“Kamu bisa mengemudikan mobil?”“Bisa, Ma.” Gadis itu menjawab dengan cepat.“Mahir? Atau sekadar bisa?”Aku menatapnya dengan mata menyipit, memastikan jawabnya benar. Terkadang banyak orang yang bisa menjalankan mobil, tetapi tidak mahir. Aku memang jelas-jelas tidak bisa, tapi aku tahu pengemudi yang mahir atau sekadar bisa.Beberapa pengemudi yang sering mengantarku, Pak Maman lah yang menjadi juaranya. Dalam kecepatan lambat ataupun cepat, selalu kenyamanan penumpang yang diutamakan.“Emm … Rima tidak mahir seperti Rio Haryanto atau Sergio Perez dari Red Bull. Tapi kalau Rima yang membawa mobil, Papa bisa tertidur,” jawab Rima sambil tersenyum memastikan.“Sip kalau begitu. Sekarang kamu jadi sopir Mama. Ambil kunci itu yang gantungannya kulit berwarna merah.” Aku menunjuk mangkuk kayu yang berisi beberapa kunci yang berada di meja sudut.“Kamu tidak keberatan, kan?” “Tidak, Ma. Justru seneng.”Selayaknya ibu dan anak, kami berjalan beriringan. Sekarang aku mempunyai dua anak p
“Mama kenapa mendapat tawaran justru ragu? Harusnya senang, dong,” ucap Rima. Dahinya berkerut menandakan tidak mengerti.Aku menyusul Rima setelah selesai berbincang dengan Aitu. Aku mengatakan akan mempelajari penawaran mereka. Tentu saja berdiskusi dengan Mas Suma. Untuk urusan bisnis, dialah yang mempunyai mata jeli. Dia mempunyai banyak pertimbangan tanpa mengabaikan pendapatku. Aku nyaman berbincang dengannya.“Tawaran itu tanggung jawab. Menerimanya, berarti mempunyai konsekuensi untuk memenuhi apa yang mereka minta. Mereka ingin produksi massal. Itu yang Mama masih pikirkan.”“Kenapa, Ma? Bukankah itu peluang produk Mama akan ada dimana-mana. Mendunia. Semua di belahan dunia ini mengenal nama Mama. Wah, keren banget!”Aku tersenyum melihat semangatnya yang menggebu-gebu. Namun yang di pikiranku lain. Aku melihat dari sudut pandang yang berbeda.“Kita ke atas, yuk. Ada tempat favorit di sana,” ucapku, kemudian memberi pesan ke pegawai untuk memesankan seperti tadi dan diantar k
Sempat terlintas itu dia. Dari kebiasaannya menaiki tangga dengan langkah tergesa. Ternyata perkiraanku benar. Dia yang menjulang menyajikan senyuman lebar yang menyisakan mata tinggal segaris. Walaupun rambut panjang yang menjadi kebanggaannya dipapras habis, tapi dia tetap memukau.“Aku tidak menyangka menemuimu di sini. Padahal aku iseng mampir, ternyata ada seseorang yang memanggil dalam hati. Iya, kan?”“Huh! Pak Tiok GR!” seruku sambil menerima nampan yang dia ulurkan. Untung saja bartender menaruh minuman di gelas kemasan, kalau tidak bisa menggelinding karena gerakannya yang asal.“Bagaimana kabar pengantin baru?”Dia mencembik. “Baru apaan. Sudah expired.”“Sudah ada kabar baik untukku? Aku sudah akan jadi tante?”Lagi-lagi dia tertawa. “Tunggu kabar nanti. Next aku ceritakan.” Sesaat aku mengerutkan dahi, sekilas dia menarik senyumnya, kemudian memunculkan kembali.“Itu satunya untuk aku.” Tangannya terulur mengambil satu gelas untuk kopi. “Ini sama denganmu. Kopi kental hit
Kembali dari galeri, aku dan Rima tidak langsung pulang. Kami singgah di mall.“Tidak usah, Ma.”“Kenapa? Mama ingin membelikan kamu baju. Kepingin saja,” ucapku bersikukuh. Akhirnya kekasih Wisnu ini membelokkan mobil ke mall yang ternama di kota ini.“Kita kemana, Ma?” ucapnya berlari mensejajariku. Dia pasti heran, aku berjalan ke arah kebalikan dari tempat yang menjual pakaian.“Kita ke butik langganan kami. Aku akan mengukur kamu untuk data mereka,” jawabku terus berjalan. Sebenarnya bisa parkir di depan butik Claudia, tapi itu membuatku jauh dari tempat belanjaan yang menjadi tujuan utama.Pegawai yang berjaga langsung membukakan pintu, mereka tersenyum dengan tangan menangkup di depan. “Selamat datang, Nyonya Maharani.”Aku mengangguk, Rima yang di belakangku langsung mensejajari.“Hai, Bu Rani. Lama tidak kesini!” seru Claudia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Rima.“Kenalkan ini Rima, calon mantu,” ucapku kemudian mendekat, “calonnya Wisnu.”Claudia langsung mengarahkan
Sampai di rumah, aku benar-benar capek jiwa raga. Kepaku dibebani dengan pikiran tentang Pak Tiok. Bisa-bisanya ada orang seperti dia yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam percintaan.Wajah rupawan, perawakan juga seperti foto model, karir pun tidak diragukan lagi. Namun, kenapa bisa dia mengalami hal seperti ini?“Mama istirahat saja dulu. Belanjaannya, biar Rima minta bantuan Bik Inah,” ucapnya sambil membawa belanjaan ke arah dapur. Rumah masih lengang. Mas Suma dan Wisnu pasti belum pulang. Begitu juga Amelia.Aku mengangguk menerima anjuran gadis itu. Dia tahu apa yang aku pikirkan. Sepanjang jalan aku mengomel dan membicarakan tetang Pak Tiok. Bagaimana perjalanan kisah mereka sampai menikah. Bagaimana Pak Tiok melindungi Kalika yang mendapat perlakukan tidak baik dari mantan suami.Sempat Rima tadi menyeletuk.“Laki-laki itu jangan-jangan mantannya Mbak tadi.”“Mama tidak tahu benar, Rima. Saat dia datang mengacau pernikahan, dia dalam keadaan mabok dengan penampilan yan
Hati itu milik kita. Berada dalam tubuh kita sendiri, dan kitalah yang harus melindunginya dari apapun. Sedangkan kesenangan, kesedihan, itu adalah rasa yang ditimbulkan dari luar.Jadi, hati kita merasa sedih atau senang, tergantung dari izin kita. Apakah kita menerima atau mengabaikan hal yang menyebabkan rasa itu.*Aku dan Mas Suma tidak habis pikir dengan apa yang terjadi pada Pak Tiok. Di luar nalar dan di luar jangkauan pikiranku. Kenapa ada orang yang tega mengorbankan hati orang lain demi kebahagiannya.“Jadi suami Kalila itu sudah menjatuhkan talak tiga?” tanya Mas Suma.Pak Tiok tertawa miris. “Iya. Karenanya mereka membutuhkan aku supaya bisa menikah lagi.“Gila!” seru Mas Suma geram.Akupun demikian. Tanganku terkepal keras merasa tidak terima dengan perlakuan mereka. Terutama si wanita. Bisa-bisanya memperlakukan itu kepada orang yang menolongnya.Masih ingat aku bagaimana dia menangis karena korban penganiayaan si mantan suami. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan yang m
Orang single tidak akan mati karena jomlo, tetapi banyak orang tersiksa karena hidup dengan orang yang salah. Itu yang dikatakan Tiok kepadaku. Dia sudah menentukan pilihan, dan aku tidak akan mempertanyakannya lagi. Katanya, surat cerai dalam masa pengurusan dan tinggal menunggu surat resmi dari pengadilan agama. Sekarang, permasalahan Tiok sudah selesai. Dia tinggal pemulihan saja.****Rezeki itu tidak melulu berupa materi. Adanya keluarga, itu rezeki. Begitu juga sahabat yang kita miliki. Ada lagi yang aku syukuri tidak henti-henti, karyawan yang setia. Seperti Desi, pegawai teladan.“Desi. Berapa lama kamu kerja di sini?”Aku bertanya saat dia memberiku setumpuk laporan yang harus aku tanda tangani. Dia sudah memilahnya. Ada yang tinggal tanda tangan, ada yang harus aku periksa dulu, dan ada yang urgent. Cara kerjanya bagus, membuat pekerjaanku semakin mudah. Aku seperti orang lumpuh kalau sekretarisku ini tidak masuk.Dia tersenyum.“Dari mulai fresh graduate sampai sekarang.”
“Berhasil?” tanya Maharani menyambutku.“Desi?”“Iya.”“Sangat-sangat berhasil. Dia juga titip salam untuk dirimu yang sudah memberikan ide ini,” ucapku sambil merangkul istriku.Kami masuk ke dalam rumah yang terasa lengang. Rima sudah kembali, begitu juga Amelia kembali ke apartemennya.“Anind dan Denish?”“Sudah tidur. Ini sudah malam,” ucapnya sambil menunjuk jam dinding yang menunjuk angka sembilan.“Wisnu masih lembur?”“Iya. Biarkan dia lagi semangat-semangatnya,” ucap Maharani melangkah mengikutiku.Aku langsung ke kamar mandi. Membersihkan badan dengan menggunakan air hangat. Badanku segar kembali.“Wisnu sudah mendatangkan teman-temannya. Jadi dia tidak merasa muda sendiri. Tapi Wisnu cepet adaptasi, lo. Aku juga memberikan team yang terbaik. Siapa nama teman-temannya? Aku kok tidak ingat. Padahal aku belum terlalu tua.”Ucapanku memantik tawa Maharani. Dia menyodorkan piayama tidur untuk aku kenakan.“Mereka itu teman-teman dekatnya Wisnu. Ada Lisa yang diletakkan di admini