"Bagaimana perasaanmu saat ini?" tanya Mas Suma. Sekarang kami di tempat makan Club 21 yang terletak di pinggir kota. Club yang didirikan teman sekolah Mas Suma yang berjumlah dua puluh satu orang. Mereka yang mayoritas pengusaha yang menginginkan tempat spesial, dimana mereka bisa melepaskan atribut yang ada di dirinya. Menjadi pemimpin ataupun publik figur membuat mereka merasa penat, dan di sinilah tempatnya."Perasaan saya? Luar biasa. Ada rasa yang lepas dari hati ini. Rasa itu mulai tumbuh sejak awal gedung itu dibangun dan semakin sesak. Sekarang, rasa itu pecah, lepas dan musnah!" ucapku sambil menghela nafas panjang. Mas Suma berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri tempat dudukku. Dia mengusap pundakku dan berkata, "Rani, begitu beratnya rasa itu?""Berat sekali, Mas. Rasa kawatir akan gagal dan tidak membanggakan Mas Suma. Galeri itu merupakan tanggung jawab dan harapan bagiku, Mas. Kalau aku gagal, itu hanya akan menjadi monumen mati. Aku tidak mau itu!," ucapku deng
"Malah saya sempat berpikir, Suma ini normal atau tidak," ucapnya sambil menatapku dan tertawa. "Abah ini ada-ada saja. Saya normal, Bah. Ini buktinya, Abah sebentar lagi mempunyai cucu," ucap Mas Suma. "Alhamdulillah. Itu namanya rejeki. Kalian harus bersyukur, secepatnya mendapat amanah dari-Nya. Maaf ya, ketika pernikahan kalian, Abah tidak bisa datang. Saat itu bersamaan jadwal Abah umroh," terangnya. Kami berbincang apa saja. Terutama tentang kehidupan. Benar kata Mas Suma, dia orang yang bijaksana. Terlihat dari wejangan tentang kehidupan yang disampaikan kepada kami. Kemudian kami berkeliling ke pabrik. Aku tidak diperbolehkan memasuki gudang, kata Abah di dalam bising sekali, kasihan janin yng ada di perutku. Ditemani Pak Salim, aku jalan-jalan di kebun belakang sambil menunggu Mas Suma. Tanah di belakang sangat luas. Banyak tumpukan limbah kayu di sana. Beberapa ada balok-balok besar teronggok dimakan rayap. Pak Salim! Kayu ini tidak terpakai?" tanyaku menunjuk balok
Sudah satu minggu ini kami disibukkan dengan tamu yang datang. Kasihan Aitu, dalam satu hari tidak terhitung berapa kali naik turun tangga. Bahkan karyawan kafe diperbantukan menemani tamu galeri.Ternyata ini dikarenakan liputan ekslusive tentang galeri ini sudah dimuat. Tidak jarang mereka ingin bertemu denganku dan minta foto bersama. Aku merasa seperti artis dadakan. Lucu juga sih, seumur-umur seperti ini.Mas Suma tidak henti-hentinya mengingatkanku untuk tidak naik ke lantai atas. Apalagi memaksakan diri yang menyebabkan badanku kecapekan."Rani, ingat di perutmu ada buah hati kita! Kalau kamu bandel, lebih baik tidak usah ke galeri!" ancapnya saat video call denganku. Saat itu, aku langsung menangis, Mas Suma kelihatan bingung dengan reaksiku yang berlebihan.Dia juga memerintahkan Aitu untuk mengawasiku. Setiap jam makan siang, pasti datang ke galeri untuk mengecekku. Seperti saat ini. Aku yang sudah menyelesaikan design baru, kaget akan kedatangannya. Dia datang dua jam le
"Ma ... kangen sama adek." Terdengar suara Amelia bersamaan dia menyelusup di pelukanku. Kebiasaan dia, menyelonong masuk ke kamar dan langsung berhambur diantara kami. Terlebih sejak dia tahu kalau segera mempunyai adik. Tak jarang dia mengelus perut buncitku sambil bercerita tentang kejadian sekolah. Lucunya, dia cerita tentang pekerjaan sekolah yang banyak sampai guru yang galak."Amelia sayang, adiknya nanti takut ke sekolah, lo. Ceritanya serem gitu," ucapku sambil tertawa. Dia mendongakkan kepala mengernyitkan dahi, kemudian kembali bicara dengan perutku. Dielusnya dengan lembut."Tenang saja adik kecil. Nanti Kak Amelia yang jaga kalau sekolah. Menemani belajar, makan dan main ...." Dia diam sejenak kemudian mendongak lagi. "Ma, mulai saat ini jangan panggil Amelia saja. Tapi, ditambah menjadi Kakak Amelia, ya. Kan sudah jadi kakak.""Baik, Kakak. Kakak Amelia," ucapku dengan suara kecil, membahasakan bayi diperutku ini. Aku memeluknya erat dan mengelus rambut harumnya."Kak A
Bab 90. Namanya, Prehistoric Seketika mataku membulat penuh, dan senyumku mengembang sempurna."Ya Allah!"Wisnu dengan masih menenteng tas rangsel, baru saja memasuki halaman samping galeri. Di tempat parkir masih terlihat mobil travel yang mengantarnya.Anakku ini sudah terlihat dewasa. Wajahnya seperti duplikasi Mas Bram, mantan suamiku. Hanya kulit terangnya yang mewarisi dariku. Ku rentangkan kedua tanganku menyambutnya. Dia berlari ke arahku dan memelukku. "Kak Wisnu, kenapa tidak mengabari Mama, kalau akan pulang?" tanyaku setelah mencium kedua pipinya. Dulu dia berpipi gembul, sekarang wajahnya tirus. Apakah dia makannya kurang?"Sengaja. Ingin memberi kejutan Mama."Kemudian menghampiri Mas Suma untuk mencium tangan. Begitu juga Amelia langsung menggelendot manja di lengannya. Kami makan bersama, bercerita tentang sekolah Amelia, kampus Wisnu dan terakhir Mas Suma menyombongkan apa yang sudah aku capai di galeri ini. Aku tersenyum bangga. Sebagai istri, kebahagian tak ter
Hariku semakin sibuk. Tanggapan rancangan Prehistoric diluar dugaan. Tidak hanya dari pembeli saja, tetapi juga mendapatkan apresiasi dari organisasi pengusaha furnitur di negara ini. Rancangan ini mendapat penghargaan The Best Furniture Design di tahun ini. Galeri semakin banyak yang mengunjungi. Apalagi, produk ini dimuat di tabloid bulanan mereka yang disebar ke seluruh dunia. Kami pun tidak mengira begini jadinya. Apalagi ada review dari pelanggan yang ternyata dia adalah designer terkenal tingkat dunia. Bahkan, aku tidak tahu dia yang aku temui dan memborong pajangan di galeri mempunyai pengaruh besar. Atas rekomendasinyalah, banyak pelanggan-pelanggan baru.Email penuh dengan permintaan pesanan. Dari meminta untuk gabung di projek ataupun sekedar mengisi rumah pribadi. Kami benar-benar kewalahan. Beruntung ada Litu yang siap selalu. Dibantu pihak produksi di Jogjakarta dan Klaten. Litu kelihatan sekalai bersemangat. Walaupun sering terlihat raut mukanya yang serius dan teg
DUA TAHUN KEMUDIAN"Terima kasih, Rani. Sudah lengkap, kebahagiaan yang kau berikan."Mas Suma mengecup dalam dahiku dengan lembut. Dirapikannya rambut ini yang masih basah dengan keringat. Senyumannya sudah terlihat dari kecemasannya ketika mendampingiku dalam kesakitan yang teramat sangat. Sesekali dia mengusap telapak tangannya yang memerah, bekas genggaman kuat tanganku yang mencari kekuatan darinya, tadi.Masih terasa lelah dan lemas yang aku rasa, setelah beberapa jam aku bergulat dengan kekuatan untuk mengantarkannya ke dunia ini.Tangisan pertamanya, menerbitkan senyum kebahagiaan di wajah kami. Anindita Adijaya, putri kami lahir dengan selamat secara normal. Dia adalah anak kedua kami, adik dari Daniswara Adijaya. Dalam dua tahun kami sudah dikaruniai dua anak. Ngebut, kata Mas Suma."Mas Suma, aku seperti kucing, ya. Setiap tahun melahirkan," ucapku bercanda.Adik Amelia, yang lahir tahun kemarin, laki-laki. Kami memberi nama Daniswara Adijaya. Dan, sekarang bayi cantik
"Sudah malam, Ran. Tidur, yuk," ucapnya menghentikan aktifitasku.Aku mengecek email yang setiap harinya dikirim oleh Aitu. Laporan gallery yang hari demi hari mulai kewalahan mendapatkan order.Produksi kami lempar ke pabrik di Klaten dan di Jogja. Sempat keteteran, karena terbentur dengan jadwal yang sering tidak tepat."Iya Mas Suma, aku hanya membaca laporan sebentar. Buat meeting besuk dengan Aitu," ucapku sambil menutup laptop dan merapikannya di meja.Baby Danis dan Baby Anin tidur di kamar masing-masing bersama mbak perawatnya. Untuk Anin, tetap minum ASI dan sesekali diberikan dot berisi ASI perahanku. Seperti, malam ini."Sini, Ran. Aku ingin peluk!" ucapnya memelukku dari belakang. Berdua kami menatap cermin lebar di depan kami."Mas Suma, aku gendutan, ya. Perutku juga menggelambir. Kamu tidak jijik, lihat penampilanku seperti ini?" Tidak ada jawaban, malah terganti dengan dengusan hangat menyapu leherku. "Kamu tahu tidak, wanita kelihatan tambah cantik ketika habis mela