Home / Fantasy / The Reincarnation of Glory Witch / Chapter 11: Does That Fantasy World Exist?
Chapter 11: Does That Fantasy World Exist?

KISAH REKAMAN PERTAMA:

Penderitaan Dalam Sangkar

"Manusia mengatakan waktu adalah pedang. Apakah bisa kugenggam pedang itu untuk menikam hati busuk manusia-manusia?"

***

Bulan ini masuk musim hujan. Sebagian orang menyukai, sebagian orang membenci. Bulan di mana tak lama lagi akan ada berita-berita bertebaran tentang sejumlah titik wilayah digenangi air. Atau bulan di mana orang-orang meningkatkan intensitas merutuk.

Termasuk Aga.

"Aish, sial, basah semua sepatuku!"

Ya. Ini sudah minggu ketiga selama bulan musim hujan berlangsung. Namun bukan berarti Aga ingat membawa sepatu cadangan—atau minimal memakai sandal ketimbang mengenakan sepatu.

Bodoh, ya? Sebut saja begitu. Toh, Aga sudah terbiasa dengan sebutan bodoh, pecundang, pemimpi yang payah, atau semacamnya.

Aga memutuskan berhenti di depan sebuah bangunan ramping bertingkat dua. Suasana sekeliling tampak ramai. Roda-roda kendaraan melewati genangan air sehingga cipratan air sedikit kurangnya mengenai Aga.

Beruntung jarak trotoar depan bangunan-bangunan toko ini agak melebar. Jaraknya dari jalan raya cukup membuat Aga setidaknya tidak basah kuyup seluruh tubuh.

Aga memeriksa keadaan sepatunya. Tampak warnanya telah lusuh dan lem perekat pinggir sepatu lepas. Kalau Aga mengangkat sisi kanan kakinya, nyaris terlihat kaus kaki hitam berlubang itu. Melihat kondisi itu membuat Aga meringis otomatis.

Memalukan.

Bagaimana orang-orang tidak mengatakan dirinya sebagai orang payah dan bodoh? Penampilannya saja kumel tak terawat seperti ini.

"Kamu benar-benar orang yang pantas ditertawakan, Aga," ujar Aga kepada dirinya sendiri, lalu mengangkat wajah. Siapa yang sudi menatap sepatu lusuh memalukan ini?

Di pinggir trotoar, berteduh di bawah kanopi bangunan, Aga melipat kedua tangan. Dia memejamkan kedua mata seraya mencoba merasakan atmosfer sekitar. Ingin mengetahui apa yang dimaksud para perenung yang mengatakan bahwa:

'Di antara rerintik hujan yang turun, kau akan merasakan kerinduan menikam hatimu. Pesan-pesan dari masa lalu mengetuk pintu kenangan…'

Aga lupa bagaimana kelanjutan kalimat salah satu dari mereka yang sempat ditanyainya. Tentang kenapa orang itu senang sekali merenung dan memandangi hujan.

Sayang sekali, Aga tidak merasakan apa yang ada dalam kalimat itu. Kerinduan dan masa lalu? Omong kosong. Apa yang Aga rindukan dari masa lalu?

Ketika dirinya yang berusia tujuh tahun bersama sang ibu diusir dari kontrakan karena menunggak sewa selama empat bulan?

Atau ketika ayahnya—yang gemar menampar ibunya—membawa perempuan lain yang lebih seksi ke rumah dan menalak ibunya?

Atau di saat dirinya dikucilkan dari sosial karena ada seseorang bertahta tinggi sehingga menyebarkan rumor buruk tentang dirinya?

"Aga, Aga. Kamu selama ini hidup dalam sangkar penderitaan," gumam Aga setelah bayangan-bayangan rekaman masa lalu terputar di kepalanya.

Dadanya tiba-tiba berdenyut nyeri. Aga merasakan sesuatu seakan menyentak hati, membuatnya sempat terhenyak sekilas. Seperti duri kecil yang mendadak ditusukkan ke kulitnya, dan menciptakan lubang yang tidak dalam. Namun lubang itu membuatnya terkejut dan teringat—tubuhnya berlumur luka dan kepura-puraan lupa.

Aga pikir semua kenangan itu sudah tidak akan mempengaruhinya lagi. Dia sudah berusia dua puluh dua tahun sekarang. Yang artinya kenangan-kenangan mimpi buruk itu telah terlewati lebih dari sepuluh tahun.

Namun Aga lupa: dia hanya berpura-pura lupa.

Tidak ada luka yang benar-benar ditambal waktu dengan sempurna. Selalu menyisakan sisa, dan sisa itulah kesialan yang abadi.

"Hei, Anak Muda. Apa kamu tidak kedinginan?"

Suara seseorang dari samping cukup mengejutkan Aga.

Begitu Aga membuka mata dengan tampang terkejut, sepasang matanya dipertemukan sepasang mata malas milik pria dengan rambut agak gondrong. Disebut malas sebab memang tatapannya lesu, menatap manusia lain sangat tidak antusias. Ada sepuntung rokok pada sudut kanan bibirnya.

"Aku melihatmu berdiri di sini sejak tadi," lanjut pria itu, datar.

Aga sempat mengerjap sesaat. Mencerna situasi dengan tampang bodohnya. Butuh beberapa detik bagi otak Aga menemukan jawaban.

"Tidak, terima kasih." Ya, menolak. Jelas jawaban yang tepat.

Pria di samping, yang tadinya hanya memunculkan kepala dari balik dinding pintu masuk, sekarang berdiri di ambang pintu. Menyandarkan tubuh sisi kiri pada pinggir ambang pintu ini.

"Apa kau tidak kedinginan?" Pria itu menggedikkan dagu ke arah hujan. "Hujan sangat lebat. Lihat anginnya."

"Hidupku, orang-orang di dalamnya, dan hatiku sendiri sudah dingin," balas Aga yang entah kenapa terceplos begitu saja.

Tawa sinis pria di samping Aga terdengar. "Bahasamu terkesan filosofis sekali. Tidak usah berpura-pura padahal pelukan lenganmu semakin kuat. Masuk saja ke dalam studioku ini."

Tanpa basa-basi lagi, pria itu sudah memutar badan untuk masuk ke dalam. Aga menolehkan kepala dan mengerutkan kening. Pria itu sudah menghilang padahal dirinya belum sempat memberikan jawaban.

Aga menghembuskan napas kasar, sempat tidak mau menggubris. Namun terdengar suara tak jauh berasal dari dalam.

"Hei, Anak Muda! Cepat masuk! Aku tidak mau kakimu tenggelam dalam sepatumu!"

Kepala Aga langsung menunduk, melihat sepatunya sendiri. Benar saja. Ia baru menyadari kalau air masuk melalui celah-celah terbuka dari lem perekat pinggir sepatu yang terlepas. Aga langsung terbelalak panik.

"Apa aku masuk saja?" tanya Aga kepada dirinya.

Mau bagaimana lagi?

Dengan sangat terpaksa Aga memutar balik badan dan berlari kecil memasuki bangunan. Menutup pintu, lalu mendekati si pria gondrong tadi yang sedang mengobrak-abrik lemari. Entah mencari apa.

"Sepatuku basah. Apa tidak masalah kalau masuk ke dalam?" Aga bertanya dengan ragu-ragu kepada si pria.

Si pria tertawa kecil. Tidak ada nada sinis seperti tadi. "Kau bilang hatimu dingin, tapi sekarang bertanya begitu," katanya, lalu mengeluarkan sepasang sandal. Dilemparkan pelan sandal itu ke arah kaki Aga. "Nih, pakai. Sepatumu bisa kau keringkan dekat kipas angin. Bisa, 'kan?"

Aga menuruti apa yang dikatakan si pria gondrong. Bukan karena ia hanya iya-iya saja dengan orang lain, melainkan karena Aga terdesak. Tidak butuh waktu lama bagi Aga mengeluarkan air dalam sepatunya di kamar mandi studio, lalu menyusul si pria gondrong yang mengajaknya ke lantai dua.

Di lantai dua, Aga terperangah melihat suasana sekeliling. Bangunan lantai dua memang tidak luas. Hanya ada dua ruangan berdampingan dengan pembatas kaca yang membuat isi ruangan bisa terlihat dari luar. Sementara ruangan terbuka yang berfungsi untuk santai-santai terdapat sofa membentuk U. Ada sebuah kulkas dan dispenser mengisi.

Aga memperhatikan ruangan pertama, berisi alat-alat penyiaran radio. Berjalan sedikit ke depan, ruangan kedua berisi lemari-lemari loker dan meja diskusi di pertengahan. Ada meja dekat dinding sisi kanan dan di atasnya alat pemutar piring hitam.

"Tempat macam apa ini?" tanya Aga spontan.

Aga dibawa oleh si pria gondrong ke ruangan yang isinya alat-alat penyiaran. Langkah Aga ikut-ikut saja karena masih bingung.

"Kamu bilang hidup dan orang-orang di dalamnya dingin. Mau dengar sesuatu yang membuatmu merasa hangat?"

Dahi Aga berkerut. Si Pria gondrong mengisyaratkan agar dia duduk di depan komputer beserta seperangkat audio mixer. Tak lupa headphone diangkat dari mikrofon dan dipasangkan ke kepala Aga.

Sebelum dipasangkan, si pria gondrong sempat berujar, "Ini jam segmen hening. Di mana kamu mendengarkan cerita yang dititipkan orang-orang, sudah dipilih secara random, dan ini sama sekali tidak disiarkan."

Aga terdiam. Si pria gondrong sekilas tampak meng-klik salah satu file rekaman dari komputer.

"Selamat mendengarkan, Aga."

Rekaman menyala. Garis-garis seperti detak nadi mulai bergerak pada layar komputer. Selama sepersekian detik hanya ada hening. Aga memegang kedua headphone di kedua telinganya, menunggu apa yang akan terdengar.

Lalu hening berubah menjadi seperti suara sambungan terputus-putus.

Seseorang membuang napas berat. Aga dapat merasakan kesesakan pada napasnya itu. Setelah itu suara yang ingin terucapkan namun hanya sepatah kata. Tenggorokan seseorang dalam rekaman ini tercekat.

Atmosfer mulai berubah. Bulu kuduk Aga meremang. Namun Aga menahan diri, meneguk ludah.

Tak lama mulai bermain rekaman yang diputar si pria gondrong itu.

"A… aku melihat mereka, m-monster-monster itu, seperti mimpi buruk yang berdiam di sudut-sudut dinding kamarku. Aku sering bertanya-tanya, apakah hidup memang seperti ini? Hidup adalah kesialan yang abadi?

Jika memang begitu, andai aku tidak diberikan usia panjang—tapi aku sangat berharap begitu, aku mau mereka… aku mau mereka tidak bisa tertawa atau menari. Setidaknya tidak tertawa di atas penderitaanku. Atau menari-nari sebagai bayangan hitam yang mengikutiku sepanjang hidup.

Mereka kenangan paling busuk dalam hidupku, mereka… tidak bisa kutikam mati—tapi justru akulah yang diam-diam mati. Akulah yang harus berlari mati-matian mengejar ujung waktu—yang orang-orang katakan, di sana, aku akan menemukan kebahagiaan.

Tapi semua palsu. Mereka tidak tau betapa pedang yang mereka gunakan menikamku sangat dalam. Merobek kekokohanku, dan kini aku jatuh, tapi mereka sedang tertawa senang."

Aga tertegun selama beberapa saat. Entah apa yang baru saja terputar di telinganya. Namun hati Aga seakan ditikam kuat duri-duri tajam. Tak ada apa pun yang bisa dikatakan bibirnya.

Hanya ada satu hal.

"Ini apa?" tanya Aga, nada bicaranya terkesan mendesak.

"Rekaman," jawab Si Pria Gondrong begitu santai.

"Aku tau," Aga kesal, "tapi rekaman apa ini? Mengapa kau memberikan padaku?"

Si Pria Gondrong tidak langsung menjawab. Gelagatnya begitu aneh bagi Aga. Matanya yang sayu dan redup—sungguh seperti sudah begitu muak dengan sesuatu—memandang Aga, cukup lama.

Seakan mencari sesuatu, atau mungkin sedang berusaha menghipnotis?!

"Aku sudah katakan. Rekaman yang bisa membuatmu merasa hangat."

Aga mendecih seraya membuang muka. Ia menunggu dan menahan diri dengan tatapan memuakkan itu hanya untuk mendapatkan jawaban tidak berguna?

Dengan kesal Aga melepaskan headphone-nya, meletakkan di tempat semula. Agak membanting.

"Hangat, apanya," cibir Aga. "Kau mau membuatku mendengarkan rekaman seseorang sedang menderita?"

Si Pria Gondrong berdiri dari duduk. Aga pikir pria itu hendak menerjang dan menghajar dirinya karena merasa tersinggung. Namun yang terjadi justru pria itu berjalan ke arah berlawanan. Tepatnya menuju gantungan jaket dan sweater.

Disambar salah satu jaket sebelum membalikkan badan. Sambil memakai jaket, pria itu berkata kepada Aga, "Bukannya kalau kau sedang menderita, kau butuh seseorang lain yang juga merasakan hal sama.

"Dengan begitu, kau bisa mendapatkan kehangatan, 'kan? Kau tidak merasa hanya kau sendiri yang menderita."

Aga sama sekali tidak mengerti jawaban itu.

Tidak, koreksi, Aga tidak mengerti sejak awal Si Pria Gondrong berkata apa. Menurut Aga, orang ini bicara melantur.

Apa yang biasanya orang katakan? Ah, iya, sok filosofis.

"Maksudku, aku mau menunjukkan padamu ada orang lain yang menderita, Bodoh."

"A-apa?" Tidak, Aga tidak gugup karena takut, melainkan terkejut.

Bodoh, katanya?!

Tanpa rasa bersalah Si Pria Gondrong berjalan melewati Aga. Dia menyambar kunci kendaraan yang diletakkan di meja lain.

"Ikut aku. Berdiam diri di dalam ruangan tidak akan membuat sudut pandangmu meluas."

Aga tidak tahu apa-apa. Namun saat tangannya ditarik begitu saja oleh Si Pria Gondrong, Aga memahami satu hal.

Mungkin hidupnya akan lebih tidak jelas setelah ini dibandingkan sebelumnya.

Previous Chapter

Related Chapters

Latest Chapter