"Siang, Rani. Kamu ingin bicara tentang ulang tahun Wisnu, ya? Baru saja aku mau telpon kamu. Eh, mobil Wisnu sudah aku pesan. Perkiraanku, datang pas ulang tahun. Aku ingin kasih surprise buat dia!" ucapnya tanpa berhenti. Membuatku tertegun dan bertambah pusing kepalaku ini. Mas Bram sudah membelikan mobil Wisnu. Bagaimana dengan Mas Suma?"Rani ...! Katanya mau bicara, kok diam saja?!" teriak Mas Bram."A-aku cuma mau mengingatkan ulang tahun Wisnu saja," jawabku dengan masih tidak tahu apa yang bisa aku lakukan. "Ya pasti ingatlah. Wisnu itu anakku, darah dagingku. Tidak mungkin aku melupakan ulang tahun buah cinta kita," terangnya dengan sudah menyebut kata cinta. Aku harus cepat mengakhiri percakapan ini. Tidak baik kalau di teruskan."Baiklah, Mas. Maaf, tidak bisa lama-lama. Si kecil rewel. Salam buat ibunya anak-anak, ya," pamitku langsung menutup sambungan telpon, sampai aku lupa mengucapkan salam. Pikiranku kosong, tidak ada cara atau ide untuk mendamaikan keinginan mere
Hari ini aku tidak ke gallery, begitu juga Mas Suma tidak ke kantor. Semua libur. Semua mencurahkan waktu untuk ulang tahun Kak Wisnu sore nanti. "Eyang Uti ke sini, Ma?" tanya Amelia."Eyang Uti di kampung. Di bulan puasa, Eyang Uti bersama Eyang Sastro," jelasku."Eyang Uti dan Eyang Sastro tadi sudah VC sama Wisnu. Mereka titip salan buat Mama!" ucap Wisnu sambil mencium pipiku. "Ma, Eyang Uti pindah ke ke kampung?" tanya Amelia."Bukan seperti itu, Eyang Uti membangun villa di sana. Tetapi, sementara nemenin Eyang Sastro," jelasku."Asyik, kalau begitu kita bisa sering-sering pulang kampung dong! Amelia suka ke pasar, banyak jajan kampung!" teriak Amelia."Huh ...! Dasar suka makan! Gendut!" celetuk Wisnu mulai mengganggu Amelia. "Daripada Kak Wisnu, cacingan! Makan banyak tapi tidak jadi daging. Kan kasihan Mama yang sudah capek-capek masak. Ya, Ma? Wek!" balas Amelia sambil menjulurkan lidah ke arah kakak sambungnya itu.Mereka seperti itu, seperti Tom dan Jerry. Selalu ada
Buka puasa bersama, dilanjutkan dengan salat Magrib berjamaah. Kemudian acara inti."Malam yang indah ini, malam yang paling indah buat Wisnu," ucap Wisnu setelah potong tumpeng.Anakku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Menatap satu persatu yang hadir, seakan mengucapkan terima kasih."Dikelilingi dengan keluarga yang memberikan Wisnu cinta. Terima kasih kata yang tidak cukup untuk membalasnya. Hanya sayang yang Wisnu punya untuk kalian semuanya. Mama, Papi Suma, Papa Bram, Tante Wulan dan Amelia, juga adik-adik kecilku. Terima kasih ...." ucap Wisnu dengan suara serak tercekat, dia tidak bisa meneruskan kalimatnya. Hanya senyuman dan air mata bahagia yang tersampaikan. Aku langsung memeluk anakku yang sudh menjulang tinggi ini."Selamat ulang tahun, Sayang. I love you," bisikku dengan mencium pipi kanan dan kiri. Wisnu mengusap air mata di pipinya, dengan tersenyum dia berkeliling menghampiri Mas Suma, Mas Bram dan Wulan."Kak Wisnu, kok tidak salim sama Amel!" teriak Amelia pro
Seringkali kekawatiran, ketakutan datang dari hati kita sendiri. Padahal, semua sudah di atur untuk sejalan dan tidak berbenturan.Seperti mobil hadiah Wisnu, keresahan akan perselisihan antara Mas Suma dan Mas Bram. Ternyata semua terjadi mengalir dan tanpa ada masalah, tergantung dari kita menanggapinya. Itulah dewasanya suamiku, melihat sesuatu dari sudut yang paling luas. "Ran, mulai hari ini, setiap selesai salat Subuh Aku dan Wisnu keliling. Dia harus lancar benar menguasai mobilnya," kata Mas Suma mengakhiri makan sahur. "Iya, Ma. Tadi malam Wisnu minta ijin Papi untuk pinjam Pak Maman supaya nemenin Wisnu. Eh, Papi malah mau ikutan. Papi tidak capek atau mengantuk?" tanya Wisnu dengan tersenyum kepada Papinya."Ya tidak, lah. Mama tuh, yang nantinya ngantuk karena Papi tidak nemenin dia," kata Mas Suma menggodaku. Memang benar sih, setiap habis Subuh kami mempunyai kebiasaan baru bersama. Yah, tapi demi Wisnu boleh saja, lah."Amelia boleh ikutan? Amel duduk di belakang," ce
"Pasti Pak. Bapak, jangan kawatir. Tolong kasih tahu alamatnya dan kami akan langsung ke sana," ucapku mencoba menenangkan. Mas Suma pernah bercerita, Catherine anak tunggal Pak Wahono. Sejak kecil selalu dimanja dan segala keinginannya dituruti. Karena itulah, Catherine tumbuh menjadi orang yang ambisius dan egois. Wujud kasih sayang untuk anak tunggalnya, membuat Pak Wahono kewalahan. Seperti saat, dia terpaksa mengecewakan Catherine karena tidak bisa membujuk seorang Kusuma untuk bersama dengan putrinya."Suma, aku bersedia melepas sahamku untukmu semuanya, asalkan kamu bersedia menjadi menantuku," ucap Pak Wahono, menurut cerita Mas Suma."Om, Catherine sudah saya anggap seperti adik saya sendiri. Saya tidak bisa lebih dari itu," jawab Mas Suma saat itu. Dia sudah memiliki Amelia dan sudah berstatus duda."Apa yang kurang dengan putriku. Dia cantik, pintar dan penampilannya juga luar biasa.""Maafkan Suma, Om."Sejak itulah Mas Suma berusaha menjauh dari mereka, bahkan mengubah
"Suma ... ini salah saya. Yang terjadi ini salah saya," ucapnya menangis terisak.Mas Suma memandang kami bergantian. maksud Pak Wahono apa?*Pak Wahono bercerita keadaan Catherine. "Catherine ditinggal ibunya sejak kecil. Saya sangat sayang kepadanya, apapun yang dia minta pasti saya usahakan. Saya tidak bisa menolak keinginannya, walaupun terkadang itu keliru. Begitu juga saat ingin menikah dengan pria pilihannya. Saya sudah menyelidiki latar belakangnya. Walaupun tidak setuju, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya menjadi seperti ini," ucap Pak Wahono dengan terisak. Aku sodorkan tissue kepadanya. "Dia bertemu Remon ketika peragaan busana. Memang dia kaya dan berpenampilan menarik, sangat cocok dengan Catherine, tetapi sepak terjang di dunia bisnis terkenal kejam. Itu yang saya takutkan, awalnya. Catherine menyakinkan Om, Suma. Kalau dia baik-baik saja dan dia akan bahagia," jelasnya."Kamu tahu, kan. Catherine kalau ada maunya tidak bisa dicegak?" "Om Wahono mulai kapan m
"Dalam hidup memang tidak terlepas dari ujian. Siapapun itu. Tergantung kita menghadapi masalah bagaimana. Diilustrasikan, apakah kita termasuk golongan wortel, telor atau kopi?" terangku. Wisnu langsung mendongak ke arahku."Apa hubungannya, Ma?""Mereka kalau melalui proses perebusan yang diilustrasikan kesulitan, akan menunjukkan reaksi yang berbeda. Seperti wortel, awalnya keras setelah direbus bagaimana?""Empuk, Ma.""Iya. Wortel yang awalnya keras dan kuat, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, dia menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu. Kalau telor?""Mengeras!""Iya. Awalnya cair, fleksibel yang diartikan orang dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya cobaan, hatinya menjadi keras dan kaku, walaupun dari luar kelihatan sama. Kalau kopi?""Kalau kopi kesukaan, Mama. Diseduh dengan air mendidih, baunya harus membuat kita bersemangat dan tidak ngantuk," ucap Wisnu."Betul. Bubuk kopi yang hanya butiran halus, ketika dikucur air panas harumnya terasa nik
Nyonya Besar dengan kejutan seperti biasa, membawa truk dan sekarang entah isinya apa.***Mas Suma langsung bergegas memastikan apa yang terjadi, dan aku mengikutinya."Pi, Eyang Uti di depan," sambut Wisnu di depan pintu kamar. Di tempat parkir ada Nyonya Besar yang terlihat resah, begitu juga pengawai yang mengikuttinya. Amelia juga sudah di sana. Ada sebuah truk besar terparkir di pinggir jalan, lebih tepatnya food truk."Mami! Ini apa?" tanya Mas Suma sembari mengernyit berjalan mengelilingi truk. Truk bisa dibuka satu sisi di bagian samping. Ada estalase berisi lauk yang berjajar seperti warung makan berjalan. Ada saja yang dilakukan oleh Nyonya Besar."Tadi kami bermaksud membagi makanan gratis, tetapi malah di usir dengan petugas. Kami bingung mau ke mana, akhirnya ke sini saja," terang Anita, asisten Nyonya Besar. "Biarkan Mami istirahat dulu saja. Nanyaknya nanti," ucapku sembari memapah mertuaku yang terlihat lelah. "Sudah, aku sama Bik Inah saja. Kamu tolong urus makanan