"Bukankan kamu ikut Mas Farhan, ya. Aku pernah ke rumahmu, mereka baik. Setahuku sekolah dan kuliah ditanggung kakak kamu." Sepertinya komentar ini dari teman sekolah Dek Hana dulu. . Aku mengarahkan jariku pada balasan dari Dek Hana. "Wajarlah, mereka memberiku makan. Pembantu saja dikasih makan dan gaji. Anggap saja uang sekolah upahku karena mengerjakan pekerjaan rumah." . DEG! *** Lengkapnya ada di cerbung yang berjudul: Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi
Aku mengaduh dan membalas mencubit perut Mas Suma dengan gemas. Sebelum mencubit yang kali kedua, tangan ini ditangkapnya. Seperti terhipnotis, mata ini terpaku pada matanya yang mulai berkabut, menyiratkan hasrat yang mulai terpatik. “Ran ….” “Hmm ….” “Minta bekal, ya,” bisiknya sesaat sebelum mengikis jarak wajah kami. Dengus napasnya yang mulai menerpa permukaan kulit ini, mulai membuat diriku ditenggelamkan pada setiap sentuhan lembutnya. Saling menyambut dan menautkan rasa, kami pun bersama mengarungi samudra cinta yang menggairahkan. Bersandar bersama di pelabuhan kepuasan. Dengan mengetatkan selimut, kami yang masih polos bergelung melepas penat sembari berbagi kehangatan. Mas Suma mencium pundak ini sambil berbisik, “I love you, Honey.” Sentuhan bibir di permukaan kulit ini masih meninggalkan geleyar indah di hati. Seakan menarik tubuh ini untuk lebih menyelusup dalam pelukannya. Kata cinta dan sayang dia bisikkan, menghangatkan hati ini dan mengukuhkan rasa percaya bahwa
Berat rasanya membiarkan Maharani dan anak-anak pergi untuk liburan, walaupun di jarak yang tidak terlalu jauh. Namun, kesempatan yang tidak berpihak kepadaku membuat diri ini harus menerima konsekuensi. Perusahaan sedang tidak baik-baik saja, dan bisa jadi bertambah buruk ketika aku sejenak berpaling dari pekerjaan.Sementara, keinginan pribadi dan keluarga aku korbankan demi pekerjaan. Apalagi Desi yang tidak aktif seratus persen. Untungnya ada Kalila, sekretaris tunjukan Desi yang bisa membantuku. Menurut Desi, Kalila ini sudah lama bekerja di perusahaan. Pengalamannya yang pernah ditugaskan di beberapa bidang dan pembawaannya yang supel, pintar, dan berpenampilan yang menarik, menjadi alasan kenapa dia ditunjuk menjadi pengganti Desi untuk sementara.“Selamat pagi, Tuan Kusuma. Semua peserta meeting hari ini sudah siap di ruangan.” Suara Kalila membuatku bergegas untuk bersiap.Hari ini, hari pertama dia menggantikan tugas Desi secara penuh. Perempuan yang masih muda itu menggunak
Yang lebih menyakitkan, ada satu foto yang memperlihatkan tatapan Mas Suma yang tertuju pada dada si wanita yang terlihat sesak itu. Duh! “Rani!” Teriakan Ibu dari teras menyadarkan aku. Segera, aku menghela napas panjang dan berusaha tersenyum untuk menutupi rasa resah ini. Biarlah, tentang pesan yang masuk ini aku pikirkan nanti. Toh, apa yang terjadi sebenarnya aku pun tidak tahu. “Ayuk turun, Ma. Eyang Sastro sudah tidak sabar, tuh!” seru Wisnu yang sudah menghampiriku. Dari mulutnya yang masih mengunyah makanan, bisa dipastikan dia sudah sampai sedari tadi. “Mama kelihatan pucat. Apa terasa lemas?” Anakku itu mengulurkan tangan dengan menunjukkan raut wajah kawatir. “Tangan Mama juga dingin dan berkeringat,” imbuhnya saat meraih tanganku yang terulur. “Mama tidak apa-apa. Cuma pegal karena duduk terlalu lama. Yuk! Kasihan tuh, Eyang sudah nungguin.” Akupun mengeratkan genggaman tangan, dan dengan bertumpu kepadanya, kami pun menghampiri Ibu yang mengulurkan kedua tangannya.
Ingin aku segera berlari menuju suamiku untuk meminta maaf. Seandainya dia dalam jangkauanku, aku pasti berhambur ke dalam pelukannya. “Jangan nambahi ruwet pikiran suami yang sudah ruwet.” Kata-kata Ibu yang dilontarkan dengan nada biasa tetapi menohok tepat di hati ini. Mengukuhkan aku sebagai istri seorang Tuan Kusuma yang tidak berguna. Tidak mampu melakukan tugas walaupun sekadar memberi semangat. Alih-alih memberi dukungan, aku justru memambah beban pikirannya. Aku mengambil ponsel. Kalau belum bisa bertemu langsung, minimal permintaan maaf melalui pesan bisa mengurangi rasa berdosa yang membebani ini. [Mas Suma ….] [Aku meminta maaf karena mencurigaimu hanya berdasar foto tanpa mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya] Jemari ini terhenti oleh ingatan kalau foto yang aku dapatkan berasal dari orang yang tidak dikenal. Bagaimana kalau Mas Suma bertanya dari mana mendapatkan foto itu? Bisa jadi ini menambah pikiran pada suamiku itu. Kata maaf yang tiba-tiba akan membuatkan
POV KUSUMA Yang aku butuhkan sekarang Maharani. Keresahanku ini biasanya diurai dengan kehadirannya dengan senyum menenangkan, sembari menyodorkan teh chamomile. Memang terdengar sederhana, tapi inilah yang membuat hatiku tenang. Syaraf yang menegang seakan mulai terurai dan ketenangan membuka pikiranku membentangkan gagasan yang tadinya tidak terlihat. Biasanya, kami akan melanjutkan dengan berbincang tentang masalah perusahaan. Walaupun sering kali terjeda dengan sentuhan dan berlanjut dengan bertautnya hasrat. Sungguh, aku menginginkan dia sekarang. Hasil meeting hari ini dengan kepala cabang membuatku resah. Semua nunjukkan perusahaan tidak baik-baik saja. Hampir seluruhnya menyodorkan laporan pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang. Hanya untuk bertahanpun, aku harus menggelontorkan dana simpanan dalam jumlah besar. Ini, kalau aku bersikukuh tidak melakukan perampingan perusahaan. Teh yang disodorkan Kalila sekertaris pengganti Desi, tidak mampu mengurai penatku. Entah, pad
POV MAHARANIAku poles riasan tipis-tipis. Hanya sekadar terlihat segar dan menutupi wajahku yang masih pucat. Tak lupa, aku bubuhkan wewangian shea butter yang lembut ini.Di depan cermin, aku tersenyum sambil memastikan penampilanku tidak menyedihkan. Pesan dari suamiku membangkitkan semangat diri ini. Memancarkan aura kebahagiaan dengan senyum yang berbayang. Aku harus bangkit, demi anak-anak, suami, dan terlebih untuk diriku sendiri.Kekuatan yang terbesar untuk menjadi baik, bukan dari orang lain. Namun, dari diri sendirilah awalnya. Karenanya, aku bertekad untuk cepat pulih, dan langkah pertama adalah makan.“Ma! Ini yang mancing Amel, lo. Trus itu juga yang petik sayurnya juga Amel.” Suara Amel menyambutku yang baru keluar dari kamar.Dia menunjuk makanan yang tersaji di meja makan. Ada gurami pesmol, tumis pucuk labu, dan urap sayur. Ada juga di piring satunya, tempe goreng dan tahu bacem. Semuanya kesukaanku. Entah kenapa, rasa tempe di kampung berbeda dengan tempe di kota.
Aku mengetatkan selimut di tubuhku. Udara di kampung terasa sejuk, walaupun tanpa pendingin udara. Angin semilir menyelusup di sela kisi-kisi jendela. Huuft, seandainya ada Mas Suma, pasti akan udara tidak sedingin ini. Justru akan membuat kami semakin merapat untuk berbagi kehangatan. Tangannya yang hangat menimbulkan kehangatan yang membuatku nyaman. Itu yang menyebabkan, kenapa kami selalu berpelukan saat tidur bersama. Apa yang dilakukan dia sekarang, ya? Apakah dia sudah tertidur? Tadi, setelah membersihkan diri dan berganti baju tidur, aku merebahkan diri. Tidak lupa melaksanakan anjuran Ibu, minum jamu yang sudah disiapkan di meja. Sempat menghubungi suamiku, tapi tidak diangkat ponselnya. Aku kirim pesan juga tidak dibalas. Mungkin, dia sudah tertidur pulas karena kecapekan seharian bekerja. Aku segera menyambar ponsel di atas nakas ketika ada pesan masuk. Tadi setelah tidak bisa menghubungi Mas Suma, aku mencari tahu pada Pak Satpam yang bertugas malam ini. Dia tidak bisa
Sembari memberikan tatapan yang nakal, kedua tanganku mengalung di lehernya. Gerakan ini menyingkap selimut dan menunjukkan bagian atasku yang tanpa tertutup selembar benangpun.Aku beringsut ke atas sembari berbisik, “Aku juga masih ingin.”Gayung pun tersambut. Raut wajahnya menunjukkan keterkejutan sejenak, kemudian pudar dengan senyuman dan tatapan mulai mendamba.“Aku juga masih sanggup,” ucapnya sesaat sebelum kami kembali larut.Seperti sepasang kekasih yang lama terpisah, kami pun saling berpaut kembali mengikis jeda dan kembali tenggelam menghabiskan sisa malam. Dingin dan heningnya kamar ini sudah berganti dengan deru napas yang saling bersautan. Ucapan sayang, cinta, dan pekikkan nama menandakan kelegaan yang sangat. Diri ini seakan membumbung tinggi bersama dan berakhir terkulai di dalam pelukan hangatnya.Sungguh, ini malam yang indah.***Walaupun kami yang mempunyai waktu tidur yang tidak lama, tapi suasana di kampung membuat kami terjaga pagi-pagi. Kokok ayam jantan d