Maaf updatenya diki-dikit. Dekbay yang di perut mulai nakal.
Kalau aku mencari apa yang tidak ada padanya, maka aku akan selalu merasa kekurangan. Namun, ketika aku bersyukur dengan semua yang ada padanya, kupastikan hati ini berlimpah kebahagiaan. * Aku bergegas berganti pakaian sambil tertawa sendiri, mengingat adegan salah maksud ini. Kata olah raga yang diterjemahkan pikiranku memiliki arti terlalu jauh. Padahal, sudah terbayang bagaimana kami akan bergelung bersama di balik selimut. Huuft! Untung saja Mas Suma tidak menyadari kekeliruanku ini. Namun, bukan kesalahanku sepenuhnya, kan. Seumur-umur, tidak pernah suamiku itu mengajakku berolah-raga di sore hari ini. Apalagi di kampung yang hanya mendapati orang olah raga hanya saat hari minggu pagi. Itu pun jarang. “Mama! Kita sudah siap!” sambut Amelia dengan wajah sumringah. Dia juga sudah bersiap dengan menggunakan baju training berwarna merah. Kalau dia paling antusias dengan rencana Mas Suma yang diluar kebiasaan ini. “Mas, apa tidak aneh kita olah raga sore hari gini. Ini kampung,
Jalan yang kami lewati sudah memasuki kawasan persawahan. Masih saling bergandengan tangan, kami disambut udara sejuk yang tertiup dari hamparan hijau yang terhampar.Sesekali kami mengangguk menyapa para petani yang bersiap menyudahi pekerjaannya. Mereka membersihkan diri dan peralatannya di parit kecil yang mengalirkan air begitu jernih. Noda lumpur menandakan harapan aka hasil panen yang diharapkan melimpah. Senyuman hangat ditujukan kepada kami dengan hati yang tulus.“Tuh, lihat mereka yang terlihat sehat. Itu karena mereka bekerja dengan menggerakkan badan. Berbeda dengan kita yang badannya jarang bergerak, sedangkan kepala diperas habis-habisan. Makanya, untuk mengimbangi, kita harus sering-sering olah raga seperti ini,” seru Mas Suma sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.Dari kejauhan, tampak Amelia dan Wisnu melambaikan tangan. Mereka loncat-loncat sambil melambaikan tangan.“Mereka kenapa?” tanyaku heran.“Tunggu saja. Di sana sudah ada kejutan yang menunggu,” ucap Mas
Aku tersenyum melihat gaya tidur suamiku ini. Belum lama dia memberikan wejangan untuk mengurangi tidur siang dan menggantikan dengan olah raga, eh, ternyata dia berakhir dengan terkapar dengan mulut terbuka. Hmm… usia sering kali menghianati keinginan. Inginnya setelah olah raga menikmati alam terbuka di tengah sawah ini, tapi tidak mampu menolak godaan merajut mimpi. Apa justru sekarang ini wujud kenikmatannya. Tertidur dalam belaian udara sejuk di sela kicauan burung sebagai pengantarnya? Perlahan, aku katupkan rahang Mas Suma. Gerakan sepelan mungkin supaya tidak mengusik tidurnya. Dia memeng terkadang menjengkelkan, tapi waktu terasa kurang saat dia tidak ada di sisiku. Menatap wajahnya yang mulai dihiasi kerutan, dan beberapa rambut putih yang menyeruak di sela warna hitam, pertanda tambahnya usia. Ini menyadarkan aku bahwa kami sudah mengarungi kebersamaan dalam perkawinan dalam waktu yang tidak sebentar. Apalagi yang akan dicari, selain kebahagiaan? Kami sudah tidak muda l
Sepanjang jalan pulang, tak henti-hentinya Amelia meledek Mas Suma yang ketiduran di pondok. Mereka saling adu argumen kalau dia paling benar. Aku dan Wisnu hanya mengikuti sambil tersenyum. ‘Hmm… keadaaan sudah mulai normal.’ * “Aku pikir kamu sudah tidur,” seru Mas Suma sesaat setelah membuka pintu kamar. Setelah makan malam, memang aku langsung masuk ke kamar. Meninggalkan Mas Suma yang berbincang dengan Wisnu di teras depan. Tentu saja, setelah menghidangkan camilan pisang rebus dan teh hangat untuk mereka. Aku menoleh ke arahnya dan menunjukkan senyuman. Apalagi mendapati penampilannya yang mulai berubah saat di kampung. Entah kenapa, dia sekarang enggan menggunakan piyama dan justru menyukai menggunakan sarung saat santai seperti ini. “Ini namanya penampilan adaptasi, Ran. Kalau di sini mana ada orang menggunakan piyama. Dengan pakai sarung, aku seperti orang kampung, kan?” Itu yang ucapkan memberi alasan. Yang membuatku menautkan alis saat dia menambahkan alasan berikutny
“Mas Suma yakin dengan rencana ini?” tanyaku sambil merapikan kemeja yang dia kenakan.Suamiku ini tersenyum, kemudian menangkup wajah ini, merapikan rambutku dan mengaitkan di telinga.“Ini wujud dukungan suami ke istri yang sudah bersemangat lagi, Ran. Ini bukan membicarakan nominal uang, tapi anugrah yang diberikan kepada kita. Materi tidak artinya tanpa kamu yang kembali seperti dulu lagi.”“Bukannya perusahaan juga membutuhkan dana yang besar? Jangan masalahku menjadi beban bertambah lagi.”Bukannya tidak percaya dengan kemampuan suamiku ini, tapi keadaan perusahaan yang belum baik-baik saja membuatku ragu. Apalagi, Mas Suma menjanjikan akan mengucurkan dana untuk pengadaan alat dan pinjaman modal untuk para pengrajin yang akan membantu design furniture yang aku ciptakan. Dan, itu bukan nominal yang sedikit.“Rani, hilangkan rasa kawatirmu itu. Aku yakin perusahaan akan kembali pulih. Toh, keadaan ini bukan karena intern perusahaan, tapi karena kondisi global yang tidak menentu.”
Dari pagi, senyuman terbayang di wajah suamiku. Tidak hanya itu, dia selalu berusaha menyentuhku walaupun sekadar usapan dan ciuman sekilas. Jangan ditanya berapa kali dia membisikkan kata cinta dan sayang. Sampai-sampai, Amelia meledek habis-habisan tingkah Papinya ini.“Papi ini kenapa, sih. Amelia saja sudah tidak manja lagi sama Mama. Kok Papi kayak anak kecil saja!”“Eh, Amelia memang tidak boleh manja lagi. Kan sudah punya adek dua,” sahut Mas Suma tanpa melepaskan pelukan di pinggangku. Agak jengah juga, sih. Lagi bikin banana milkshake, ada yang nempel seperti perangko gini. Kemarin Ibu panen pisang di kebun. Buah masak di pohon ini aku blender tanpa gula tapi dicampur susu murni dan pendinginnya tidak menggunakan es batu, tapi es krim rasa vanilla. Rasanya segar dan creamy.“Apalagi Papi! Sudah punya anak empat!” celetuk Amelia sambil terkekeh, sambil menyiapkan beberapa gelas untuk minuman yang aku buat ini. “Sana-sana, olah raga pagi. Katanya semakin tua harus sering olah r
Masuk di pelataran rumah, kami langsung disambut Pak Slamet-satpam yang bertugas pagi ini. Begitu juga Pak Maman dan Bik Inah yang langsung sibuk menurunkan bawaan dari mobil.Aku mengedarkan pandangan menautkan rindu di seluruh sudut depan rumah kami. Aroma tanah dan tumbuhan hijau menyeruak di penciumanku. Bangunan kantor tempatku bekerja yang berseberangan dengan pintu masuk rumah, seakan memanggilku untuk berkutat di sana kembali.Senyum ini tercipta dengan sempurna, seakan aku menjadi manusia baru yang siap menapaki rencana-rencana yang sudah tercetus dan menunggu dilaksanakan.Benar, seenak-enaknya di tempat lain, rumah merupakan tempat yang dirindukan dan menjadi pelabuhan. Seasyik-asyiknya liburan, pasti berujung merindukan rumah untuk berlabuh.“Kangen, ya,” bisik Mas Suma mengagetkan aku. Tadi dia sibuk bicara dengan Pak Slamet, entah tiba-tiba sudah mengalungkan tangan di pinggang ini. Mungkin, karena aku yang terlalu larut melepas rindu, jadi tidak menyadari kehadirannya.
Raut wajah Mas Suma tidak berubah, masih datar dan tanpa senyum.“Nanti Amelia juga ikut ke acara itu, untuk apa kawatir? Mas Suma tidak percaya sama aku?” Aku mencoba menenangkannya dengan mengusap lembut lengannya sambil tersenyum.“Aku percaya denganmu, Ran. Tapi sering kali bisa saja terjadi kalau suasana dan keadaan mendukung. Bukankah mantan suamimu masih ada hati kepadamu? Aku kawatir dengan tidak adanya aku, dia bertindak macam-macam denganmu. Kamu tahu kan, kalau laki-laki kalau ada maunya bisa bertindak nekad?”“Senekad-nekadnya Mas Bram, dia tidak mungkin menjahatiku, Mas.”“Siapa bilang, buktinya dia menghianatimu dulu. Bukankah itu perlakukan yang digolongkan jahat?”“Mas—“ sahutku cepat, namun dipotong oleh suamiku.“Maaf kalau aku mengungkit masa lalu. Tapi ini menjadikan kita waspada, Ran. Kalau dia tega menghianati wanita yang dia bilang cintai, bisa jadi di tega juga memasang perangkap untukmu. Aku tahu dari sikap dan tatapannya setiap bertemu denganmu. Aku diam saja