BRAAKK ...!"Mas Suma ...!" Aku langsung berhambur ke dalam. Sepi tidak ada orang. Ruangan ini terasa hening, di meja makan masih tersisa makanan yang sedikit berantakan. "Mas Suma ...!" teriakku sekali lagi."Sudah ketemu?" tanya Pak Tiok.Aku menggeleng dan terduduk lemas. Mas Suma kau dimana?"Ayo Ran. Mungkin di ruangan lain. Aku bertemu dengannya di sana, dekat balkon," kata Pak Tiok langsung berlari ke tempat yang dia maksud."Rani! Ini Pak Kusuma!" teriaknya. Aku langsung berlari menghampiri dan terlihat, Mas Suma tergeletak di sofa dengan mata terpejam. Kakinya terkulai ke bawah dengan pakaian berantakan, bahkan kancing bajunya pun sudah terbuka."Mas Suma!" "Sabar, Ran. Dia tidak apa-apa," kata Pak Tiok setelah mengecek denyut nadi dan pernapasan."Pak Tiok, tolong hubungi dokter Hendra," ucapku dengan memberikan ponselku kepadanya.*"Rani, Suma tidak apa-apa. Dia minum obat tidur dalam dosis lebih. Sebentar lagi dia pasti bangun. Jangan kawatir, ya," ucap Dokter Hendra
"Papi ...!" teriak Amelia menyambut kami. Ditemani Wisnu, mereka menunggu kami di depan pintu rumah.Amelia berhambur memeluk Papinya dan Wisnu langsung menghampiriku."Ma, Papi tidak apa-apa, kan?" tanya Wisnu sambil menggandeng tanganku."Ayo kita masuk dulu. Ceritanya di dalam," ucap Mas Suma menarik kami. Amelia masih lengket menggelendot di lengannya."Mas Suma, bersih-bersih dulu. Hilangkan bekas kotoran tadi," ucapku dengan mendorongnya masuk ke kamar. "Kalian tunggu sebentar, nanti Papi ke sini lagi. Amelia, tolong kasih tahu Bik Inah hangatkan bubur kacang hijau tadi. Nanti kita makan bersama." "Baik, Ma."*"Mas Suma, harus bersih-bersih badan. Saya tidak mau ada bekas Catherine di sana," ucapku sambil menyerahkan kantong plastik besar ke arahnya."Untuk apa ini?""Taruh yang Mas Suma pakai di sini. Saya tidak mau melihatnya, lagi."Tanpa melihatnya, aku berbalik menuju almari menyiapkan baju bersih untuknya. Rasa kesal masih lekat di hatiku. Mengingat keadaannya tadi deng
Pengakuan salah dari Mas Suma membuatku semakin bangga bersuamikan dia. Apalagi pengakuan itu, di depan anak-anak. Ini sebagai pelajaran bahwa tindakan salahnya dan tidak layak ditiru mereka. Harapanku, kejadian tidak menyenangkan kemarin membuat hubungan keluarga kami semakin erat. Tidak akan ada rahasia lagi diantara kami, selalu bercerita walaupun kita rasa itu tidak perlu.Kasih, cinta, sayang, kepercayaan dan keterbukaan untuk menjadikan keluarga yang kuat."Ran, sebentar lagi ulang tahun Wisnu," ucap Mas Suma. Dia menutup buku dan diletakkan di meja. Aku yang baru datang, langsung mengambil kursi untuk duduk di sampingnya. Kebiasaan baru kami di bulan puasa, setelah salat Subuh menghabiskan waktu berbincang atau membaca bersama di teras kamar. Kamar kami mempunyai teras belakang yang tertutup. Ada taman kecil di sana, teras berisi dua kursi malas dan di sampingnya ada dua rak tinggi berisi koleksi buku kami. Seringkali kami tenggelam bersama dalam buku bacaan dan diakhiri den
"Siang, Rani. Kamu ingin bicara tentang ulang tahun Wisnu, ya? Baru saja aku mau telpon kamu. Eh, mobil Wisnu sudah aku pesan. Perkiraanku, datang pas ulang tahun. Aku ingin kasih surprise buat dia!" ucapnya tanpa berhenti. Membuatku tertegun dan bertambah pusing kepalaku ini. Mas Bram sudah membelikan mobil Wisnu. Bagaimana dengan Mas Suma?"Rani ...! Katanya mau bicara, kok diam saja?!" teriak Mas Bram."A-aku cuma mau mengingatkan ulang tahun Wisnu saja," jawabku dengan masih tidak tahu apa yang bisa aku lakukan. "Ya pasti ingatlah. Wisnu itu anakku, darah dagingku. Tidak mungkin aku melupakan ulang tahun buah cinta kita," terangnya dengan sudah menyebut kata cinta. Aku harus cepat mengakhiri percakapan ini. Tidak baik kalau di teruskan."Baiklah, Mas. Maaf, tidak bisa lama-lama. Si kecil rewel. Salam buat ibunya anak-anak, ya," pamitku langsung menutup sambungan telpon, sampai aku lupa mengucapkan salam. Pikiranku kosong, tidak ada cara atau ide untuk mendamaikan keinginan mere
Hari ini aku tidak ke gallery, begitu juga Mas Suma tidak ke kantor. Semua libur. Semua mencurahkan waktu untuk ulang tahun Kak Wisnu sore nanti. "Eyang Uti ke sini, Ma?" tanya Amelia."Eyang Uti di kampung. Di bulan puasa, Eyang Uti bersama Eyang Sastro," jelasku."Eyang Uti dan Eyang Sastro tadi sudah VC sama Wisnu. Mereka titip salan buat Mama!" ucap Wisnu sambil mencium pipiku. "Ma, Eyang Uti pindah ke ke kampung?" tanya Amelia."Bukan seperti itu, Eyang Uti membangun villa di sana. Tetapi, sementara nemenin Eyang Sastro," jelasku."Asyik, kalau begitu kita bisa sering-sering pulang kampung dong! Amelia suka ke pasar, banyak jajan kampung!" teriak Amelia."Huh ...! Dasar suka makan! Gendut!" celetuk Wisnu mulai mengganggu Amelia. "Daripada Kak Wisnu, cacingan! Makan banyak tapi tidak jadi daging. Kan kasihan Mama yang sudah capek-capek masak. Ya, Ma? Wek!" balas Amelia sambil menjulurkan lidah ke arah kakak sambungnya itu.Mereka seperti itu, seperti Tom dan Jerry. Selalu ada
Buka puasa bersama, dilanjutkan dengan salat Magrib berjamaah. Kemudian acara inti."Malam yang indah ini, malam yang paling indah buat Wisnu," ucap Wisnu setelah potong tumpeng.Anakku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Menatap satu persatu yang hadir, seakan mengucapkan terima kasih."Dikelilingi dengan keluarga yang memberikan Wisnu cinta. Terima kasih kata yang tidak cukup untuk membalasnya. Hanya sayang yang Wisnu punya untuk kalian semuanya. Mama, Papi Suma, Papa Bram, Tante Wulan dan Amelia, juga adik-adik kecilku. Terima kasih ...." ucap Wisnu dengan suara serak tercekat, dia tidak bisa meneruskan kalimatnya. Hanya senyuman dan air mata bahagia yang tersampaikan. Aku langsung memeluk anakku yang sudh menjulang tinggi ini."Selamat ulang tahun, Sayang. I love you," bisikku dengan mencium pipi kanan dan kiri. Wisnu mengusap air mata di pipinya, dengan tersenyum dia berkeliling menghampiri Mas Suma, Mas Bram dan Wulan."Kak Wisnu, kok tidak salim sama Amel!" teriak Amelia pro
Seringkali kekawatiran, ketakutan datang dari hati kita sendiri. Padahal, semua sudah di atur untuk sejalan dan tidak berbenturan.Seperti mobil hadiah Wisnu, keresahan akan perselisihan antara Mas Suma dan Mas Bram. Ternyata semua terjadi mengalir dan tanpa ada masalah, tergantung dari kita menanggapinya. Itulah dewasanya suamiku, melihat sesuatu dari sudut yang paling luas. "Ran, mulai hari ini, setiap selesai salat Subuh Aku dan Wisnu keliling. Dia harus lancar benar menguasai mobilnya," kata Mas Suma mengakhiri makan sahur. "Iya, Ma. Tadi malam Wisnu minta ijin Papi untuk pinjam Pak Maman supaya nemenin Wisnu. Eh, Papi malah mau ikutan. Papi tidak capek atau mengantuk?" tanya Wisnu dengan tersenyum kepada Papinya."Ya tidak, lah. Mama tuh, yang nantinya ngantuk karena Papi tidak nemenin dia," kata Mas Suma menggodaku. Memang benar sih, setiap habis Subuh kami mempunyai kebiasaan baru bersama. Yah, tapi demi Wisnu boleh saja, lah."Amelia boleh ikutan? Amel duduk di belakang," ce
"Pasti Pak. Bapak, jangan kawatir. Tolong kasih tahu alamatnya dan kami akan langsung ke sana," ucapku mencoba menenangkan. Mas Suma pernah bercerita, Catherine anak tunggal Pak Wahono. Sejak kecil selalu dimanja dan segala keinginannya dituruti. Karena itulah, Catherine tumbuh menjadi orang yang ambisius dan egois. Wujud kasih sayang untuk anak tunggalnya, membuat Pak Wahono kewalahan. Seperti saat, dia terpaksa mengecewakan Catherine karena tidak bisa membujuk seorang Kusuma untuk bersama dengan putrinya."Suma, aku bersedia melepas sahamku untukmu semuanya, asalkan kamu bersedia menjadi menantuku," ucap Pak Wahono, menurut cerita Mas Suma."Om, Catherine sudah saya anggap seperti adik saya sendiri. Saya tidak bisa lebih dari itu," jawab Mas Suma saat itu. Dia sudah memiliki Amelia dan sudah berstatus duda."Apa yang kurang dengan putriku. Dia cantik, pintar dan penampilannya juga luar biasa.""Maafkan Suma, Om."Sejak itulah Mas Suma berusaha menjauh dari mereka, bahkan mengubah