Aku tersenyum melihat gaya tidur suamiku ini. Belum lama dia memberikan wejangan untuk mengurangi tidur siang dan menggantikan dengan olah raga, eh, ternyata dia berakhir dengan terkapar dengan mulut terbuka. Hmm… usia sering kali menghianati keinginan. Inginnya setelah olah raga menikmati alam terbuka di tengah sawah ini, tapi tidak mampu menolak godaan merajut mimpi. Apa justru sekarang ini wujud kenikmatannya. Tertidur dalam belaian udara sejuk di sela kicauan burung sebagai pengantarnya? Perlahan, aku katupkan rahang Mas Suma. Gerakan sepelan mungkin supaya tidak mengusik tidurnya. Dia memeng terkadang menjengkelkan, tapi waktu terasa kurang saat dia tidak ada di sisiku. Menatap wajahnya yang mulai dihiasi kerutan, dan beberapa rambut putih yang menyeruak di sela warna hitam, pertanda tambahnya usia. Ini menyadarkan aku bahwa kami sudah mengarungi kebersamaan dalam perkawinan dalam waktu yang tidak sebentar. Apalagi yang akan dicari, selain kebahagiaan? Kami sudah tidak muda l
Sepanjang jalan pulang, tak henti-hentinya Amelia meledek Mas Suma yang ketiduran di pondok. Mereka saling adu argumen kalau dia paling benar. Aku dan Wisnu hanya mengikuti sambil tersenyum. ‘Hmm… keadaaan sudah mulai normal.’ * “Aku pikir kamu sudah tidur,” seru Mas Suma sesaat setelah membuka pintu kamar. Setelah makan malam, memang aku langsung masuk ke kamar. Meninggalkan Mas Suma yang berbincang dengan Wisnu di teras depan. Tentu saja, setelah menghidangkan camilan pisang rebus dan teh hangat untuk mereka. Aku menoleh ke arahnya dan menunjukkan senyuman. Apalagi mendapati penampilannya yang mulai berubah saat di kampung. Entah kenapa, dia sekarang enggan menggunakan piyama dan justru menyukai menggunakan sarung saat santai seperti ini. “Ini namanya penampilan adaptasi, Ran. Kalau di sini mana ada orang menggunakan piyama. Dengan pakai sarung, aku seperti orang kampung, kan?” Itu yang ucapkan memberi alasan. Yang membuatku menautkan alis saat dia menambahkan alasan berikutny
“Mas Suma yakin dengan rencana ini?” tanyaku sambil merapikan kemeja yang dia kenakan.Suamiku ini tersenyum, kemudian menangkup wajah ini, merapikan rambutku dan mengaitkan di telinga.“Ini wujud dukungan suami ke istri yang sudah bersemangat lagi, Ran. Ini bukan membicarakan nominal uang, tapi anugrah yang diberikan kepada kita. Materi tidak artinya tanpa kamu yang kembali seperti dulu lagi.”“Bukannya perusahaan juga membutuhkan dana yang besar? Jangan masalahku menjadi beban bertambah lagi.”Bukannya tidak percaya dengan kemampuan suamiku ini, tapi keadaan perusahaan yang belum baik-baik saja membuatku ragu. Apalagi, Mas Suma menjanjikan akan mengucurkan dana untuk pengadaan alat dan pinjaman modal untuk para pengrajin yang akan membantu design furniture yang aku ciptakan. Dan, itu bukan nominal yang sedikit.“Rani, hilangkan rasa kawatirmu itu. Aku yakin perusahaan akan kembali pulih. Toh, keadaan ini bukan karena intern perusahaan, tapi karena kondisi global yang tidak menentu.”
Dari pagi, senyuman terbayang di wajah suamiku. Tidak hanya itu, dia selalu berusaha menyentuhku walaupun sekadar usapan dan ciuman sekilas. Jangan ditanya berapa kali dia membisikkan kata cinta dan sayang. Sampai-sampai, Amelia meledek habis-habisan tingkah Papinya ini.“Papi ini kenapa, sih. Amelia saja sudah tidak manja lagi sama Mama. Kok Papi kayak anak kecil saja!”“Eh, Amelia memang tidak boleh manja lagi. Kan sudah punya adek dua,” sahut Mas Suma tanpa melepaskan pelukan di pinggangku. Agak jengah juga, sih. Lagi bikin banana milkshake, ada yang nempel seperti perangko gini. Kemarin Ibu panen pisang di kebun. Buah masak di pohon ini aku blender tanpa gula tapi dicampur susu murni dan pendinginnya tidak menggunakan es batu, tapi es krim rasa vanilla. Rasanya segar dan creamy.“Apalagi Papi! Sudah punya anak empat!” celetuk Amelia sambil terkekeh, sambil menyiapkan beberapa gelas untuk minuman yang aku buat ini. “Sana-sana, olah raga pagi. Katanya semakin tua harus sering olah r
Masuk di pelataran rumah, kami langsung disambut Pak Slamet-satpam yang bertugas pagi ini. Begitu juga Pak Maman dan Bik Inah yang langsung sibuk menurunkan bawaan dari mobil.Aku mengedarkan pandangan menautkan rindu di seluruh sudut depan rumah kami. Aroma tanah dan tumbuhan hijau menyeruak di penciumanku. Bangunan kantor tempatku bekerja yang berseberangan dengan pintu masuk rumah, seakan memanggilku untuk berkutat di sana kembali.Senyum ini tercipta dengan sempurna, seakan aku menjadi manusia baru yang siap menapaki rencana-rencana yang sudah tercetus dan menunggu dilaksanakan.Benar, seenak-enaknya di tempat lain, rumah merupakan tempat yang dirindukan dan menjadi pelabuhan. Seasyik-asyiknya liburan, pasti berujung merindukan rumah untuk berlabuh.“Kangen, ya,” bisik Mas Suma mengagetkan aku. Tadi dia sibuk bicara dengan Pak Slamet, entah tiba-tiba sudah mengalungkan tangan di pinggang ini. Mungkin, karena aku yang terlalu larut melepas rindu, jadi tidak menyadari kehadirannya.
Raut wajah Mas Suma tidak berubah, masih datar dan tanpa senyum.“Nanti Amelia juga ikut ke acara itu, untuk apa kawatir? Mas Suma tidak percaya sama aku?” Aku mencoba menenangkannya dengan mengusap lembut lengannya sambil tersenyum.“Aku percaya denganmu, Ran. Tapi sering kali bisa saja terjadi kalau suasana dan keadaan mendukung. Bukankah mantan suamimu masih ada hati kepadamu? Aku kawatir dengan tidak adanya aku, dia bertindak macam-macam denganmu. Kamu tahu kan, kalau laki-laki kalau ada maunya bisa bertindak nekad?”“Senekad-nekadnya Mas Bram, dia tidak mungkin menjahatiku, Mas.”“Siapa bilang, buktinya dia menghianatimu dulu. Bukankah itu perlakukan yang digolongkan jahat?”“Mas—“ sahutku cepat, namun dipotong oleh suamiku.“Maaf kalau aku mengungkit masa lalu. Tapi ini menjadikan kita waspada, Ran. Kalau dia tega menghianati wanita yang dia bilang cintai, bisa jadi di tega juga memasang perangkap untukmu. Aku tahu dari sikap dan tatapannya setiap bertemu denganmu. Aku diam saja
Sikap suamiku yang romantisnya berlebihan memang menyenangkan. Tidak hanya perhatian saja, sentuhan dan bisikannya di setiap kesempatan membuatku melambung tinggi. Di sisi lain ada pertanyaan yang terbersit, “Apakah aku masih layak untuk dia?” Di masa sekarang ini, seorang lelaki semakin bertambah usia semakin memesona. Wajah dengan beberapa kerutan dan rambut sedikit beruban, menunjukkan sisi kedewasaan seorang lelaki. Definisi seksi pada lelaki sudah mulai bergeser. Tidak terletak pada usia muda, badan kekar, kulit putih, dan wajah mulus, tapi sosok dewasa menjadi daya tarik yang luar biasa. Apalagi seperti Mas Suma ini. Sosok penampilan yang memanjakan mata, dan keberhasilan ekonomi yang bisa diperhitungkan. Aku memandang bayanganku sendiri di depan cermin. Pipi ini terlihat tidak sesegar dulu, ada kerutan di beberapa bagian, termasuk kantong mata yang menggelayut. Begitu juga pada rambut hitamku mulai tersembul warna putih di beberapa tempat. Memang semuanya bisa tidak terlihat
“Mami memang begitu,” ucap Mas Suma setelah ponsel aku letakkan di atas nakas. “Sabar, ya,” tambahnya sambil mengusap pipi ini.Suamiku pasti tahu dengan rasa kesalku ini. Karena dia pun tahu benar dengan sifat maminya itu yang gemar mengatur ini dan itu dan tidak mau dibantah. Sedari kecil kan dia yang diperlakukan seperti itu. Sebenarnya, sifat mereka berdua sama, dan sekarang aku yang menjadi obyeknya.Aku bukannya tidak mau menerima kebaikan mertua, tapi kalau diatur-atur begini terkesan seperti dipaksa-paksa. Walaupun aku tahu, beliau sebenarnya berniat baik. Namun, bukankan apa yang menurut baik itu belum tentu cocok untuk orang lain.Memang, paket terbaru itu sempat ditawarkan Claudia tadi malam. Cuma karena memakan waktu seharian, aku lebih memilih paket yang simple. Bukan kerna biaya, tetapi karena aku ada rencana ke gallery. Kalau seperti ini kan, rencanaku berubah karena mertuaku ini.“Ya udah, sekarang aku antar saja ke tempat Claudia. Biar Pak Maman jemput saja. Senyum do