Pov KusumaAkhirnya, urusan di rumah sakit selesai. Catherine sudah diperiksa dan mendapatkan kamar. Anak ini, dari dulu selalu begitu. Penampilan fisik selalu diutamakan tanpa memperdulikan kesehatan. Gara-gara diet, dia pingsan karena lambungnya tidak kuat.Dulu pernah juga. Dia keracunan zat kimia perawatan kulit. Ternyata klinik langganannya termasuk ilegal.Entah, apa yang dijadikan obsesinya. Padahal penampilan juga sudah bagus. Tubuh langsing, jauh dari kata tidak sempurna.Yah, begitulah. Prioritas orang berbeda-beda.Untung aku punya istri seperti Maharani yang ke salon saja, kalau tidak dipaksa, malas. Dia lebih suka mengurus aku dan rumah. Kebutuhan keluarga dijadikan utama. Bahagia sekali, aku menjadi suaminya.Kalau seperti Catherine, oh no ....Pasti kami akan terlantar karena dia memprioritaskan penampilannya sendiri. Yah, mungkin dibawa ke arisan bisa, sih. Tapi kalau untuk jadi ratu di rumah, kayaknya tidak cocok. Apalagi, aku ada Amelia yang membutuhkan perhatian
Pov Kusuma'Tring'[Suma, paket sudah sampai? Itu untuk calon cucuku] Pesan dari MamiApa lagi, yang kirim. Jangan sampai dia kirim kuda untuk dedek yang belum lahir ini.Mami .... Mami .... ***"Mami mau kirim apa, Mas?" Mas Suma menunjukkan pesan dari Nyonya Besar kepadaku. Kemarin, paket yang ditunggu belum sampai. Kemungkinan, hari ini. Entah, paketnya apa dari Nyonya Besar. Semua menunggu dengan penasaran."Eyang Uti ya, Ma? Buat dedek?" kata Amelia ikutan nimbrung mendekat ke papinya."Hadiah dari Eyang itu, keren lo. Aku aja, dapet Alberto - kuda impor yang keren," ujarnya sambil menunjukkan jempolnya. "Ato, jangan-jangan dedek dikasih kuda poni! Jadi, Amel bisa main kuda bareng dedek! Asyik!" teriak Amelia antusias, dia loncat-loncat kegirangan. Dari kemarin dia selalu cerita, kalau adiknya lahir pingin main ini, main itu. Imajinasi sering kali aneh-aneh. Kadang-kadang membuat kami tertawa. Yah, maklum baru kali ini mau dapet adik."Ada-ada saja, anak papi, ini," kata mas
"Kura-kura!" teriak kami bersamaan.Nyonya besar memberi hadiah sepasang kura-kura ukuran besar. Sekitar panjang 60cm, berwarna coklat kekuningan kotak-kotak mengkilat. Cantik.Ada dua, katanya ini adalah sepasang.Oh, yang dimaksud lambang keberuntungan yang abadi ini. Nyonya Besar kalau mengekspresikan sesuatu diluar dugaan, ya. Aku tersenyum senang dan haru atas perlakuan mertuaku ini.Kata Pak Sutar, ini kura-kura darat jenis Sulcata dari Africa. Mereka gampang dipelihara. Nanti akan ada yang datang secara berkala untuk merawat mereka."Papi, ini lucu, lo. Adik bayi nanti bisa naik ini! Bisa jadi temannya Amel!" teriaknya girang. Dia mengajak bicara kura-kura itu. Membuat kami tertawa geli."Mami ini ada-ada saja, ya," ucap Mas Suma sambil merangkulku dan mencium sekilas rambut ini."Iya Mas Suma. Aku seneng banget, kok. Ibu sangat memperhatikanku," ucapku menatap ke arahnya sambil tersenyum.Kebahagiaanku terasa lengkap, mendapatkan suami, mertua dan anak sambung yang menerimaku
"Tenang, aku bersamamu. Ini saatnya, kita menghadapi kenyataan," ucapnya sambil tersenyum mencoba memberi kekuatan kepadaku.Aku mengikuti langkah panjang Mas Suma, dia menggenggam erat tangan ini untuk menambah keberanian di hati. Entah kenapa, jalan berbatu yang aku lalui seakan berubah menjadi jalan yang terjal.Di ujung sana, lelaki itu tidak menyadari sedari tadi mata kami tertuju kepadanya. Dia masih sibuk menenangkan gadis kecil yang merengek manja di gendongannya. Ya, Mas Bram dengan anaknya dari istri barunya, Wulan. Laki-laki yang pernah aku titipkan hati ini sepenuhnya untuknya, sekaligus yang menghancurkan hatiku tanpa sisa.Untunglah, di sampingku sudah ada seseorang yang sudah merengkuh dan memulihkan hatiku untuk kembali mencinta.Mas Kusuma.Yang sudah kuyakini menjadi satu-satunya penghuni di hati ini. Menjadi temanku untuk melangkah menyambut indahnya dunia. Dan, yang menjadi kekuatanku menghadapi kenyataan yang harus kuhadapi.Seperti sekarang, ini."Pak Bram!" pa
"Mas Suma, kita antar Elena, ya. Sekalian aku ingin menyapa Wulan," ucapku berusaha tenang. Kamipun menuju pondok tempat mereka berteduh. Dari jauh terlihat seorang wanita sibuk mengejar anaknya yang berjalan kesana-sini. Sesekali anak itu terjatuh dan bangun kembali.Dia terlihat kaget ketika melihat kedatangan kami."Mbak Rani?" serunya.Dia langsung menggendong putrinya dan menghampiri kami. Elena yang di gendonganku minta turun untuk bermain di rumput."Kebetulan sekali, kita bertemu di sini. Apakah Wisnu juga ikut?" tanyanya setelah kami bersalaman. "Iya, Wisnu ikut, dia bersama Amelia di taman samping. Nanti saya kasih tahu, untuk dia ke sini. Dia belum kenalan sama adik-adiknya kan, Mas?" Mas Bram mengangguk dan tersenyum. Terlihat sekali, dia berusaha bersikap sewajarnya. "Sudah dua putri ya, Pak Bram?" tanya Mas Suma sambil mengarahkan pandangan ke kedua gadis kecil itu."Iya, Pak. Masih kecil-kecil," jelas Mas Bram."Kami juga pingin ngebut kayak Pak Bram. Yah minimal dua
Bab 80. Sangu"Tuan Kusuma. Maaf mengganggu. Ada Nyonya Besar di bawah. Beliau menunggu," ucap Pak Maman."Mas Suma, Mami?!" ucapku bergegas bersiap turun menemui mertuaku itu.'Tumben pagi-pagi kesini. Apa mau melihat kura-kuranya? Atau, ada hal lain yang penting?' pikirku was-was.Mertuaku duduk di single sofa di ruang tamu dengan penampilan seperti biasa. Rambut disasak tinggi dan fashion yang cetar dari atas sampai bawah. Ada Anita sekertarisnya dan beberapa orang berjas hitam berpakaian rapi ala Men in Black, tapi tanpa kaca mata. Pak Sutar, orang kepercayaannya tergopoh masuk ruangan dengan badan membungkuk menyerahkan tas branded ke Nyonya Besar, mertuaku itu.Di sofa satunya, duduk seorang wanita berdandan super rapi dengan memegang map terbuka yang berisi beberapa kertas, entah apa itu.Aku, Amelia dan Wisnu langsung menghampiri Nyonya Besar, mengambil tangannya untuk salim cium tangan, secara bergantian. Beliau, tersenyum sambil mengusap kepala Amelia dan Wisnu.Budaya in
Persiapan pembukaan gallery sudah matang. Semua barang disusun seperti arahanku. Benar, kata Mas Suma, aku harus kasih nyawaku di sini. Setiap sudut mencerminkan tentang aku. Cafe pun sudah siap operasi. Menu-menu andalanku sudah dikuasai benar oleh Chef nya, begitu juga Bartendernya. Aku ingin semua berjalan sesuai rencana, zero mistake, itu yang aku tekankan ke Aitu. Semua rencana yang beresiko, aku tidak pakai. Buat apa pusing, kalau yang pasti-pasti saja ada. "Ibu Rani, jadwal wawancara dan foto shoot sudah disetujui pagi hari jam sepuluh. Ini majalah yang minta wawancara eksklusif. Mereka kasih note, minta keluarga mendampingi. Ini proposalnya," kata Aitu menyodorkan berkas. Deskripsinya, mereka ingin mengangkat bahwa seseorang wanitapun bisa berkarya. Tanpa meninggalkan keluarga, bahkan dukungan orang-orang terdekat adalah motivasinya. Bagus, sih. Bisa menginspirasi perempuan di luar sana. Aku jadi teringat tentang perjalananku, sampai Mas Suma terbersit ide memberiku mahar
Apa lagi yang harus dibicarakan oleh mantan suamiku ini?Membuat aku penasaran.*** Pov Tuan Kusuma Hari ini pembukaan Gallery Maharani, lega rasanya. Akhirnya, aku bisa memberikan binar di matanya. Awalnya, aku kesulitan memilih apa yang Maharani sukai. Emas, permata bahkan uang sekalipun, dia terlihat tidak tertarik.Tanggalannya, biasa saja. Dia spesial, tidak seperti wanita lain yang bersedia bersamaku karena apa yang ada di sekitarku. Bukan karena aku seorang Tuan Kusuma pemilik beberapa perusahaan.. Malah dia terang-terangan menolakku karena merasa dia tidak pantas. Usahaku untuk mengerti apa yang dia mau, akhirnya tercapai. Yang diinginkan dia adalah kesempatan. Ya, kesempatan untuk berkembang dan membuktikan bahwa dia bukan wanita biasa. Dan, dia sudah membuktikannya. "Pak Kusuma, maaf. Bisakah saya minta waktu untuk bicara dengan Maharani?" ujar Pak Bram, mantan suami Maharani, istriku. Terhenyak, aku melihat kedatangannya. Sikap Pak Bram, sering kali membuatku mera