Aku memandang gedung yang menjulang di depanku. Gedung ini sebagai mahar pernikahan, ini adalah monumen cinta kami. Kisah antara Maharani dan Kusuma terpatri di sini. Dia suami yang mengerti akan diriku. Berawal dari niatku untuk membuatnya bangga, aku mendapatkan penghargaan tingkat international. Mungkin dengan dasar itulah, Mas Suma memberiku kesempatan untuk berkarya dengan memberiku mahar satu unit gallery lengkap dengan karyawan dan semua operasional.Maharani Gallery and Cafe, nama terpahat indah di batu besar. Warna emas kontras dengan hitamnya batu kali. Air menyembur di sela batu besar ini, jatuh di kolam yang penuh bebatuan dan tumbuhan hijau disampingnya. Ikan warna-warni berlarian di sela gemericik air yang tumpah."Kamu senang, Honey?" ucap Mas Suma sambil memelukku dari belakang. Sengaja aku minta diantar pagi-pagi, sebelum karyawan datang. Ini hari pertama galeri. Aku ingin memuaskan menikmati hanya berdua dengan Mas Suma, suamiku.Tangannya mengusap lembut perut bun
Baru pertama ini, seorang Kusuma-Bos Besar membuka pintu gerbang. Biasanya satpam yang melakukannya.Aku menatapnya dari teras galeri. Pintu terbuka dengan sendirinya setelah dia membuka kunci. Kok bisa?Pintu terbuka pelan, menunjukkan beberapa orang berjajar di balik pintu gerbang. Ada Aitu dan karyawan yang lain di sana. Aitu, pegawai kepercayaan Mas Suma yang ditunjuk membantuku.Mungkin mereka sudah datang sedari tadi, buktinya Mas Suma membuka kunci dan mereka langsung membukanya dari luar. Ternyata tidak hanya aku yang rajin di hari pertama. Untunglah, Mas Suma pasang alarm, kalau tidak, bisa kering mereka di luar pagar. Aku tersenyum mengingat kekonyolan kami tadi."Selamat pagi Bu Rani!" ucap mereka bergantian mengangguk ke arahku. Mereka langsung menuju pos masing-masing. Tukang kebun, menyapu halaman dan merapikan daun yang terlihat tua. Bagian Cafe, asyik mempersiapkan bahan-bahan makanan dan minuman. Aitu mondar-mandir mengecek galeri dan berakhir di kantor merapikan ad
"Bagaimana perasaanmu saat ini?" tanya Mas Suma. Sekarang kami di tempat makan Club 21 yang terletak di pinggir kota. Club yang didirikan teman sekolah Mas Suma yang berjumlah dua puluh satu orang. Mereka yang mayoritas pengusaha yang menginginkan tempat spesial, dimana mereka bisa melepaskan atribut yang ada di dirinya. Menjadi pemimpin ataupun publik figur membuat mereka merasa penat, dan di sinilah tempatnya."Perasaan saya? Luar biasa. Ada rasa yang lepas dari hati ini. Rasa itu mulai tumbuh sejak awal gedung itu dibangun dan semakin sesak. Sekarang, rasa itu pecah, lepas dan musnah!" ucapku sambil menghela nafas panjang. Mas Suma berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri tempat dudukku. Dia mengusap pundakku dan berkata, "Rani, begitu beratnya rasa itu?""Berat sekali, Mas. Rasa kawatir akan gagal dan tidak membanggakan Mas Suma. Galeri itu merupakan tanggung jawab dan harapan bagiku, Mas. Kalau aku gagal, itu hanya akan menjadi monumen mati. Aku tidak mau itu!," ucapku deng
"Malah saya sempat berpikir, Suma ini normal atau tidak," ucapnya sambil menatapku dan tertawa. "Abah ini ada-ada saja. Saya normal, Bah. Ini buktinya, Abah sebentar lagi mempunyai cucu," ucap Mas Suma. "Alhamdulillah. Itu namanya rejeki. Kalian harus bersyukur, secepatnya mendapat amanah dari-Nya. Maaf ya, ketika pernikahan kalian, Abah tidak bisa datang. Saat itu bersamaan jadwal Abah umroh," terangnya. Kami berbincang apa saja. Terutama tentang kehidupan. Benar kata Mas Suma, dia orang yang bijaksana. Terlihat dari wejangan tentang kehidupan yang disampaikan kepada kami. Kemudian kami berkeliling ke pabrik. Aku tidak diperbolehkan memasuki gudang, kata Abah di dalam bising sekali, kasihan janin yng ada di perutku. Ditemani Pak Salim, aku jalan-jalan di kebun belakang sambil menunggu Mas Suma. Tanah di belakang sangat luas. Banyak tumpukan limbah kayu di sana. Beberapa ada balok-balok besar teronggok dimakan rayap. Pak Salim! Kayu ini tidak terpakai?" tanyaku menunjuk balok
Sudah satu minggu ini kami disibukkan dengan tamu yang datang. Kasihan Aitu, dalam satu hari tidak terhitung berapa kali naik turun tangga. Bahkan karyawan kafe diperbantukan menemani tamu galeri.Ternyata ini dikarenakan liputan ekslusive tentang galeri ini sudah dimuat. Tidak jarang mereka ingin bertemu denganku dan minta foto bersama. Aku merasa seperti artis dadakan. Lucu juga sih, seumur-umur seperti ini.Mas Suma tidak henti-hentinya mengingatkanku untuk tidak naik ke lantai atas. Apalagi memaksakan diri yang menyebabkan badanku kecapekan."Rani, ingat di perutmu ada buah hati kita! Kalau kamu bandel, lebih baik tidak usah ke galeri!" ancapnya saat video call denganku. Saat itu, aku langsung menangis, Mas Suma kelihatan bingung dengan reaksiku yang berlebihan.Dia juga memerintahkan Aitu untuk mengawasiku. Setiap jam makan siang, pasti datang ke galeri untuk mengecekku. Seperti saat ini. Aku yang sudah menyelesaikan design baru, kaget akan kedatangannya. Dia datang dua jam le
"Ma ... kangen sama adek." Terdengar suara Amelia bersamaan dia menyelusup di pelukanku. Kebiasaan dia, menyelonong masuk ke kamar dan langsung berhambur diantara kami. Terlebih sejak dia tahu kalau segera mempunyai adik. Tak jarang dia mengelus perut buncitku sambil bercerita tentang kejadian sekolah. Lucunya, dia cerita tentang pekerjaan sekolah yang banyak sampai guru yang galak."Amelia sayang, adiknya nanti takut ke sekolah, lo. Ceritanya serem gitu," ucapku sambil tertawa. Dia mendongakkan kepala mengernyitkan dahi, kemudian kembali bicara dengan perutku. Dielusnya dengan lembut."Tenang saja adik kecil. Nanti Kak Amelia yang jaga kalau sekolah. Menemani belajar, makan dan main ...." Dia diam sejenak kemudian mendongak lagi. "Ma, mulai saat ini jangan panggil Amelia saja. Tapi, ditambah menjadi Kakak Amelia, ya. Kan sudah jadi kakak.""Baik, Kakak. Kakak Amelia," ucapku dengan suara kecil, membahasakan bayi diperutku ini. Aku memeluknya erat dan mengelus rambut harumnya."Kak A
Bab 90. Namanya, Prehistoric Seketika mataku membulat penuh, dan senyumku mengembang sempurna."Ya Allah!"Wisnu dengan masih menenteng tas rangsel, baru saja memasuki halaman samping galeri. Di tempat parkir masih terlihat mobil travel yang mengantarnya.Anakku ini sudah terlihat dewasa. Wajahnya seperti duplikasi Mas Bram, mantan suamiku. Hanya kulit terangnya yang mewarisi dariku. Ku rentangkan kedua tanganku menyambutnya. Dia berlari ke arahku dan memelukku. "Kak Wisnu, kenapa tidak mengabari Mama, kalau akan pulang?" tanyaku setelah mencium kedua pipinya. Dulu dia berpipi gembul, sekarang wajahnya tirus. Apakah dia makannya kurang?"Sengaja. Ingin memberi kejutan Mama."Kemudian menghampiri Mas Suma untuk mencium tangan. Begitu juga Amelia langsung menggelendot manja di lengannya. Kami makan bersama, bercerita tentang sekolah Amelia, kampus Wisnu dan terakhir Mas Suma menyombongkan apa yang sudah aku capai di galeri ini. Aku tersenyum bangga. Sebagai istri, kebahagian tak ter
Hariku semakin sibuk. Tanggapan rancangan Prehistoric diluar dugaan. Tidak hanya dari pembeli saja, tetapi juga mendapatkan apresiasi dari organisasi pengusaha furnitur di negara ini. Rancangan ini mendapat penghargaan The Best Furniture Design di tahun ini. Galeri semakin banyak yang mengunjungi. Apalagi, produk ini dimuat di tabloid bulanan mereka yang disebar ke seluruh dunia. Kami pun tidak mengira begini jadinya. Apalagi ada review dari pelanggan yang ternyata dia adalah designer terkenal tingkat dunia. Bahkan, aku tidak tahu dia yang aku temui dan memborong pajangan di galeri mempunyai pengaruh besar. Atas rekomendasinyalah, banyak pelanggan-pelanggan baru.Email penuh dengan permintaan pesanan. Dari meminta untuk gabung di projek ataupun sekedar mengisi rumah pribadi. Kami benar-benar kewalahan. Beruntung ada Litu yang siap selalu. Dibantu pihak produksi di Jogjakarta dan Klaten. Litu kelihatan sekalai bersemangat. Walaupun sering terlihat raut mukanya yang serius dan teg