Buka puasa bersama, dilanjutkan dengan salat Magrib berjamaah. Kemudian acara inti."Malam yang indah ini, malam yang paling indah buat Wisnu," ucap Wisnu setelah potong tumpeng.Anakku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Menatap satu persatu yang hadir, seakan mengucapkan terima kasih."Dikelilingi dengan keluarga yang memberikan Wisnu cinta. Terima kasih kata yang tidak cukup untuk membalasnya. Hanya sayang yang Wisnu punya untuk kalian semuanya. Mama, Papi Suma, Papa Bram, Tante Wulan dan Amelia, juga adik-adik kecilku. Terima kasih ...." ucap Wisnu dengan suara serak tercekat, dia tidak bisa meneruskan kalimatnya. Hanya senyuman dan air mata bahagia yang tersampaikan. Aku langsung memeluk anakku yang sudh menjulang tinggi ini."Selamat ulang tahun, Sayang. I love you," bisikku dengan mencium pipi kanan dan kiri. Wisnu mengusap air mata di pipinya, dengan tersenyum dia berkeliling menghampiri Mas Suma, Mas Bram dan Wulan."Kak Wisnu, kok tidak salim sama Amel!" teriak Amelia pro
Seringkali kekawatiran, ketakutan datang dari hati kita sendiri. Padahal, semua sudah di atur untuk sejalan dan tidak berbenturan.Seperti mobil hadiah Wisnu, keresahan akan perselisihan antara Mas Suma dan Mas Bram. Ternyata semua terjadi mengalir dan tanpa ada masalah, tergantung dari kita menanggapinya. Itulah dewasanya suamiku, melihat sesuatu dari sudut yang paling luas. "Ran, mulai hari ini, setiap selesai salat Subuh Aku dan Wisnu keliling. Dia harus lancar benar menguasai mobilnya," kata Mas Suma mengakhiri makan sahur. "Iya, Ma. Tadi malam Wisnu minta ijin Papi untuk pinjam Pak Maman supaya nemenin Wisnu. Eh, Papi malah mau ikutan. Papi tidak capek atau mengantuk?" tanya Wisnu dengan tersenyum kepada Papinya."Ya tidak, lah. Mama tuh, yang nantinya ngantuk karena Papi tidak nemenin dia," kata Mas Suma menggodaku. Memang benar sih, setiap habis Subuh kami mempunyai kebiasaan baru bersama. Yah, tapi demi Wisnu boleh saja, lah."Amelia boleh ikutan? Amel duduk di belakang," ce
"Pasti Pak. Bapak, jangan kawatir. Tolong kasih tahu alamatnya dan kami akan langsung ke sana," ucapku mencoba menenangkan. Mas Suma pernah bercerita, Catherine anak tunggal Pak Wahono. Sejak kecil selalu dimanja dan segala keinginannya dituruti. Karena itulah, Catherine tumbuh menjadi orang yang ambisius dan egois. Wujud kasih sayang untuk anak tunggalnya, membuat Pak Wahono kewalahan. Seperti saat, dia terpaksa mengecewakan Catherine karena tidak bisa membujuk seorang Kusuma untuk bersama dengan putrinya."Suma, aku bersedia melepas sahamku untukmu semuanya, asalkan kamu bersedia menjadi menantuku," ucap Pak Wahono, menurut cerita Mas Suma."Om, Catherine sudah saya anggap seperti adik saya sendiri. Saya tidak bisa lebih dari itu," jawab Mas Suma saat itu. Dia sudah memiliki Amelia dan sudah berstatus duda."Apa yang kurang dengan putriku. Dia cantik, pintar dan penampilannya juga luar biasa.""Maafkan Suma, Om."Sejak itulah Mas Suma berusaha menjauh dari mereka, bahkan mengubah
"Suma ... ini salah saya. Yang terjadi ini salah saya," ucapnya menangis terisak.Mas Suma memandang kami bergantian. maksud Pak Wahono apa?*Pak Wahono bercerita keadaan Catherine. "Catherine ditinggal ibunya sejak kecil. Saya sangat sayang kepadanya, apapun yang dia minta pasti saya usahakan. Saya tidak bisa menolak keinginannya, walaupun terkadang itu keliru. Begitu juga saat ingin menikah dengan pria pilihannya. Saya sudah menyelidiki latar belakangnya. Walaupun tidak setuju, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya menjadi seperti ini," ucap Pak Wahono dengan terisak. Aku sodorkan tissue kepadanya. "Dia bertemu Remon ketika peragaan busana. Memang dia kaya dan berpenampilan menarik, sangat cocok dengan Catherine, tetapi sepak terjang di dunia bisnis terkenal kejam. Itu yang saya takutkan, awalnya. Catherine menyakinkan Om, Suma. Kalau dia baik-baik saja dan dia akan bahagia," jelasnya."Kamu tahu, kan. Catherine kalau ada maunya tidak bisa dicegak?" "Om Wahono mulai kapan m
"Dalam hidup memang tidak terlepas dari ujian. Siapapun itu. Tergantung kita menghadapi masalah bagaimana. Diilustrasikan, apakah kita termasuk golongan wortel, telor atau kopi?" terangku. Wisnu langsung mendongak ke arahku."Apa hubungannya, Ma?""Mereka kalau melalui proses perebusan yang diilustrasikan kesulitan, akan menunjukkan reaksi yang berbeda. Seperti wortel, awalnya keras setelah direbus bagaimana?""Empuk, Ma.""Iya. Wortel yang awalnya keras dan kuat, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, dia menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu. Kalau telor?""Mengeras!""Iya. Awalnya cair, fleksibel yang diartikan orang dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya cobaan, hatinya menjadi keras dan kaku, walaupun dari luar kelihatan sama. Kalau kopi?""Kalau kopi kesukaan, Mama. Diseduh dengan air mendidih, baunya harus membuat kita bersemangat dan tidak ngantuk," ucap Wisnu."Betul. Bubuk kopi yang hanya butiran halus, ketika dikucur air panas harumnya terasa nik
Nyonya Besar dengan kejutan seperti biasa, membawa truk dan sekarang entah isinya apa.***Mas Suma langsung bergegas memastikan apa yang terjadi, dan aku mengikutinya."Pi, Eyang Uti di depan," sambut Wisnu di depan pintu kamar. Di tempat parkir ada Nyonya Besar yang terlihat resah, begitu juga pengawai yang mengikuttinya. Amelia juga sudah di sana. Ada sebuah truk besar terparkir di pinggir jalan, lebih tepatnya food truk."Mami! Ini apa?" tanya Mas Suma sembari mengernyit berjalan mengelilingi truk. Truk bisa dibuka satu sisi di bagian samping. Ada estalase berisi lauk yang berjajar seperti warung makan berjalan. Ada saja yang dilakukan oleh Nyonya Besar."Tadi kami bermaksud membagi makanan gratis, tetapi malah di usir dengan petugas. Kami bingung mau ke mana, akhirnya ke sini saja," terang Anita, asisten Nyonya Besar. "Biarkan Mami istirahat dulu saja. Nanyaknya nanti," ucapku sembari memapah mertuaku yang terlihat lelah. "Sudah, aku sama Bik Inah saja. Kamu tolong urus makanan
Kepalaku diusapnya pelan, kami melanjutkan melihat kesibukan Nyonya Besar bersama anak-anak. Tujuan panti lainnya sudah ditangani Anita, jadi setelah kegiatan ini selesai, kami pun segera pulang."Suma, Rani! Mami langsung pulang. Anak-anak ikut ke rumah Mami. Tadi Wisnu cerita tentang program Berbagi Makan. Mami ingin bicara dengan dia dan ingin gabung!" ucap Nyonya Besar sembari menggandeng tangan Wisnu dan Amelia."Ibu juga masih ingin bercanda dengan mereka. Besuk siangan biar diantar sopir untuk pulang," kata Nyonya Besar."Baik, Bu. Kami mohon pamit," ucap kami dan bergantian mencium tangan Nyonya Besar. Kamipun berpisah mobil dengan mereka."Ran, kamu kenapa?" tanya Mas Suma saat di dalam mobil. Entah kenapa, aku merasa tidak bertenaga dan lemas."Tidak apa-apa, Mas. Mungkin karena ngantuk.""Tidurlah, kamu terlalu capek. Semua kamu urus. Rumah, kantor, bahkan urusan Ibu," ucapnya dengan mengusap kepalaku. "Tempat duduknya kamu tarik ke belakang dan direbahkan. Kamu bisa sel
"Rani, wajahmu masih pucat. Aku tidak memperbolehkanmu puasa!" ucapan Mas Suma tegas, tertanda tidak bisa dibantah."Kamu mau ke mana?" tanyanya ketika aku menurunkan kaki dari tempat tidur."Iya aku tidak puasa, Mas. Aku hanya ingin menyiapkan makan sahur Mas Suma saja," ucapku memandangnya. Aku memejamkan mata, rasanya seperti pandanganku berputar mendera dikepalaku dan lemas sekujur badanku. Aku kenapa? Tidak biasanya seperti ini."Rani, kamu kenapa?" ucap Mas Suma, dia langsung jongkok di depanku, menatap wajahku dengan lekat. "Mas, aku pusing. Sahurnya minta tolong Bik Inah siapkan, ya. Amelia atau Wisnu suruh panggil. Eh iya, mereka tidak ada, ya. Aku saja ...""Stop! Aku bisa urus diriku sendiri. Bik inah aku panggil saja. Kamu tidak usah kawatir.""Tapi Mas Suma?"Mas Suma menggoyangkan kedua telunjuknya di depan wajahku, tanda tidak boleh membantah. Dinaikkan kakiku, dan dibaringkan tubuh ini di ranjang."Sudah, istirahat saja. Atau, aku bikinkan susu?" "Tidak, Mas Suma. Ak