"Papi jadi penasaran," sahut Mas Suma."Siap, Pi. Wisnu akan jelaskan. Presentasinya ada di lap top," ucapnya seraya bersiap berdiri."Stop! Makan sahur dulu. Nanti setelah salat Subuh, diskusinya dilanjutkan," ucapku.Kami melanjutkan makan kembali. Kalau tidak diawasi, mereka akan melanjutkan ngobrol. Apalagi Mas Suma, dia paling bersemangat kalau membahas inovasi ataupun bisnis. Kalau sudah bicara, suka tidak ada remnya.Sahur saat ini, aku menyiapkan sayur capcay kuah, daging bumbu kecap dan ayam goreng. Walaupun ini puasa pertama, kami tetap melakukan aktifitas seperti biasanya. Banyak program dan target yang harus kami kerjakan.Puasa bukanlah penghalang untuk bekerja. Bukankah salah satu tujuan puasa agar kita merasakan laparnya kaum papa? Mereka tetap berkerja keras walaupun dengan perut kosong, bukan malah membentangkan selimut menunggu waktu buka tiba.Setelah salat Subuh berjamaah, Wisnu langsung ditarik Mas Suma untuk meneruskan diskusi yang tertunda tadi. Kami berpindah k
Hari ini saya ke gallery. Persiapan terakhir untuk barang yang akan di kirim ke Paris untuk pameran. Aku diantar Pak Maman dan ada dua motor pengawal yang membuntutiku dari belakang. Berasa ribet tetapi harus dijalani. Keamanan nomor satu.Harus nurutlah sama Mas Suma, walaupun keinginanku mendapat bodyguard mirip Kevin Costner tinggallah angan. Bermimpi dimasa genting inj diperlukan untuk mengurai kepenatan emosi dan otak. Maunya … Sudah siap di gallery, Aitu, Mas Tiok termasuk anggota team pemasaran dan team produksi. "Barang sudah di paking dan akan diambil hari ini oleh cargo," terang Aitu. "Barang pameran sudah, perlengkapan lainnya bagaimana?" tanyaku kembali."Kami sudah cetak flyer dengan lay-out seperti kemarin dan beberapa perlengkapan juga sudah dipak dan akan disertakan pada pengiriman. Ini daftar packing list," serah Aitu."Perlengkapan yang berangkat ke Paris bagaimana? Jangan sampai ada kendala.""Sudah Bu Rani. Saya dan dua orang dari pemasaran. Paspor, Visa termas
"Kenapa? Biasanya dia selalu ngalah sama kamu?" tanyanya heran."Dia ngompori aku tentang pameran Maison O yang di Paris itu," ucapku mengadu. Mas Suma malah tertawa melihatku. "Rani ... Rani, baru kali ini aku melihatmu seperti Amelia kalau ngambek. Kamu ingin sekali ke sana?" tanya Mas Suma menarikku di sofa. "E ... tidak, Mas Suma. Jauh, dan aku belum pernah ke sana. Apalagi ada Baby Anind yang masih ASI," ucapku berusaha tersenyum normal."Iya, aku percaya. Kita beli makan, yuk. Buat buka puasa! Kamu ingin makan apa? Lontong kikil, mau?" ucap Mas Suma.Kesalku berangsur berkurang terganti rasa lontong kikil yang sudah terbayang. Ditambah sambal dan perasan jeruk nipis. Hhmmm, sedap.Sejenak aku lupa Maison O, aku lihat kesamping, Mas Suma sudah tersenyum seakan tahu apa yang aku pikirkan."Kelihatan jelas?""Apanya?""Yang ada disini," tunjukku ke kepala."Oo, ngiler soto kikil atau Maison O?" ungkapnya memperlebar senyuman di wajahnya.Tuh, kan!***Setelah membeli makan untuk
Pov KusumaCatherine. Nama itu muncul kembali mengusik kehidupan. Terasa mengganggu dan membuatku gerah. Tidak hanya terhadapku, tetapi mengganggu keluarga dan orang di sekitarku. Sikap lunakku tidak membuatnya tahu diri akan kedudukannya. Parahnya lagi, dia mengartikan bahwa aku masih memberinya peluang. Seperti saat itu. Aku menerima kedatangannya di kantor. Beralasan diutus Pak Wahono, Papanya yang memegang pabrik di Bandung, dia berhasil mengelabuhiku."Mas Suma ...!" teriaknya langsung berhambur memelukku erat. "Catherine ... tolong lepaskan. Ada apa?" tanyaku sambil melepas tangannya. Tidak menjauh, dia malah memandangku lekat. "Catherine, ada apa? Ayo kita duduk saja," ucapku langsung menariknya untuk duduk di sofa. Sengaja aku duduk di seberangnya, di sofa single."Mas Suma, aku sekarang sudah bebas," ucapnya dengan mata berbinar dan senyuman lebar. "Bebas? Bebas maksudnya apa?""Suamiku sudah meninggal dan dia memberiku warisan yang banyak. Kita akan menjadi team yang k
POV Maharani Kebiasaan Mas Suma, suka lupa dengan apa yang dipesan. Tadi pagi sudah pesan akan buka puasa dengan pepes bakar, ternyata malah pulang terlambat. Entah apa yang dikerjakan, dia hanya memberitahu untuk tidak menunggunya. [Desi, apa masih ada meeting di kantor?] [Malam Bu Rani. Hari ini tidak ada jadwal meeting, Bu. Pak Kusuma sudah pulang setelah buka puasa. Saya sekarang sudah bersiap pulang] Balasan Desi berbeda dengan yang dikatakan Mas Suma. Kalau tidak ada meeting, dia kemana? Aneh, tidak biasanya dia seperti ini. Kejadian akhir-akhir ini membuatku kawatir dan membuat pemikiranku tidak baik. " Kak Wisnu! Tolong Mama ke sini sebentar!" teriakku. Wisnu yang berada di kamar langsung ke luar menghampiriku. "Ada apa, Ma?" "Kak, tolong cek mobil Papi sekarang ada di mana? Ini username dan paswordnya," ucapku sambil menyodorkan lap top Mas Suma. Aku ingat, dia memasang GPS Mobil Tracker di semua mobil, termasuk mobil yang dia pakai sekarang. Aku bisa melacak keberada
BRAAKK ...!"Mas Suma ...!" Aku langsung berhambur ke dalam. Sepi tidak ada orang. Ruangan ini terasa hening, di meja makan masih tersisa makanan yang sedikit berantakan. "Mas Suma ...!" teriakku sekali lagi."Sudah ketemu?" tanya Pak Tiok.Aku menggeleng dan terduduk lemas. Mas Suma kau dimana?"Ayo Ran. Mungkin di ruangan lain. Aku bertemu dengannya di sana, dekat balkon," kata Pak Tiok langsung berlari ke tempat yang dia maksud."Rani! Ini Pak Kusuma!" teriaknya. Aku langsung berlari menghampiri dan terlihat, Mas Suma tergeletak di sofa dengan mata terpejam. Kakinya terkulai ke bawah dengan pakaian berantakan, bahkan kancing bajunya pun sudah terbuka."Mas Suma!" "Sabar, Ran. Dia tidak apa-apa," kata Pak Tiok setelah mengecek denyut nadi dan pernapasan."Pak Tiok, tolong hubungi dokter Hendra," ucapku dengan memberikan ponselku kepadanya.*"Rani, Suma tidak apa-apa. Dia minum obat tidur dalam dosis lebih. Sebentar lagi dia pasti bangun. Jangan kawatir, ya," ucap Dokter Hendra
"Papi ...!" teriak Amelia menyambut kami. Ditemani Wisnu, mereka menunggu kami di depan pintu rumah.Amelia berhambur memeluk Papinya dan Wisnu langsung menghampiriku."Ma, Papi tidak apa-apa, kan?" tanya Wisnu sambil menggandeng tanganku."Ayo kita masuk dulu. Ceritanya di dalam," ucap Mas Suma menarik kami. Amelia masih lengket menggelendot di lengannya."Mas Suma, bersih-bersih dulu. Hilangkan bekas kotoran tadi," ucapku dengan mendorongnya masuk ke kamar. "Kalian tunggu sebentar, nanti Papi ke sini lagi. Amelia, tolong kasih tahu Bik Inah hangatkan bubur kacang hijau tadi. Nanti kita makan bersama." "Baik, Ma."*"Mas Suma, harus bersih-bersih badan. Saya tidak mau ada bekas Catherine di sana," ucapku sambil menyerahkan kantong plastik besar ke arahnya."Untuk apa ini?""Taruh yang Mas Suma pakai di sini. Saya tidak mau melihatnya, lagi."Tanpa melihatnya, aku berbalik menuju almari menyiapkan baju bersih untuknya. Rasa kesal masih lekat di hatiku. Mengingat keadaannya tadi deng
Pengakuan salah dari Mas Suma membuatku semakin bangga bersuamikan dia. Apalagi pengakuan itu, di depan anak-anak. Ini sebagai pelajaran bahwa tindakan salahnya dan tidak layak ditiru mereka. Harapanku, kejadian tidak menyenangkan kemarin membuat hubungan keluarga kami semakin erat. Tidak akan ada rahasia lagi diantara kami, selalu bercerita walaupun kita rasa itu tidak perlu.Kasih, cinta, sayang, kepercayaan dan keterbukaan untuk menjadikan keluarga yang kuat."Ran, sebentar lagi ulang tahun Wisnu," ucap Mas Suma. Dia menutup buku dan diletakkan di meja. Aku yang baru datang, langsung mengambil kursi untuk duduk di sampingnya. Kebiasaan baru kami di bulan puasa, setelah salat Subuh menghabiskan waktu berbincang atau membaca bersama di teras kamar. Kamar kami mempunyai teras belakang yang tertutup. Ada taman kecil di sana, teras berisi dua kursi malas dan di sampingnya ada dua rak tinggi berisi koleksi buku kami. Seringkali kami tenggelam bersama dalam buku bacaan dan diakhiri den