembali. Kalau tidak diawasi, mereka akan melanjutkan ngobrol. Apalagi Mas Suma, dia paling bersemangat kalau membahas inovasi ataupun bisnis. Kalau sudah bicara, suka tidak ada remnya.Sahur saat ini, aku menyiapkan sayur capcay kuah, daging bumbu kecap dan ayam goreng. Walaupun ini puasa pertama, kami tetap melakukan aktifitas seperti biasanya. Banyak program dan target yang harus kami kerjakan.Puasa bukanlah penghalang untuk bekerja. Bukankah salah satu tujuan puasa agar kita merasakan laparnya kaum papa? Mereka tetap berkerja keras walaupun dengan perut kosong, bukan malah membentangkan selimut menunggu waktu buka tiba.Setelah salat Subuh berjamaah, Wisnu langsung ditarik Mas Suma untuk meneruskan diskusi yang tertunda tadi. Kami berpindah k
Hari ini saya ke gallery. Persiapan terakhir untuk barang yang akan di kirim ke Paris untuk pameran. Aku diantar Pak Maman dan ada dua motor pengawal yang membuntutiku dari belakang. Berasa ribet tetapi harus dijalani. Keamanan nomor satu.Harus nurutlah sama Mas Suma, walaupun keinginanku mendapat bodyguard mirip Kevin Costner tinggallah angan. Bermimpi dimasa genting inj diperlukan untuk mengurai kepenatan emosi dan otak. Maunya … Sudah siap di gallery, Aitu, Mas Tiok termasuk anggota team pemasaran dan team produksi. "Barang sudah di paking dan akan diambil hari ini oleh cargo," terang Aitu. "Barang pameran sudah, perlengkapan lainnya bagaimana?" tanyaku kembali."Kami sudah cetak flyer dengan lay-out seperti kemarin dan beberapa perlengkapan juga sudah dipak dan akan disertakan pada pengiriman. Ini daftar packing list," serah Aitu."Perlengkapan yang berangkat ke Paris bagaimana? Jangan sampai ada kendala.""Sudah Bu Rani. Saya dan dua orang dari pemasaran. Paspor, Visa termas
"Kenapa? Biasanya dia selalu ngalah sama kamu?" tanyanya heran."Dia ngompori aku tentang pameran Maison O yang di Paris itu," ucapku mengadu. Mas Suma malah tertawa melihatku. "Rani ... Rani, baru kali ini aku melihatmu seperti Amelia kalau ngambek. Kamu ingin sekali ke sana?" tanya Mas Suma menarikku di sofa. "E ... tidak, Mas Suma. Jauh, dan aku belum pernah ke sana. Apalagi ada Baby Anind yang masih ASI," ucapku berusaha tersenyum normal."Iya, aku percaya. Kita beli makan, yuk. Buat buka puasa! Kamu ingin makan apa? Lontong kikil, mau?" ucap Mas Suma.Kesalku berangsur berkurang terganti rasa lontong kikil yang sudah terbayang. Ditambah sambal dan perasan jeruk nipis. Hhmmm, sedap.Sejenak aku lupa Maison O, aku lihat kesamping, Mas Suma sudah tersenyum seakan tahu apa yang aku pikirkan."Kelihatan jelas?""Apanya?""Yang ada disini," tunjukku ke kepala."Oo, ngiler soto kikil atau Maison O?" ungkapnya memperlebar senyuman di wajahnya.Tuh, kan!***Setelah membeli makan untuk
Pov KusumaCatherine. Nama itu muncul kembali mengusik kehidupan. Terasa mengganggu dan membuatku gerah. Tidak hanya terhadapku, tetapi mengganggu keluarga dan orang di sekitarku. Sikap lunakku tidak membuatnya tahu diri akan kedudukannya. Parahnya lagi, dia mengartikan bahwa aku masih memberinya peluang. Seperti saat itu. Aku menerima kedatangannya di kantor. Beralasan diutus Pak Wahono, Papanya yang memegang pabrik di Bandung, dia berhasil mengelabuhiku."Mas Suma ...!" teriaknya langsung berhambur memelukku erat. "Catherine ... tolong lepaskan. Ada apa?" tanyaku sambil melepas tangannya. Tidak menjauh, dia malah memandangku lekat. "Catherine, ada apa? Ayo kita duduk saja," ucapku langsung menariknya untuk duduk di sofa. Sengaja aku duduk di seberangnya, di sofa single."Mas Suma, aku sekarang sudah bebas," ucapnya dengan mata berbinar dan senyuman lebar. "Bebas? Bebas maksudnya apa?""Suamiku sudah meninggal dan dia memberiku warisan yang banyak. Kita akan menjadi team yang k
POV Maharani Kebiasaan Mas Suma, suka lupa dengan apa yang dipesan. Tadi pagi sudah pesan akan buka puasa dengan pepes bakar, ternyata malah pulang terlambat. Entah apa yang dikerjakan, dia hanya memberitahu untuk tidak menunggunya. [Desi, apa masih ada meeting di kantor?] [Malam Bu Rani. Hari ini tidak ada jadwal meeting, Bu. Pak Kusuma sudah pulang setelah buka puasa. Saya sekarang sudah bersiap pulang] Balasan Desi berbeda dengan yang dikatakan Mas Suma. Kalau tidak ada meeting, dia kemana? Aneh, tidak biasanya dia seperti ini. Kejadian akhir-akhir ini membuatku kawatir dan membuat pemikiranku tidak baik. " Kak Wisnu! Tolong Mama ke sini sebentar!" teriakku. Wisnu yang berada di kamar langsung ke luar menghampiriku. "Ada apa, Ma?" "Kak, tolong cek mobil Papi sekarang ada di mana? Ini username dan paswordnya," ucapku sambil menyodorkan lap top Mas Suma. Aku ingat, dia memasang GPS Mobil Tracker di semua mobil, termasuk mobil yang dia pakai sekarang. Aku bisa melacak keberada