Pemikiran laki-laki dan wanita itu berbeda. Laki-laki lebih ke logika dengan mengedepankan sebab akibat. Sedangkan wanita lebih bertumpu pada perasaan.Seperti pendapat Mas Suma. Secara logika kalau Amelia tidak mengenal Dewi sebagai seorang ibu dalam arti sesungguhnya, tidak mungkin Amelia mempunyai kerinduan untuk bertemu Dewi. Otak Amelia tidak ada memori sedikitpun tentang sosok seorang ibu. Yang dia kenal hanya Mas Suma sebagai papi dan Nyonya Besar adalah nenek yang melimpahi dia kasih sayang.“Yang Mas Suma katakan benar. Tapi semakin Amelia bertambah besar, pikirannya mulai bergulir dengan sendirinya. Apalagi lingkungan memperlihatkan ada ayah dan ada ibu. Dari situ dia berpikir, seharusnya aku mempunyai ibu. Kemana dia, kok tidak ada?”Mas Suma mulai mengalihkan pandangan dari layar televisi. Dia mengecilkan volume dan mengarahkan duduknya ke hadapanku, pertanda bersiap melakukan pembicaraan serius.Mendapat kesempatan, aku pun berujar kembali.“Amelia pernah curhat kepadaku.
Raut wajah Mas Suma menunjukkan kegusaran. Begitu juga aku yang semakin penasaran.Ternyata ada sesuatu yang dia sembunyikan tentang masa lalunya. Padahal dari awal kita sepakat untuk tidak menutupi apapun terutama tentang masa lalu. Ini supaya tidak ada kesalah pahaman.Sejujurnya, ada rasa kecewa di hati ini. Merasa dikhianati karena aku sudah mengupas tuntas tentang masa laluku. Kenapa dia justru ada yang sengaja tidak diceritakan?“Kita bicara di dalam kamar saja.”Mas Suma beranjak dari duduk dan menarik tangan ini, aku mengikuti dengan memendam rasa kesal dan kepala penuh pertanyaan.Suamiku mendorong tubuh ini masuk ke kamar, kemudian dia melongok ke luar seperti memastikan tidak ada orang. Kemudian perlahan dia menutup pintu dan menguncinya.Sebegitu rahasiakah, sampai dia melakukan ini semua. Aku duduk di tepi ranjang, bersiap mendengar penjelasannya.“Kamu kesal?” tanyanya setelah menarik kursi untuk duduk di depanku.Pasti dia mengerti apa yang kurasakan, dengan melihat waj
“Aku takut Amelia mengetahui kalau aku dulu pun tidak menghendakinya lahir di dunia ini. Sungguh, aku takut sekali.”Bergulatan emosi dalam diri Mas Suma membuatnya tertekan. Rasa penyesalan dan ketakutan berusaha dia tutupi dengan sikap protektif berlebihan terhadap Amelia.Kesalahan di masa lalu disempurnakan dengan sikap tidak dewasa dan berujung kegagalan pernikahan. Tidak bisa berdalih kejadian itu tidak sengaja. Toh mereka memposisikan diri tidak sadar atas kemauannya sendiri. Walaupun tanpa memperhatikan resiko kemungkinan berakhir seperti ini.Semalaman kami berbincang dari hati ke hati. Laki-laki sekuat Mas Suma terlihat ringkih saat membicarakan Amelia kecil dulu. Mas Suma yang biasanya kaku dan tegar, sekarang berurai air mata. “Saat dia bayi pun aku mengabaikannya, Ran. Saat itu aku lebih banyak di apartemen daripada di rumah. Bagiku, dia makhluk yang membuatku tidak bebas melakukan yang aku mau. Aku tidak memedulikan dia, hanya Mami yang mencurahkan kasih sayang untuk A
“Mama kenapa?”Suara Wisnu menyentakkan aku dari pemikiran yang mulai bergulir liar, dan semuanya buruk. Mengingat bagaimana ucapan Dewi saat menelponku. Bukan tidak mungkin, dia juga berkata demikian saat berucap dengan Amelia.“Yang menelpon Mami Dewi. Ibunya Amelia?”Wisnu memberikan tatapan heran. Tatapannya menyelidik seakan mencari tahu apa yang terjadi.“Memang ada apa, Ma. Lagi ada masalah?”Aku mendudukkan diri di sebelah Wisnu, kemudian menarik napas dan mengeluarkan secara perlahan. Menoleh ke arah Wisnu dan terbersit pertanyaan. Apakah Mas Bram juga melakukan apa yang Dewi harapkan?“Kak Wisnu, Mama boleh bertanya? Tapi, kalau nanti Kak Wisnu tidak mau menjawab, Mama tidak apa-apa.”Wisnu tersenyum lebar, sambil mengambil air putih dan meneguknya.“Apaan sih, Ma. Serius amat. Kalau ada pertanyaan untuk Wisnu tanya ajalah. Wisnu tidak masalah. Memang ada apa?”“Hmm… Nanti saja. Ada Papi,” ucapku lirih, kemudian beranjak dari tempat duduk.Melihat Mas Suma yang keluar dari
POV DewiAku terima celaan orang sekitarku, bahkan orang seluruh dunia atas tindakanku yang mengabaikan bayi yang aku lahirkan. Namun, apakah mereka menerima atau sekadar mendengarkan alasanku?Hmm…bisa dipastikan tidak.Aku mengenal Kusuma hanya sekedar melihat sosoknya yang menawan dan cerita dari teman-teman yang berebut perhatian darinya. Pemuda berhasil dengan penampilan selalu rapi dengan tubuh tinggi dan garis wajah yang membuat para wanita enggan memalingkan pandangan.Siapa sih yang tidak kenal Kusuma? Pewaris perusahaan ternama yang bertangan dingin pada usia tergolong muda. Walaupun sikapnya yang kaku dan tidak ramah, tapi ini tidak menyurutkan jumlah penggemar.“Tidak apa-apa dia seperti itu. Cowok seperti Kusuma semakin cuek semakin cool. Pertanda dia tidak suka main perempuan sana-sini. Tidak seperti anak orang kaya lainnya, yang tebar pesona tapi otaknya kosong.”“Iya, betul. Toh, yang penting orangnya OK. Bisa dibanggakan pas arisan dan yang lebih penting duitnya, don
POV MaharaniKalau ada yang bilang pernikahan itu adalah sangkar, kalau aku menyebutnya sarang. Seperti sekarang ini, kami bersarang di ruang keluarga. Tepatnya berselonjoran di karpet depan televisi. Mas Suma, aku, Wisnu, Amelia, Denish dan Anind.Hari malas sedunia, itu yang tercetus dari mulut Amelia saat Mas Suma meminta dia mengambilkan bantal dan guling. Denish dan Anind yang berada ditengah-tengah, asyik bermain dan sesekali terkekeh karena digoda kakak-kakaknya.“Papi, katanya akan kasih tahu setelah makan. Ini kita sudah makan, dan Papi sudah mulai ngantuk. Trus, kapan?” Amelia menagih Mas Suma.“Siapa bilang Papi mengantuk?”“Trus untuk apa minta bantal?”“Menganggah leher, Mel. Papi kan sudah tua, jadi lehernya tidak sekuat kalian. Nih, kakinya juga pegel-pegel,” seru Mas Suma. Kemudian kakinya disodorkan ke Amelia.“Bilang saja minta dipijit! Awas kalau ketiduran.” Amelia melotot kesal ke Papinya, tapi tangannya tetap lincah memijit Mas Suma.Mas Suma tersenyum, dan melem
Aku menatap protes kepada Mas Suma. Tidak terima dengan keputusan yang sepihak ini. Bagaimana mungkin aku menemani Amelia yang bertemu ibu kandungnya. Ini sama saja ajang pembandingan ibu, antara aku, ibu sambung dan Dewi, ibu kandung.“Ini hanya untuk pertemuan pertama kali saja, Ran. Amelia selama ini kan tidak mengenal Dewi secara langsung. Tidak mungkin kan aku yang mengantar?” ucap Mas Suma mencoba memberi pengertian kepadaku.Secara logika memang benar, tapi dengan menunjukku sama saja membuat Dewi merasa tidak enak. Bisa saja dia merasa tidak dipercayai, karena aku ibu sambungnya mengikuti pertemuan mereka.“Tapi, Mas Suma. Aku tidak enak sama Dewi. Rasanya gimana gitu. Sama saja Mas Suma mengantar dan menunggui Wisnu yang bertemu dengan Mas Bram.”“Ya tidak apa-apa, lah. Kita kan bisa ngobrol dan mancing bersama. Iya kan, Wis?”“Betul, Pi!” seru Wisnu justru menyetujui Mas Suma.Huh dasar laki-laki. Mereka sih memang berpikir praktis. Tidak seperti perempuan yang menitik bera
POV Dewi“Mami.... Papi dan Mama mengundang Mami untuk berkunjung ke rumah. Mami ajak adik Andrew dan Om Patrick,” pinta Amelia saat kami video call. Sejenak aku terdiam, dan secepatnya menunjukkan senyuman. Aku tidak mau anakku ini mengetahui tanggapanku yang sebenarnya. Rencanaku untuk mendekati secara pribadi pada Amelia, harus berubah total dengan acara ini.“Baiklah. Mami carikan jadwal dulu, ya?”Seakan mendapat jawaban iya, Amelia langsung menunjukkan wajah kegirangan. Padahal, sebenarnya aku hanya meminta waktu untuk mencari jalan untuk berkelit.“Asyek! Jadwalnya minggu depan saja. Ada tanggal merah di pertengahan minggu. Kan semuanya libur.” Amel langsung menyodorkan tanggal dengan alasan. Mau tidak mau aku harus setuju.Hmm…. Anak ini tidak ada bedanya dengan Nyonya Besar dan Kusuma. Kalau ada maunya selalu memaksakan kehendak dengan semua alasan yang tidak bisa disangkal.Datang ke rumah Kusuma dan Maharani?Ini sama saja ajang pembandingan keluarga Kusama dan keluargaku.