"Suma ... ini salah saya. Yang terjadi ini salah saya," ucapnya menangis terisak.Mas Suma memandang kami bergantian. maksud Pak Wahono apa?*Pak Wahono bercerita keadaan Catherine. "Catherine ditinggal ibunya sejak kecil. Saya sangat sayang kepadanya, apapun yang dia minta pasti saya usahakan. Saya tidak bisa menolak keinginannya, walaupun terkadang itu keliru. Begitu juga saat ingin menikah dengan pria pilihannya. Saya sudah menyelidiki latar belakangnya. Walaupun tidak setuju, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya menjadi seperti ini," ucap Pak Wahono dengan terisak. Aku sodorkan tissue kepadanya. "Dia bertemu Remon ketika peragaan busana. Memang dia kaya dan berpenampilan menarik, sangat cocok dengan Catherine, tetapi sepak terjang di dunia bisnis terkenal kejam. Itu yang saya takutkan, awalnya. Catherine menyakinkan Om, Suma. Kalau dia baik-baik saja dan dia akan bahagia," jelasnya."Kamu tahu, kan. Catherine kalau ada maunya tidak bisa dicegak?" "Om Wahono mulai kapan m
"Dalam hidup memang tidak terlepas dari ujian. Siapapun itu. Tergantung kita menghadapi masalah bagaimana. Diilustrasikan, apakah kita termasuk golongan wortel, telor atau kopi?" terangku. Wisnu langsung mendongak ke arahku."Apa hubungannya, Ma?""Mereka kalau melalui proses perebusan yang diilustrasikan kesulitan, akan menunjukkan reaksi yang berbeda. Seperti wortel, awalnya keras setelah direbus bagaimana?""Empuk, Ma.""Iya. Wortel yang awalnya keras dan kuat, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, dia menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu. Kalau telor?""Mengeras!""Iya. Awalnya cair, fleksibel yang diartikan orang dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya cobaan, hatinya menjadi keras dan kaku, walaupun dari luar kelihatan sama. Kalau kopi?""Kalau kopi kesukaan, Mama. Diseduh dengan air mendidih, baunya harus membuat kita bersemangat dan tidak ngantuk," ucap Wisnu."Betul. Bubuk kopi yang hanya butiran halus, ketika dikucur air panas harumnya terasa nik
Nyonya Besar dengan kejutan seperti biasa, membawa truk dan sekarang entah isinya apa.***Mas Suma langsung bergegas memastikan apa yang terjadi, dan aku mengikutinya."Pi, Eyang Uti di depan," sambut Wisnu di depan pintu kamar. Di tempat parkir ada Nyonya Besar yang terlihat resah, begitu juga pengawai yang mengikuttinya. Amelia juga sudah di sana. Ada sebuah truk besar terparkir di pinggir jalan, lebih tepatnya food truk."Mami! Ini apa?" tanya Mas Suma sembari mengernyit berjalan mengelilingi truk. Truk bisa dibuka satu sisi di bagian samping. Ada estalase berisi lauk yang berjajar seperti warung makan berjalan. Ada saja yang dilakukan oleh Nyonya Besar."Tadi kami bermaksud membagi makanan gratis, tetapi malah di usir dengan petugas. Kami bingung mau ke mana, akhirnya ke sini saja," terang Anita, asisten Nyonya Besar. "Biarkan Mami istirahat dulu saja. Nanyaknya nanti," ucapku sembari memapah mertuaku yang terlihat lelah. "Sudah, aku sama Bik Inah saja. Kamu tolong urus makanan
Kepalaku diusapnya pelan, kami melanjutkan melihat kesibukan Nyonya Besar bersama anak-anak. Tujuan panti lainnya sudah ditangani Anita, jadi setelah kegiatan ini selesai, kami pun segera pulang."Suma, Rani! Mami langsung pulang. Anak-anak ikut ke rumah Mami. Tadi Wisnu cerita tentang program Berbagi Makan. Mami ingin bicara dengan dia dan ingin gabung!" ucap Nyonya Besar sembari menggandeng tangan Wisnu dan Amelia."Ibu juga masih ingin bercanda dengan mereka. Besuk siangan biar diantar sopir untuk pulang," kata Nyonya Besar."Baik, Bu. Kami mohon pamit," ucap kami dan bergantian mencium tangan Nyonya Besar. Kamipun berpisah mobil dengan mereka."Ran, kamu kenapa?" tanya Mas Suma saat di dalam mobil. Entah kenapa, aku merasa tidak bertenaga dan lemas."Tidak apa-apa, Mas. Mungkin karena ngantuk.""Tidurlah, kamu terlalu capek. Semua kamu urus. Rumah, kantor, bahkan urusan Ibu," ucapnya dengan mengusap kepalaku. "Tempat duduknya kamu tarik ke belakang dan direbahkan. Kamu bisa sel
"Rani, wajahmu masih pucat. Aku tidak memperbolehkanmu puasa!" ucapan Mas Suma tegas, tertanda tidak bisa dibantah."Kamu mau ke mana?" tanyanya ketika aku menurunkan kaki dari tempat tidur."Iya aku tidak puasa, Mas. Aku hanya ingin menyiapkan makan sahur Mas Suma saja," ucapku memandangnya. Aku memejamkan mata, rasanya seperti pandanganku berputar mendera dikepalaku dan lemas sekujur badanku. Aku kenapa? Tidak biasanya seperti ini."Rani, kamu kenapa?" ucap Mas Suma, dia langsung jongkok di depanku, menatap wajahku dengan lekat. "Mas, aku pusing. Sahurnya minta tolong Bik Inah siapkan, ya. Amelia atau Wisnu suruh panggil. Eh iya, mereka tidak ada, ya. Aku saja ...""Stop! Aku bisa urus diriku sendiri. Bik inah aku panggil saja. Kamu tidak usah kawatir.""Tapi Mas Suma?"Mas Suma menggoyangkan kedua telunjuknya di depan wajahku, tanda tidak boleh membantah. Dinaikkan kakiku, dan dibaringkan tubuh ini di ranjang."Sudah, istirahat saja. Atau, aku bikinkan susu?" "Tidak, Mas Suma. Ak
"Saya pakai kontrasepsi. Kenapa bisa begitu?" Lalu dr. Hendra menjelaskan. Aku mengalami hamil ektopik yang dikenal dengan hamil di luar kandungan.Menggunakan IUD ada kemungkinan terjadi kehamilan ektopik, walaupun kemungkinan hanya sekitar 0,1 persen saja. Kondisi ini di mana sel telur dibuahi di luar rahim. Itu yang terjadi kepadaku.Perkembangan janin yang tidak pada tempat semestinya, membuat perkembangan tidak normal dan akhirnya keguguran."Mas Suma, Danish dan Anin bagaimana?""Anak-anak, aman. Amelia dan Wisnu sudah di rumah, mereka bertugas mengawasi adik-adiknya. Kamu istirahat yang tenang, ya," ucap Mas Suma mengusap punggung tanganku."Ran, aku sangat kawatir melihatmu seperti itu. Aku takut terjadi sesuatu yang fatal. Membayangkan kehilanganmu, membuatku gila!" ucap Mas Suma merangkul tubuhku.Dia duduk di banggu di sebelah ranjang, kelapanya diletakkan disebelah sisiku. Aku membelai rambutnya berusaha menenangkannya."Kamu jangan begitu lagi, ya? Aku tidak sanggu
Aku pun semakin membenamkan kepalaku ke dalam pelukannya. Mas Suma, suamiku. I love you *"Mas Suma ... aku sakit apa?" tanyaku melihat raut kegusaran diwajahnya. Dengan kedua tangannya dimasukkan di saku celana, dia mondar-mandir dari kamar rawatku ke ruang tamu, atau berkeliling di kamar dengan sesekali melongok ke luar jendela. Tidak mungkin dia menantikan sesuatu, karena kamar ini terletak di lantai lima. Kebiasaan lamanya mulai muncul lagi. Biasanya, dalam keadaan ini aku akan membuatkan teh chamomile untuknya dan mengajaknya berbincang sampai dia merasa tenang."Mas Suma," panggilku sekali lagi ketika dia berjalan dekat denganku. Aku raih lengannya untuk berhenti. Mas Suma berhenti melangkah dan berbalik ke arahku. Meletakkan kedua tangannya di bahu ini, dan menatap ke arahku dengan sendu. Aku terhenyak melihat sorot mata itu, ada kesedihan yang terlihat jelas di sana."Ada apa, Mas Suma?” Aku menatap matanya dan mengarahkan tanganku ke wajah yang terlihat sendu ini."Ran,
Rasa kangen bertemu anak-anak membuatku sesak. Apalagi, hari besok jadwal operasiku. Saat ini, aku ditemani perawat karena Mas Suma harus ke kantor, menyelesaikan pekerjaan. Setelah itu, harus ke gallery untuk mengontrol operasional di sana yang dipegang sementara oleh Aitu dan Pak Tiok. Dia memastikan semua beres hari ini, karena mulai besok akan konsen dengam proses operasi dan pemulihanku."Selamat sore, Maharani!" Suara Dokter Hendra menyadarkanku. Dia datang bersama dokter yang memeriksaku dan perawat.“Baik Dokter,” jawabku sembari memaksakan tersenyum. "Bagaimana keadaanmu? Harus relax dan jangan menambah beban pikiran," ucapnya sambil memeriksaku. "Tekanan darah bagus! Iya semua bagus. Besuk kita laksanakan sesuai jadwal!" ucapnya dengan tersenyum.Aku menghela napas. Apa yang diucapkan seperti mengingatkan aku pada kenyataan bahwa dalam hitungan jam, tubuhku akan terbaring di meja operasi."Sudah siap dan yakin, kan?" tanya Dokter Hendra setelah semua selesai. Perawat yang m