Suara itu milik Galih, Rima tahu betul. Namun, ia masih menahan diri untuk tidak melihat ke sumber suara. Perasaan bercampur aduk, tiba-tiba yang paling terasa adalah rasa takut."Rima!" Suara itu sekarang terdengar semakin dekat, tepat ada di belakangnya. Mau tidak mau kini ia menoleh, Galih sedang tersenyum di atas kursi rodanya."Kamu datang ke sini untuk menjengukku?" pertanyaan Galih seketika tidak bisa membuatnya berkelit."A ... aku menengok rekan kerjaku."Galih mengangguk sambil tersenyum, ia tahu Rima sedang tidak jujur. Tak berapa lama Syahra dan Alan menghampiri. Gading nampak nyaman di pangkuan Syahra, ia memainkan rambut panjang itu."Hai, Rima! Senang bertemu di sini," ucap Syahra.Rima berusaha tersenyum dan terlihat canggung. "Hai ... ia kebetulan sekali.""Sedang ada urusan di Jogja?" tanya Syahra.Rima menganggguk. "Ada rapat kerja.""Mau digendong Tante Rima?" ucap Syahra pada Gading yang tidak lepas pandangan menatap Rima."Hai ganteng. Lucu sekali. Berapa tahun
"Mohon maaf sudah membawamu masuk terlalu jauh dalam kehidupanku, Mas. Kamu itu malaikat yang dikirim Tuhan untukku di saat ku pikir bila hidupku sudah usai tiga tahun yang lalu," ucap Larissa yang kini sudah bisa berkomunikasi, bahkan ia duduk bersandar dan menerima jeruk yang Galih kupaskan.Sementaranya Galih terdiam, ia tak ingin sampai salah bicara."Bahkan keluarga ku pun saat ini membencimu atas kesalahpahaman yang aku ciptakan, Mas! Sekali lagi maafkan aku.""Saat ini bukan waktu yang tepat untuk membahas masa lalu, kamu harus fokus untuk sembuh, pulih. Gading merindukan, juga membutuhkanmu."Larissa menunduk, ada pilu di hatinya. Semenjak tiga tahun yang lalu, ia memakai topeng yang tak pernah ia lepaskan sekalipun. Bahkan ketika pertemuan pertama dengan Rima, ia tersenyum lebar, menceritakan tentang Galih yang menceritakan Rima. Kenyataannya, ia dan Galih tak pernah benar-benar berbicara dengan begitu hangat dan akrab.Atas segala yang sudah terjadi, bahkan selama terbaring
"Aku datang ke sini hanya sebagai saudara, sahabat dan teman. Bukan ingin tahu tentang kehidupan pribadi kalian. Jadi jangan bawa-bawa aku dalam setiap keputusan yang kalian ambil." Rima terlihat masih tidak terima."Jangan salah paham, Mba. Aku hanya ingin bercerita sedikit tentang aku dan Mas Galih."Rima diam, sebetulnya ia tak ingin mendengarkan, tapi tidak mungkin juga begitu saja pergi dan meninggalkan Larissa yang masih bercerita."Tiga tahun lalu, aku adalah pasien Mas Galih. Saat itu aku sedang ada di fase yang begitu berat, sebagai orang yang terkenal sangat agamis, aku kecelakaan dan hamil. Sosok yang menghamiliku pun dikenal orang yang sangat alim, ia anak dari pemilik pesantren. Aku putus asa, aku takut, dan akhirnya aku memutuskan untuk menyelesaikan hidupku, hingga kemudian Mas Galih menjadi malaikat penolong saat itu. Jadi Gading bukanlah anak dari Mas Galih."Rima terdiam sejenak, ia menghela napas panjang dan mengatur semua isi hatinya yang berkabut. "Itu berarti mem
"Tak perlu buru-buru, aku akan memberimu waktu, tiga hari!"Rima masih tak bisa berkata-kata. "Aku tahu, kamu pasti tidak akan memutuskan semuanya sendiri, ada Allah dan orang tua yang akan kamu libatkan!"Rima tersenyum. "Terimakasih sudah mengerti.""Aku rasa saat ini kita semakin cocok," timpal Galih."Kenapa?" Rima mengernyitkan dahi."Aku duda, kamu janda!"Keduanya tertawa, kemudian makanan mereka datang. "Sudah lama aku tidak makan ini!" ucap Galih sambil menyendokkan makanan tersebut dengan lahap."Makanlah yang banyak, aku akan mentraktirmu," jawab Rima."Tidak! Aku yang akan mentraktirmu sepuasnya, syukuran aku kembali berdinas di rumah sakit!""Baiklah kalau kamu memaksa!" balas Rima."Tidak memaksa juga, sih! Setelah ku pikir gajian bulan ini terpotong banyak karena dipakai setoran rumah.""Dih ... laki-laki itu yang dipegang ucapannya," jawab Rima.Galih tertawa. "Aku bercanda, makanlah sepuasnya! Aku yang traktir.""Siap! Kamu tahu aku sangat suka makan, apalagi akhir-
Rima tercenung sendiri seraya menatap pemandangan di balik kaca jendela, sudah dua hari ini ia terserang sakit, semalam sampai menggigil dengan panas hampir 40 derajat. "Sudah membaik sekarang, Mba?" ucap Nia mengagetkan. Rima langsung melihat ke arah sumber suara."Sejak kapan kamu datang, Nia?""Mungkin sekitar sepuluh menit aku berdiri di balik pintu sana, tidak ada jawaban. Jadi maaf aku langsung masuk saja.""Tidak apa-apa, Nia.""Apa yang sedang dipikirkan, Mba? Jangan memaksa otak untuk banyak berpikir, Mba juga kan sedang sakit, harus banyak istirahat."Rima mengangguk pelan."Aku bisa jadi teman untuk bercerita kalau Mba mau, " lanjut Nia."Beberapa waktu ini memang ingatanku sering pergi ke masa lalu, kilasan balik rasa sakit sesekali muncul. Juga rindu.""Sama Mas Alan?" tanya Nia begitu saja.Rima tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku dan Mas Alan tidak terikat lagi dengan masa lalu. Melihat dia bersama Syahra entah kenapa membuat hatiku senang.""Lalu?""Aku
Setelah membantu Rima berdiri, Galih langsung mendekat ke arah seseorang yang menampar calon istrinya. Dia adalah Hasan, entah apa yang membuatnya tiba-tiba melayangkan sebuah tamparan pada Rima."Bangsat!" Ini kemarahan pertama Galih yang ia lampiaskan, satu pukulan langsung mendarat di pipi Hasan. Diikuti pukulan berikutnya, membuat suasana semakin kacau. Rima segera mendekat dan mencoba melerai, begitu juga semua yang menyaksikan di sini. Setetes darah terlihat keluar dari sudut bibir Hasan."Sudah Galih, sudah!" Rima memegang tangan Galih. Napasnya terengah-engah dengan tatapan tajam menatap ke arah Hasan."Jangan biarkan dia pergi! Saya akan membuat perhitungan di kantor polisi!" ucap Galih.Hasan menatapnya benci, ia bahkan meludah. Sementara Gayatri terlihat di belakangnya tanpa banyak bicara, ia lebih banyak menunduk dan memainkan jari jemari seperti seseorang yang sedang ketakutan.Entah apa yang membuat Hasan sampai bersikap seperti ini, bahkan di tempat umum."Tenang, Gali
Galih dan Rima akan menggelar akad yang sederhana, kebaya putih dengan desain terbaiknya dipilih untuk prosesi akad nikah. Pakaian yang mereka kenakan, nampak indah membalut mereka. Sederhana dan elegan."Tak sabar hari itu tiba!" ucap Galih yang kini berdampingan dengan Rima. Keduanya berdiri di depan sebuah kaca yang besar. Menatap diri masing-masing.. Sebuah pesan dari "Hanya sebulan lagi," jawab Rima dengan senyumnya yang manis."Kamu sudah sepenuhnya yakin padaku, Rima?""Kalau tidak yakin, aku tidak akan membuat keputusan di awal."Galih mengalihkan pandangannya pada Rima, ia tatap wanita yang sudah ia kenal sejak masih duduk di bangku sekolah itu, yang berubah hanya satu, ia jauh lebih baik dan cantik dengan hijab yang dipakainya."Jangan lama-lama natapnya! Nanti jatuh cinta," ucap Rima yang tersipu."Sudah sejak lama!" jawab Galih semakin membuat jantung Rima berdegup kencang. Setelah itu mereka pulang ke rumah, Galih tidak memilikinya banyak waktu saat ini, seiring padatn
Saat-saat perjalanan Gayatri menuju dikebumikan adalah proses dimana Rima merasa bahwa ia harus mendampingi semuanya sampai akhir. Tak peduli apa yang terjadi, ia akan mengingat Gayatri sebagai teman paling baik yang ada di dalam hidupnya.Alan pun turun membantu semua prosesi ini sampai akhir, gerimis tipis-tipis seolah memberikan semilir surga yang terasa sejuk.Ketika semua selesai, satu persatu yang datang pun turut pulang. Alan masih mengadahkan tangannya memanjat doa. Kesedihan nampak jelas di wajahnya. Setelah beranjak pergi, terkadang baru disadari bila orang itu cukup berharga. Manusia lainnya yang luar biasa adalah Syahra, ia nampak sabar dan tegar."Kita pulang, Mas!" Syahra mendekat dan memayunginya. Alan mengangguk. Kemudian beranjak dari, ia ambil payung itu dan membawa Syahra lebih dekat dengan dirinya. Mereka pun berlalu, diiringi Galih dan Rima di belakangnya, juga dalam satu payung yang sama.Sesampainya di mobil, Syahra lebih banyak diam. Melihat sikap Alan tak mun