Bab 3

ISTRIKU SERING MENANGIS

Bab 3

Ia menghela napasnya perlahan, semoga saja Mayang bicara jujur padaku. Namun, baru ingin mengatakannya padaku, tiba-tiba ibu datang. Seperti biasa ia datang membawa lauk pauk makan siang. 

Tadi ibu bicara di telepon besok tidak antar lauk pauk, tapi hari ini ia masih mengantarkannya untuk kami.

"Assalamualaikum," ucap ibu dengan wajah semringah.

"Waalaikumsalam," jawab kami berbarengan, tapi suara Mayang masih agak serak karena tadi menangis.

Ibu menautkan kedua alisnya, ia keheranan melihat kami sedang saling berhadapan.

"Mayang, kamu kenapa? Matamu sembab begitu, apa nangis?" tanya ibu saat melihat mata Mayang yang sembab.

Namanya Diah Sarita, ibuku tinggal di daerah kompleks sebelah. Namun, memang tiap siang ia mengirimkan masakannya ke sini. Kalau pagi, sarapan biasa dengan roti atau nasi goreng buatan Mayang. 

Aku yang meminta ibu untuk memasak setelah Mayang melahirkan anak kami, Arya. Selain karena aku lebih suka masakan ibu, ini semua kulakukan agar Mayang tidak terlalu lelah. Paskah Caesar, ia didiagnosis oleh dokter memiliki anemia. Jadi, tidak boleh terlalu capek dan terlalu banyak begadang. Untuk itulah Mbok Ani yang menjadi perawat khusus untuk Arya, agar kesehatan Mayang pun tidak terganggu.

"Bu, sini makanannya, agar aku tata di meja makan." Aku dan Mayang tak menjawab pertanyaan ibu tadi, kualihkan dengan meminta masakan yang ibu bawa.

Kemudian, aku pergi ke dapur dan meletakkan makanan di atas meja satu persatu. Setelah selesai mengaturnya, aku pun kembali ke ruang tamu.

Ketika ingin melangkah, aku dengar suara bisikan ibu pada Mayang. Namun, tidak jelas ia bicara apa padanya.

"Ehem ...." Aku mengejutkan mereka berdua. Kelihatannya ada pembicaraan yang serius antara mereka berdua. 

"Kalian ngobrolin apa?" tanyaku penasaran.

"Nggak, Ibu coba hapus air mata istrimu tadi," sahutnya. Kemudian Ibu berdiri dan seperti biasa ia menengok cucunya di kamar terlebih dahulu sebelum pulang.

"Mau aku antar, Bu?" tanyaku ketika ibu keluar dari kamar Arya.

"Tidak usah, istrimu lebih membutuhkan kamu ketimbang Ibu. Ya sudah, Mayang, Ibu pulang dulu, ingat pesan Ibu tadi, ya!" cetusnya. 

"Pesan apa, Bu?" tanyaku heran.

"Rahasia wanita," ledek ibu. Kemudian, ia pun pergi begitu saja.

Kulanjutkan obrolan tadi yang terjeda dengan kedatangan Ibu. Namun, sepertinya Mayang sudah tak lagi mau bicara. Ia malah bangkit dari duduknya.

"Sayang, Mayangku, istriku, lanjutkan lagi ya, apa kamu punya utang?" tanyaku lagi sambil menarik tangannya karena ia sudah berdiri dan hendak bergegas pergi.

"Mas, aku ingin mandi. Bicarakan ini nanti lagi ya," jawabnya membuatku mendesah kesal. 

"Huft, padahal jika kamu ada utang, aku mau membayarnya. Asalkan kamu tidak lagi ngojek, Sayang!" teriakku kesal, tapi Mayang tak menoleh sedikitpun ketika aku teriak.

Usai mandi, kami pun makan di meja makan. Masih kuperhatikan Mayang dengan tatapan penasaran. Ada yang mengganjal di hati ini jika belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Mayang, tolong ceritakan padaku, berapa utangmu? Dan utang dengan siapa? Apakah banyak hingga uang yang kuberikan tidak cukup untuk membayarkannya?" tanyaku dengan penuh selidik. Pertanyaanku begitu banyak yang keluar dari mulut.

"Mas, kita makan dulu, ya!" suruhnya sembari menyendok makanan untukku.

Tidak ada kebahagiaan di matanya, apakah ia begitu tersiksa menikah denganku? Sepertinya dulu ia tidak begitu. Sepertinya semenjak melahirkan Arya, Mbok Ani tadi juga keceplosan bilang begitu.

Setelah makan, ia pun merapikan piring kotor ke wastafel, aku turut membantunya agar pekerjaan ini cepat selesai, dan ia segera menceritakannya padaku.

"Mayang, aku mohon cerita ya, kamu itu ibu menyusui, harus tenang pikirannya," ungkapku sembari merapikan sedikit rambutnya yang kusut. 

Mayang menatap wajahku, kemudian ia menyergap pundak ini lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Rapuh ketika pelukan seorang istri diiringi dengan isak tangis. Rasanya aku telah gagal menjadi kepala rumah tangga yang baik.

"Nanti tepat bulan September, di hari ulang tahun Arya, aku akan ceritakan semuanya, Mas," bisiknya sembari memelukku.

"Kenapa harus nunggu bulan September, Mayang? Aku nggak mau kamu kepanasan lagi, ngojek lagi!" sanggahku berusaha menyecarnya.

"Mulai besok aku hentikan ngojek, tapi maaf aku belum bisa cerita sekarang. Tepat tanggal 5 September nanti, akan kuceritakan semuanya," jawab Mayang.

Aku sedikit lega dengan ucapannya yang akan menghentikan pekerjaan.

"Ya, kuharap jangan ada lagi ke luar rumah tanpa izin, aku akan tambah uang untukmu, jika memang kamu butuh uang," sahutku lagi.

"Pokoknya, nanti tanggal 5 September selesai, Mas," sahutnya membuatku cemas. Mau apa Mayang pada tanggal itu?

"Mayang, apa yang kamu lakukan nanti di tanggal 5 September? Bukan meninggalkan aku, kan?" tanyaku lagi. Kemudian ia pun bergeming. 

"Jawab, Mayang! Jangan diam begitu! Jangan bilang kamu ingin kita pisah, kita harus selesaikan masalah keluarga secara baik-baik!" cecarku dengan nada tinggi.

Bersambung

Related Chapters

Latest Chapter