Baca juga ceritaku yang lain, Kak. - Mbak Arsitek Perancang Cinta - Kepincut Boss Ndeso - Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang Lagi - Diusir Ipar Setelah Suami Tiada . . Terima kasih. Bahagia selalu, ya.
“Mas Suma yakin dengan rencana ini?” tanyaku sambil merapikan kemeja yang dia kenakan.Suamiku ini tersenyum, kemudian menangkup wajah ini, merapikan rambutku dan mengaitkan di telinga.“Ini wujud dukungan suami ke istri yang sudah bersemangat lagi, Ran. Ini bukan membicarakan nominal uang, tapi anugrah yang diberikan kepada kita. Materi tidak artinya tanpa kamu yang kembali seperti dulu lagi.”“Bukannya perusahaan juga membutuhkan dana yang besar? Jangan masalahku menjadi beban bertambah lagi.”Bukannya tidak percaya dengan kemampuan suamiku ini, tapi keadaan perusahaan yang belum baik-baik saja membuatku ragu. Apalagi, Mas Suma menjanjikan akan mengucurkan dana untuk pengadaan alat dan pinjaman modal untuk para pengrajin yang akan membantu design furniture yang aku ciptakan. Dan, itu bukan nominal yang sedikit.“Rani, hilangkan rasa kawatirmu itu. Aku yakin perusahaan akan kembali pulih. Toh, keadaan ini bukan karena intern perusahaan, tapi karena kondisi global yang tidak menentu.”
Dari pagi, senyuman terbayang di wajah suamiku. Tidak hanya itu, dia selalu berusaha menyentuhku walaupun sekadar usapan dan ciuman sekilas. Jangan ditanya berapa kali dia membisikkan kata cinta dan sayang. Sampai-sampai, Amelia meledek habis-habisan tingkah Papinya ini.“Papi ini kenapa, sih. Amelia saja sudah tidak manja lagi sama Mama. Kok Papi kayak anak kecil saja!”“Eh, Amelia memang tidak boleh manja lagi. Kan sudah punya adek dua,” sahut Mas Suma tanpa melepaskan pelukan di pinggangku. Agak jengah juga, sih. Lagi bikin banana milkshake, ada yang nempel seperti perangko gini. Kemarin Ibu panen pisang di kebun. Buah masak di pohon ini aku blender tanpa gula tapi dicampur susu murni dan pendinginnya tidak menggunakan es batu, tapi es krim rasa vanilla. Rasanya segar dan creamy.“Apalagi Papi! Sudah punya anak empat!” celetuk Amelia sambil terkekeh, sambil menyiapkan beberapa gelas untuk minuman yang aku buat ini. “Sana-sana, olah raga pagi. Katanya semakin tua harus sering olah r
Masuk di pelataran rumah, kami langsung disambut Pak Slamet-satpam yang bertugas pagi ini. Begitu juga Pak Maman dan Bik Inah yang langsung sibuk menurunkan bawaan dari mobil.Aku mengedarkan pandangan menautkan rindu di seluruh sudut depan rumah kami. Aroma tanah dan tumbuhan hijau menyeruak di penciumanku. Bangunan kantor tempatku bekerja yang berseberangan dengan pintu masuk rumah, seakan memanggilku untuk berkutat di sana kembali.Senyum ini tercipta dengan sempurna, seakan aku menjadi manusia baru yang siap menapaki rencana-rencana yang sudah tercetus dan menunggu dilaksanakan.Benar, seenak-enaknya di tempat lain, rumah merupakan tempat yang dirindukan dan menjadi pelabuhan. Seasyik-asyiknya liburan, pasti berujung merindukan rumah untuk berlabuh.“Kangen, ya,” bisik Mas Suma mengagetkan aku. Tadi dia sibuk bicara dengan Pak Slamet, entah tiba-tiba sudah mengalungkan tangan di pinggang ini. Mungkin, karena aku yang terlalu larut melepas rindu, jadi tidak menyadari kehadirannya.
Raut wajah Mas Suma tidak berubah, masih datar dan tanpa senyum.“Nanti Amelia juga ikut ke acara itu, untuk apa kawatir? Mas Suma tidak percaya sama aku?” Aku mencoba menenangkannya dengan mengusap lembut lengannya sambil tersenyum.“Aku percaya denganmu, Ran. Tapi sering kali bisa saja terjadi kalau suasana dan keadaan mendukung. Bukankah mantan suamimu masih ada hati kepadamu? Aku kawatir dengan tidak adanya aku, dia bertindak macam-macam denganmu. Kamu tahu kan, kalau laki-laki kalau ada maunya bisa bertindak nekad?”“Senekad-nekadnya Mas Bram, dia tidak mungkin menjahatiku, Mas.”“Siapa bilang, buktinya dia menghianatimu dulu. Bukankah itu perlakukan yang digolongkan jahat?”“Mas—“ sahutku cepat, namun dipotong oleh suamiku.“Maaf kalau aku mengungkit masa lalu. Tapi ini menjadikan kita waspada, Ran. Kalau dia tega menghianati wanita yang dia bilang cintai, bisa jadi di tega juga memasang perangkap untukmu. Aku tahu dari sikap dan tatapannya setiap bertemu denganmu. Aku diam saja
Sikap suamiku yang romantisnya berlebihan memang menyenangkan. Tidak hanya perhatian saja, sentuhan dan bisikannya di setiap kesempatan membuatku melambung tinggi. Di sisi lain ada pertanyaan yang terbersit, “Apakah aku masih layak untuk dia?” Di masa sekarang ini, seorang lelaki semakin bertambah usia semakin memesona. Wajah dengan beberapa kerutan dan rambut sedikit beruban, menunjukkan sisi kedewasaan seorang lelaki. Definisi seksi pada lelaki sudah mulai bergeser. Tidak terletak pada usia muda, badan kekar, kulit putih, dan wajah mulus, tapi sosok dewasa menjadi daya tarik yang luar biasa. Apalagi seperti Mas Suma ini. Sosok penampilan yang memanjakan mata, dan keberhasilan ekonomi yang bisa diperhitungkan. Aku memandang bayanganku sendiri di depan cermin. Pipi ini terlihat tidak sesegar dulu, ada kerutan di beberapa bagian, termasuk kantong mata yang menggelayut. Begitu juga pada rambut hitamku mulai tersembul warna putih di beberapa tempat. Memang semuanya bisa tidak terlihat
“Mami memang begitu,” ucap Mas Suma setelah ponsel aku letakkan di atas nakas. “Sabar, ya,” tambahnya sambil mengusap pipi ini.Suamiku pasti tahu dengan rasa kesalku ini. Karena dia pun tahu benar dengan sifat maminya itu yang gemar mengatur ini dan itu dan tidak mau dibantah. Sedari kecil kan dia yang diperlakukan seperti itu. Sebenarnya, sifat mereka berdua sama, dan sekarang aku yang menjadi obyeknya.Aku bukannya tidak mau menerima kebaikan mertua, tapi kalau diatur-atur begini terkesan seperti dipaksa-paksa. Walaupun aku tahu, beliau sebenarnya berniat baik. Namun, bukankan apa yang menurut baik itu belum tentu cocok untuk orang lain.Memang, paket terbaru itu sempat ditawarkan Claudia tadi malam. Cuma karena memakan waktu seharian, aku lebih memilih paket yang simple. Bukan kerna biaya, tetapi karena aku ada rencana ke gallery. Kalau seperti ini kan, rencanaku berubah karena mertuaku ini.“Ya udah, sekarang aku antar saja ke tempat Claudia. Biar Pak Maman jemput saja. Senyum do
Isi kepalaku berisi berbagai prasangka dan analisa siapa yang sebegitu penasaran dengan kehidupan kami. Seperti gado-gado yang aku makan sekarang ini, campur baur. Apa dia orang dari masa lalu Mas Suma? Atau, justru orang yang pernah penasaran denganku? Bisa jadi, lawan bisnis kami yang mencari kelemahan di keluarga kami. Sampai selesai makan, Claudia belum menampakkan wajahnya. Aku menyeruput jus pepaya di bagian terakhir. Otakku yang sedang berpikir, ternyata tidak menyurutkan rasa lapar, justru membuatku khilaf. “Sudah selesai makannya, Bu Rani? Ini ada camilan.” Claudia datang diikuti anak buahnya yang membawa namban berisi toples kecil-kecil yang lucu dan teh hangat yang masil mengepul. “Sudah. Makanannya enak. Terima kasih, ya,” sahutku sambil melemparkan senyuman. “Sebenarnya aku menunggu rekaman CCTV itu, lo. Mana?” “Masih disiapkan orang IT saya. Sekalian saya berikan copynya ke Bu Rani. Tapi, saran saya dilihat di rumah saja. Karena sekarang Bu Rani kan lagi perawatan, j
Jangan ditanya bagaimana perasaanku sekarang ini. Menatap sosok di depanku yang mengingatkan kejadian beberapa tahun yang lalu. Ya, wanita ini seseorang yang penasaran dengan Mas Suma. Masih lekat tindakannya yang bisa digolongkan tindak kriminal. Walaupun karena permohonan ayahnya lah, akhirnya dia direhabilitasi karena kecanduan obat dan gangguan mental. Pemakluman dari Mas Suma yang membebaskan dia dari hukuman. Namun, itu ternyata tidak membuatnya jera. Sepertinya semua ucapan dari siapapun tidak mampu membuat otaknya yang bebal itu sadar. Kalau laki-laki yang diharapkan, tidak mungkin dia dapatkan. Seketika tangan ini terkepal keras, menahan amarah yang sudah terlepas dari rasa pemakluman. “Bu Rani kenal dengan dia?” tanya Claudia dengan suara pelan. Walaupun berbisik, suarany membuatku terhenyak dari kubang kekesalan melihat sosok di depanku ini. Seketika aku sadar, aku harus keluar amarah yang mulai menguasai. Bukankan, emosi yang tidak terkontrol hanya akan membuat kita mud