"Apa dalam benakmu yang pernah terjadi di masa lalu adalah karena aku mencintaimu?" Galih nampak datar melihat ke arah Gayatri."Lalu apa lagi?""Kamu terlalu percaya diri!" jawab Galih yang kemudian berlalu. Gayatri masih mematung di sana menatap Galih yang pergi.Rima yakin pasti ada sesuatu yang membuat kakak beradik itu begitu mengagumi sosok Gayatri. Secara fisik, ia memang sempurna, Rima mengakui itu. Tanpa polesan skincare mahal, wajahnya begitu mulus, tubuhnya tinggi semampai, memakai apa pun selalu terlihat menarik."Berkasmu tertinggal." Suara Rima mengagetkannya. Ia pun membalikkan badan."Oh, iya. Maaf saya teledor," jawabnya seraya mengambil berkas itu."Aku tahu, Gayatri. Kedatanganmu ke sini untuk memastikan kondisi Alan bukan?"Gayatri menata
Galih melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang di tengah riuhnya jalanan ibu kota. Titik air pada lampu yang temaram begitu indah menghiasi taman.Gayatri memang benar, ia mencintai Rima sejak pertemuan pertama mereka ketika sekolah dulu. Gadis manis yang imut dan sangat manja dan juga baik hati begitu memesonanya. Hanya saja, ia berkali-kali kehilangan kesempatan.Hingga ... Galih berasa pada satu fase mendoakannya, mendoakan Rima untuk tidak lagi di dekatkan, tidak lagi dieratkan, melainkan untuk dicukupkan segala perasaan, diusaikan segala pengharapan, dan ia ingin, hidupnya berjalan tidak lagi tentang Rima.[Makasih, vitaminnya sudah sampai di rumah.] Pesan dari Rima membuyarkan lamunannya.[Sama-sama kakak ipar, makan teratur sampai habis.][Aneh dipanggil kakak ipar. Biasanya juga, heh, Rima, hey!"
"Pertanyaan macam apa itu?" tanya Rima masih menatap wajah suaminya."Sekali lagi jangan salah paham, aku hanya bertanya," ucap Alan tak ingin semuanya menjadi tak nyaman."Tapi pertanyaanmu itu sangat konyol, Mas!""Iya maaf ... kalau kamu gak berkenan tak perlu menjawabnya."Rima membuang muka, ia benar-benar marah pada Alan. Tak habis pikir bila pertanyaan itu akan ia lontarkan. Ia pun langsung beranjak, tapi Alan segera menahan dengan memegang tangannya."Jangan marah, sekali lagi maafkan aku." Alan merajuk, ia benar-benar tak ingin Rima marah.Istrinya itu menghela napas panjang, kemudian melihat ke arah Alan dengan tatapan tak bisa dijelaskan. "Sudahlah, Mas! Tak perlu dibahas lagi. Juga jangan pernah berbicara tentang perasaanku, perasaanmu, perasaan kita. Biar saja itu menjadi bagian dari hati ki
Suara alat-alat terdengar di ruangan ini, Gayatri masih tak sadarkan diri. Sebelum dilarikan ke rumah sakit, ia ditemukan oleh seorang petugas keamanan di sana, tetangga di sampingnya merasa tidak nyaman atas gaduh yang Gayatri ciptakan, pintu yang tak terkunci, akhirnya menemukan dirinya dalam keadaan tak sadarkan diri dengan bersimbah darah.Rima dan Alan duduk di sebuah ruang tunggu dengan hening, keduanya sama sekali tak ada yang mengeluarkan suara. Diam dengan perasaan masing-masing, kemudian berlabu pada kecewa yang dalam di hati Rima.Siang tadi, sesuatu tertinggal di ruangannya, sampai akhirnya Rima mendengar semua percakapan dari awal sampai akhir."Kita harus bicara, Rima? Tolong dengarkan penjelasanku dulu."Rima mendongak, melihat ke arah suaminya dengan mata sendu. "Bahkan dalam situasi seperti ini kamu mementingkan egomu sendiri?"
"Bilang pada ibu, kamu sedang bercanda kan?"Rima menghela napas panjang, terasa berat ketika akhirnya harus mengatakan semua ini. "Rima tidak bercanda, Bu. Maaf," ucapnya lirih.Ibu kini benar-benar diam, ia menangis tertahan, kemudian menutup teleponnya, sebetulnya banyak yang ingin ditanyakan, kenapa tiba-tiba perceraian ini terjadi.Jalanan masih terasa begitu padat, sementara matahari terasa begitu terik. Atas segala yang ia punya, Rima tak pernah merasa hidupnya begitu sempurna, ia hanya bersyukur banyak orang yang menyayanginya, hingga pada akhirnya asumsi itu salah, terlalu banyak orang munafik di sekitarnya.[Kamu dimana?]Sebuah pesan dari Galih datang, tapi kali ini ia tidak membalasnya.Sementara Alan nampak tak karuan di kamarnya, ia begitu berantakan dan duduk di sisi ranjang dengan mata ya
Rima mengajak adik iparnya untuk menikmati makan siang tak jauh dari gedung kantor. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu, beberapa pesan dari Galih pun tak ia balas."Perpisahan itu sudah bulat?" tanya Galih.Rima hanya mengangguk, ia tak seceria biasanya."Sudah dipikirkan dengan matang?"Rima kembali mengangguk."Aku percaya, kamu tidak mungkin memutuskan semuanya dengan gegabah. Tapi aku hanya penasaran, apa tidak sedikitpun terbersit untuk memulai kembali dari awal?""Aku pernah mengatakan alasannya pada Alan, tidak mungkin kita hidup bersama lagi, sementara otak dan hatiku tertuju pada hal sakit yang sudah terjadi."Galih menghela napas panjang, ia mencoba memahami situasi ini meski sulit."Pagi tadi Alan mengajukan pengunduran diri," lanjut
Suasana liburan yang seharusnya menyenangkan berganti dengan kepanikan yang luar biasa, karyawan lainnya menunggu dengan cemas. Begitu juga Gayatri dan Alan yang saat ini berada di rumah sakit.Benar saja, Rima kehilangan banyak darah akibat benturan itu, sementara stok darah di rumah sakit tipis dan seperti permintaannya tadi, Gayatri mendonorkan darah untuk keselamatan Rima."Saya tahu ini rencana busuk kamu menyelakai anak saya!" Ibu Rima yang baru saja datang seketika menyerang Gayatri baru saja mendonorkan darahnya dan duduk bersandar di sebuah kursi besi. Ayah Rima yang biasa membela kini diam, seolah menyetujui pendapat istrinya.Gayatri dipukul tas mahal ibu Rima, Alan segera mendekat ketika melihat kegaduhan ini."Tenang, Ma! Ini bukan salah siapapun, apa yang menimpa Rima itu kecelakaan," ucap Alan seraya berusaha menghadang pukulan ibu mertuanya yang
Rima tercenung sendirian ketika melihat bulan yang tersemat di ponselnya. Bagaimana bisa sekarang ada di bulan Juni, ia ingat betul bila bulan ini adalah bulan Januari."Makan dulu, Sayang!" Alan membawakan nampan berisi makanan. Setelah seminggu sadarkan diri, Rima diizinkan pulang. Dan hingga saat ini Gayatri masih belum menemuinya."Aku heran, apa yang membuatmu menjadi begitu manis?" Rima mengernyitkan dahi.Alan tersenyum manis. "Aku hanya mencoba menjadi suami terbaik untukmu.""Aneh saja!" jawab Rima. "Oh, iya, Mas. Sekarang bulan apa?""Kenapa bertanya bulan?""Sepertinya hapeku eror, di sini ko bulan juni, harusnya kan ini bulan Januari.""Iya, hapemu sepertinya eror. Sudah sekarang makan dulu, nanti keburu dingin."Rima menganggguk dan menerim