Setelah perbincangan tentang undangan wisuda itu, aku berusaha menghindar untuk berdua dengan Mas Suma. Diri ini masih enggan bersitegang karena sesuatu yang di luar kuasaku. Tenaga dan pikiranku belum cukup untuk mengendalikan emosi. Aku memilih menyibukkan diri dengan Amelia dan Wisnu untuk membicarakan acara hari besuk.“Pokoknya Kak Wisnu menemani Andrew, ya. Amelia belum kenal sama anak itu. Apalagi cowok, Amel malas, ah.”“Mana boleh sama saudara malas,” celetuk Wisnu.“Ya, pokoknya Kak Wisnu nemenin Amel. Ya?” pinta Amelia sambil menunjukkan wajah memohon. Wisnu tertawa sambil mengacak rambut Amelia, sambil mengangguk mengiyakan permintaan adiknya itu.“Trus Mami Dewi sama Mama?”“Mama Cuma nemenin Mami Dewi sebentar. Setelah itu, Mami Dewi dengan Amelia. Kan memang tujuannya untuk bertemu Amel, kan?” Aku tersenyum kepadanya. Sorot matanya menunjukkan keraguan. Entah itu apa.“Udah jangan nervous. Jalanin aja hari besuk dengan santai. Memang kalau belum dijalani rasanya gimana
Menghanyutkan dia dengan sentuhan, sama saja menyerahkan diri untuk menyelesaikan sesuatu yang diawali. Berserah diri dan menautkan rasa dengan gairah yang mulai menghangatkan ruangan. Berselancar bersama di samudra indahnya cinta.Usahaku itu hanya membungkamnya untuk tadi malam saja. Pagi hari setelah membersihkan diri, aku sudah ditodong pertanyaan senada kembali. Tanganku yang sudah memegang pengering rambut, aku letakkan kembali.“Mas Suma masih merasa ada yang mengganjal?”“Iya, Ran. Apalagi saat nanti aku ada di luar negeri. Aku teringat cerita di film.” Dia menarik tangan ini untuk duduk mensejajarinya di tepian ranjang. Kekawatir terlihat jelas pada wajah yang dibingkai rambut yang masih lembab.“Film?” Aku tersenyum. Mana ada cerita film yang mirip dengan cerita hidupku? “Iya filmnya Meryl Streep sama Alec Baldwin. Aku inget cerita film itu saja bikin kesel!”“Alec Baldwin om yang ganteng itu, kan?” seruku penasaran.Aku beranjak dari duduk menuju laptop di meja kerja Mas S
Seperti kencan pertama, Amelia mondar-mandir ke sana-sini. Beberapa kali ke depan, dan sesekali memastikan persiapan semuanya sempurna.“Aduh!”“Kenapa, Sayang?”“Sakit perut, Ma. Amel ke kamar mandi dulu, ya?” serunya langsung melesat meninggalkan aku. Bersamaan teriakan dari Wisnu yang menyatakan mobil yang sudah ditunggu sudag datang.Hmm….Karena kegelisahannya, Amelia sakit perut. Giliran yang ditunggu datang, dia tidak bisa menyambut.Akhirnya, aku dan Wisnu yang menyambut keluarga Dewi.“Dewi, kenalkan ini anakku, Wisnu.” Aku mendorong Wisnu untuk segera menjabat tangan ibu kandung Amelia.“Eh sudah tinggi, ya. Terakhir kita bertemu ketika pernikahan Mamamu.”“Iya, Tante. Cuma saat itu kita belum sempat berbincang,” sahut Wisnu sambil menunduk hormat.Dari tempat parkir datang anak laki-laki usia ABG, tetapi dibawah usia Amelia. Perawakan dan wajahnya terlihat bule sekali, bisa dipastikan dia mirip ayahnya.“Andrew. Cepetan sini! Ini ada Kak Wisnu. Kamu bisa berteman dengan dia
POV DewiMemasuki di pelataran parkir rumah Kusuma, aku sudah disambut dua satpam dan dipersilakan dengan hormat. Selintas aku teringat masa lalu. Penghormatan ini dulu pernah menjadi milikku. Dulu aku pun diperlakukan bak ratu di rumah itu. Semua pelayan tunduk dengan apa perintahku. Bagaimana tidak, yang ada di rumah besar hanya ada aku. Sedangkan Kusuma hanya malam dan pagipun sudah menghilang.Menapak ke halaman pertama, aku disambut taman yang asri. Pepohonan hijau dan bunga perdu ditata apik yang memanjakan. Angin semilir yang sejuk mengusir penat seketika.“Nyonya Dewi, masuk di pintu sebelah kanan,” ucap Pak Satpam yang berkumis.“Yang ini. Rumahnya orang lain?” Aku menunjuk gedung yang bernuansa entik. Ornamen batu dan kayu mendominasi di sela jendela kaca yang lebar.“Gedung ini kantornya Bu Rani. Beliau kalau di rumah kerja di sini.”“Oh gitu.” Aku bergegas menuju pintu besar yang dimaksud. Pintu yang dibingkai kayu utuh yang menunjukkan keangkuhan.Dalam hati terpatik ras
POV Dewi-Maminya AmeliaKecemburuan yang tidak tepat semakin membuat hati ini memberat saat Amelia bercerita muasal Aquarium besar yang di depan kami ini.“Ini dari Eyang Uti, Mi. Hadiah untuk adik Anind. Bagus, ya?” ucap Amelia dengan antusias. Bahkan dia berlanjut cerita bagaimana hebohnya mantan mertuaku itu menyambut kelahiran cucunya.Kembali, hati ini merasa tersisihkan karena perlakuan yang berbeda terhadapku dulu. Bagiku, ibu dari Kusuma merupakan momok terbesar bagiku. Mendengar suaranya saat datang saja membuatku sakit perut, apalagi saat diharuskan mendengarkan apa perintahnya. Harus ini dan itu.Namun, kenapa terhadap Maharani dia terkesan memanjakan? Dari cerita Amelia, menunjukkan betapa besarnya kasih sayang dia terhadap menantunya itu. Kenapa kepadaku tidak? Apa aku sebegitu tidak layak menjadi menantu keluarga Adijaya?Semakin kesini, semakin aku merasa dulu disengaja di posisi yang membuatku pergi dari keluarga mereka. Seakan-akan melepaskan diri atas kemauan sendiri
POV Dewi-Maminya AmeliaHati ini semakin kesal saat mendengar percakapan setelahnya. Kecemburuan akan apa yang wanita ini dapatkan dari Kusuma. Pria yang dulu pernah aku harapkan perhatiannya yang tidak kunjung datang walaupun hanya sekadar untuk basa-basi saja.“Mas Suma yang mengusulkan semua ini. Dia ingin memberi yang terbaik untuk kalian,” ucap Maharani sambil mengatur peletakan makanan di meja.“Iya, Mami Dewi. Ini saja yang memilih masakannya Amel, lo. Tapi sebenarnya Mama pinter masak. Biasanya setiap ada tamu yang datang, yang masak Mama semua,” jelas Amelia dengan mata berbinar. Terlihat jelas bagaimana dia sangat mengagumi Maharani.“Oya? Kamu masih sempat melakukan kesibukan di dapur? PAsti asistenmu banyak yang bantu di dapur.”“Tidak Mami Dewi. Mama itu kalau di dapur, semua orang dilarang mendekat. Galaknya kumat.” Amelia tertawa menanggapi Maharani yang melotot sekaligus tersenyum padanya. “Kata Papi, karena di galleri sibuk lebih baik pesan di restoran. Soalnya, kalau
POV Maharani Lega. Itu yang aku rasakan saat ini. Tugasku mempertemukan Amelia dan ibu kandungnya sudah terlaksana. Kelanjutannya, tergantung pada Dewi untuk memanfaatkan hubungan yang mulai dekat ini. “Terima kasih ya, Ran.” Mas Suma merengkuhku dan mencium keningku. “Mas, ini di tempat parkir. Tidak enak sama Satpam.” Aku mendorongnya pelan, tapi tangannya justru dipererat. Kalau Amelia dan Wisnu sudah biasa. Mereka hanya tersenyum, kemudian bergegas masuk mendahului kami. “Mereka pura-pura tidak melihat. Tuh, pada asyik makan, kan?” bisiknya semakin membuatku gemas dan melayangkan cubitan di perutnya. Bukannya mengaduh, dia malah berbisik yang membuat pipi ini menghangat. “Hati-hati kalau cubit perut. Bawahnya juga ikut berkedut.” Aku melotot melihat matanya yang berkedip-kedip. Kan malu kalau kedua satpam itu mendengar selorohannya. Tanpa melepas rangkulan, kamipun beriringan masuk ke rumah. “Tadi terima kasih untuk apa?” “Ya, kamu sudah legowo mengijinkan Maminya Amelia ma
“Apa karena aku hanya ayah tiri Wisnu, aku tidak punya hak terhadapnya? Memang aku senang karena dia memanggilku Papi, tapi akan lebih membanggakan kalau aku dilibatkan untuk mengurusnya.”Ucapan Mas Suma yang membuatku serba salah. Bahkan dia menyinggung tentang undangan wisuda.“Aku rela tidak dimasukkan di undangan wisuda Wisnu. Tapi, aku jangan ditiadakan ketika kalian menentukan masa depan anak itu. Dia sudah menjadi anakku yang sebenarnya.”Sebenarnya aku enggan menyampaikan maksud suamiku kepada Mas Bram tentang niatnya. Apalagi aku berusaha seminimal mungkin berbincang dengan mantanku itu. Aku tidak mau membuat celah dia untuk kembali masuk ke ranah pribadiku. Satu-satunya jalan, aku menyampaikan melalui Wisnu.Karenanya setelah Mas Suma tidur, aku memanggil Wisnu untuk menemui aku di taman belakang. Aku ingin bicara dari hati ke hati dengan anakku ini.“Kakak tadi belum tidur, kan?”“Belum, Ma. Wisnu masih cek proposal Om Sapto untuk anggaran di pengrajin.” Anakku itu mengamb