Kesal itu tidak harus berteriak. Justru saat kita diam, dia akan kelimpungan.
“Tidak marah, kan?”“Sekarang tidak. Tapi nanti setelah Mami pulang, I-YA!” jawabku dengan melototkan mata. Cerita yang aku rangkum tentang pembicaraan dengan Nyonya Besar, menguap begitu saja. Sekarang terganti dengan menuntut penjelasan apa yang dibicarakan Mas Suma.Rasa kesal masih terasa lekat, setelah mendengar pengakuannya. Namun, kemarahan ini harus ditunda karena ketukan pintu dan suara Amelia. Tidak mungkin aku menunjukkan kekesalan di depan mertuaku nanti. Bisa-bisa masalah menjadi besar dan berkembang.“Mama! Papi! Semua sudah siap.”Aku bergegas berdiri dan diikuti Mas Suma yang berusaha mensejajari. “Marah kok bersambung,” celetuknya sambil meraih tangan ini. Aku menepisnya kesal. Dia justru tertawa.Terdiam beberapa saat dan menghirup udara saat tangan ini memegang gagang pintu. Aku harus merubah wajah kesalku dengan senyuman gembira.Ceklek.“Ma. Eyang, Amelia panggil sekarang, ya? Meja sudah siap ditata. Kita makan bersama sekarang saja. Amelia sudah lapar,” ucapnya s
Seorang istri memang terlihat suka ngeyel. Bahkan sering disematkan label kalau istri itu selalu benar dan tidak mau dibantah. Namun, apakah dimengerti kalau di hati istri sebenarnya adalah kebalikannya?Dia meletakkan dirinya di nomor terakhir dari seluruh anggota keluarga. Entah itu anak ataupun suami. Di balik sikapnya yang terkesan tidak mau dibantah, sebenarnya dia selalu mengalah. Hati dan perasaannya dia abaikan demi keluarga. Seperti sekarang ini, aku bersiap memenuhi undangan keluarga Dewi--mantan istri Mas Suma, ibu kandung Amelia.“Apa tidak ada alasan supaya aku tidak harus datang? Bilang saja aku tidak enak badan. Kamu bisa datang bersama Amelia.”Mas Suma tersenyum, berpindah duduk di sebelahku. “Kalau aku memberi alasan seperti itu, yang ada di pikiran mereka bukan tidak enak badan. Tetapi tidak enak hati.”“Memang iya,” sahutku sambil tersenyum miring.Hal yang paling aku benci saat mendapat tuduhan yang tidak aku lakukan. Aku menerima cacian dan makian kalau aku salah
Jajaran mobil menyambut kami, menunjukkan seberapa besar syukuran yang katanya sederhana ini. Beberapa pegawai dengan seragam restoran yang aku tahu pun menyambut kami. Pantas saja, Dewi mengeluh kerugian karena mengundurkan tanggal acara ini. Pasti anggarannya tidak sedikit.Masih belum masuk di kepalaku, kenapa Patrick suami Dewi bersikukuh seperti itu. Hanya gara-gara Mas Suma tidak bisa menghadiri acara ini. Walaupun tadi di perjalanan Mas Suma sempat mengungkapkan penyebabnya, katanya dia berbincang langsung dengan Patrick melalui telpon kapan hari.Untungnya, mobil dikemudikan oleh Pak Maman. Jadi aku leluasa mengorek ini kepada Mas Suma.“Patrick itu mengadakan syukuran karena masih diberi kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga dalam keadaan baik-baik saja. Dan katanya, itu karena aku. Kalau aku tidak datang, dia merasa tidak lengkap. Karena ini sebagai rasa terima kasih kepadaku.”“Segitunya?”“Iya, lah, Ran. Dia itu keluar penjara lebih cepat karena aku. Rahasia kejahata
“Mami Dewi cantik sekali!” seru Amelia.Teriakannya merubah senyuman kaku di wajah Dewi menjadi mengembang sempurna. Amelia menghambur di pelukannya. Mereka saling membisikkan kata kangen. Kasih sayang antara ibu dan anak terlihat jelas di sana. Aku bahagia melihat mereka mulai dekat.“Maminya Amelia,” ucapku kepada Rima dan Kevin. Aku mengajak mereka untuk mendekat.Mungkin merasa kehadiran kami, Amelia mengurai pelukannya. Dia menarik tangan Rima. “Ma. Ini Kak Rima. Kekasihnya Kak Wisnu. Cantik, ya?”Sesaat matanya memindai Rima, kemudian menyambut uluran tangannya. “Wisnu pintar mencari calon teman hidup, ya. Kenalkan saya Mami asli dari Amelia. Panggil saja Tante Dewi.”“Saya Rima, Tante. Senang berkenalan dengan Tante Dewi. Kalau tidak diajak ke acara ini, saya tidak tahu kalau Amelia punya ibu asli. Karena Tante Maharani begitu sayang kepada Amelia seperti ibu kandung. Iya, Mel?”Rima mengucapnya dengan nada biasa dan sikap yang tenang. Menunjukkan dia bisa mengontrol diri. Mun
Seperti padi, semakin berisi akan menunduk. Walaupun tidak mendongak ke atas, bukan berarti dia di posisi rendah. Justru nilai pada dirinya akan semakin tinggi.Ini dikarenakan umur yang cukup menua, ya. Namun, keadaan seperti ini bukan karena ditentukan waktu saja, tetapi apakah perjalanan usia menjadikan dia cukup berisi?Atau, justru kopong melompong karena penyakit hati. Jadi semakin bertambah usia, tetap saja mendongak.***Adanya Mama Ulfa yang bergabung di meja ini, membuat suasana menjadi tenang. Dewi hanya sesekali datang menyapa karena dia harus berkeliling menyambut tamu. Andrew, adik Amelia dari pernikahan Dewi dan Patrick pun sempat bergabung. Dia menanyakan keberadaan Wisnu, tetapi karena yang dia cari tidak ada, dia memilih bergabung dengan anak seumurannya.Semua berjalan lancar. Benar yang dikatakan Mas Suma. Dia menjadi penguat untuk suami Dewi, di mata kalangan bisnis. Seperti menyakinkan kalau Si Patrick bisa dipercaya dengan jaminan Kusuma Adijaya.“Amel. Sekalian
“Maaf, Ma. Dari tadi Kusuma belum sempat menyapa,” ucap Mas Suma setelah mencium tangan Mama Ulfa. Mantan mertua Mas Suma itu, memeluk suamiku sambil menepuk-nepuk punggungnya.“Maaf, ya. Dewi dan Patrick sering merepotkan kamu.”Mas Suma tersenyum. “Selagi mampu, Suma pasti membantu. Itu pun juga karena dukungan istri saya. Maharani,” ucap suamiku sambil menarik tangan ini.Kami saling berbincang santai. Selama ada Mas Suma, tidak ada cuitan dari Dewi yang menyinggung masalah Amelia. Terlihat sekali, kalau tadi perdebatan sekadar untuk konfrontasi denganku.***POV Kusuma Rumah ini melemparkan ingatanku ke masa lalu. Di ujung saja masih sama, ada teras kecil dengan satu set kursi rotan dengan sandaran tinggi. Dua kursi model zaman dulu dengan meja jati di tengahnya. Aku diajak keliling dengan Patrick.Dia menceritakan semua rencananya setelah bebas dari penjara. Entah berapa kali dia mengucapkan terima kasih, aku hanya menyambutnya dengan senyuman.“Saya tidak mempunyai keluarga di
Mengharap seseorang akan berubah, itu hanya membuang waktu. Sama saja menceramahi kambing untuk tidak memakan tanaman sayuran. Mustahil, kan? Lebih baik memberi pagar rapat-rapat supaya si kambing tidak merusaknya kembali.Ini perumpamaan yang tepat untuk mantan istriku, Dewi. Sekarang, aku akan memfokuskan diri kepada Maharani saja. Lupakan kambing.Eh!*Tanpa mengorek keterangan kepada Maharani lagi, Amelia dan Rima bergantian bercerita tentang perlakuan Dewi kepada Maharani. Informasi yang tidak aku dapatkan dari mulutnya saat di mobil tadi.“Maaf, ya Mel. Kakak tadi tidak bisa menahannya,” ucap Rima dengan menunjukkan penyesalan sambil meraih tangan Amelia.Anak itu justru tertawa. “It’s OK lah, Kak. Mami Dewi memang begitu. Wajarlah kalau Kak Rima yang baru kenal shock.”“Maafkan Rima tadi, Tante, Om. Spontan saja tidak mau Tante Maharani digitukan,” ucapnya sambil menangkup ke dua tangan di dada ke arahku dan istriku.“Om justru berterima kasih kepadamu. Karena kamu menjaga Mam
Rumah kembali sepi seprti di awal. Amelia pun kembali ke apartemen dan mulai tenggelam di kesibukan kuliah. Hanya sesekali saja dia pulang.Menjadi ibu itu tidak mudah, apalagi dengan anak beragam seperti ini. Menghadapi anak remaja tentu berbeda dengan anak balita. Tantangannya beragam.Seperti Denish dan Anind. Mereka berbeda dalam hal makan. Denish menyukai apapun yang disajikan, termasuk sayuran. Berbanding terbalik dengan Anind.Gadis kecilku sama sekali tidak menyukai sayuran, baik yang berwarna orange, putih, terlebih hijau. Ada daun seledri setitikpun, dia menggeleng. Pernah aku coba masukkan sedikit bayam saat menyuapnya. Dia memuntahkan setelah sadar yang aku lakukan.“Beri saja maunya apa, Ran. Jangan dipaksa. Nanti dia malah tidak makan,” ucap Mas Suma, saat aku akan memaksanya.Sejak itu, walaupun tetap berusaha menyelipkan sayuran di camilannya, aku tidak memaksanya. Namun, kejadian sekarang menuntutku untuk membawanya ke dokter. Dia kesulitan buang air besar.“Saya ber