ISTRIKU SERING MENANGIS
Bab 3
Ia menghela napasnya perlahan, semoga saja Mayang bicara jujur padaku. Namun, baru ingin mengatakannya padaku, tiba-tiba ibu datang. Seperti biasa ia datang membawa lauk pauk makan siang.
Tadi ibu bicara di telepon besok tidak antar lauk pauk, tapi hari ini ia masih mengantarkannya untuk kami.
"Assalamualaikum," ucap ibu dengan wajah semringah.
"Waalaikumsalam," jawab kami berbarengan, tapi suara Mayang masih agak serak karena tadi menangis.
Ibu menautkan kedua alisnya, ia keheranan melihat kami sedang saling berhadapan.
"Mayang, kamu kenapa? Matamu sembab begitu, apa nangis?" tanya ibu saat melihat mata Mayang yang sembab.
Namanya Diah Sarita, ibuku tinggal di daerah kompleks sebelah. Namun, memang tiap siang ia mengirimkan masakannya ke sini. Kalau pagi, sarapan biasa dengan roti atau nasi goreng buatan Mayang.
Aku yang meminta ibu untuk memasak setelah Mayang melahirkan anak kami, Arya. Selain karena aku lebih suka masakan ibu, ini semua kulakukan agar Mayang tidak terlalu lelah. Paskah Caesar, ia didiagnosis oleh dokter memiliki anemia. Jadi, tidak boleh terlalu capek dan terlalu banyak begadang. Untuk itulah Mbok Ani yang menjadi perawat khusus untuk Arya, agar kesehatan Mayang pun tidak terganggu.
"Bu, sini makanannya, agar aku tata di meja makan." Aku dan Mayang tak menjawab pertanyaan ibu tadi, kualihkan dengan meminta masakan yang ibu bawa.
Kemudian, aku pergi ke dapur dan meletakkan makanan di atas meja satu persatu. Setelah selesai mengaturnya, aku pun kembali ke ruang tamu.
Ketika ingin melangkah, aku dengar suara bisikan ibu pada Mayang. Namun, tidak jelas ia bicara apa padanya.
"Ehem ...." Aku mengejutkan mereka berdua. Kelihatannya ada pembicaraan yang serius antara mereka berdua.
"Kalian ngobrolin apa?" tanyaku penasaran.
"Nggak, Ibu coba hapus air mata istrimu tadi," sahutnya. Kemudian Ibu berdiri dan seperti biasa ia menengok cucunya di kamar terlebih dahulu sebelum pulang.
"Mau aku antar, Bu?" tanyaku ketika ibu keluar dari kamar Arya.
"Tidak usah, istrimu lebih membutuhkan kamu ketimbang Ibu. Ya sudah, Mayang, Ibu pulang dulu, ingat pesan Ibu tadi, ya!" cetusnya.
"Pesan apa, Bu?" tanyaku heran.
"Rahasia wanita," ledek ibu. Kemudian, ia pun pergi begitu saja.
Kulanjutkan obrolan tadi yang terjeda dengan kedatangan Ibu. Namun, sepertinya Mayang sudah tak lagi mau bicara. Ia malah bangkit dari duduknya.
"Sayang, Mayangku, istriku, lanjutkan lagi ya, apa kamu punya utang?" tanyaku lagi sambil menarik tangannya karena ia sudah berdiri dan hendak bergegas pergi.
"Mas, aku ingin mandi. Bicarakan ini nanti lagi ya," jawabnya membuatku mendesah kesal.
"Huft, padahal jika kamu ada utang, aku mau membayarnya. Asalkan kamu tidak lagi ngojek, Sayang!" teriakku kesal, tapi Mayang tak menoleh sedikitpun ketika aku teriak.
Usai mandi, kami pun makan di meja makan. Masih kuperhatikan Mayang dengan tatapan penasaran. Ada yang mengganjal di hati ini jika belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Mayang, tolong ceritakan padaku, berapa utangmu? Dan utang dengan siapa? Apakah banyak hingga uang yang kuberikan tidak cukup untuk membayarkannya?" tanyaku dengan penuh selidik. Pertanyaanku begitu banyak yang keluar dari mulut.
"Mas, kita makan dulu, ya!" suruhnya sembari menyendok makanan untukku.
Tidak ada kebahagiaan di matanya, apakah ia begitu tersiksa menikah denganku? Sepertinya dulu ia tidak begitu. Sepertinya semenjak melahirkan Arya, Mbok Ani tadi juga keceplosan bilang begitu.
Setelah makan, ia pun merapikan piring kotor ke wastafel, aku turut membantunya agar pekerjaan ini cepat selesai, dan ia segera menceritakannya padaku.
"Mayang, aku mohon cerita ya, kamu itu ibu menyusui, harus tenang pikirannya," ungkapku sembari merapikan sedikit rambutnya yang kusut.
Mayang menatap wajahku, kemudian ia menyergap pundak ini lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Rapuh ketika pelukan seorang istri diiringi dengan isak tangis. Rasanya aku telah gagal menjadi kepala rumah tangga yang baik.
"Nanti tepat bulan September, di hari ulang tahun Arya, aku akan ceritakan semuanya, Mas," bisiknya sembari memelukku.
"Kenapa harus nunggu bulan September, Mayang? Aku nggak mau kamu kepanasan lagi, ngojek lagi!" sanggahku berusaha menyecarnya.
"Mulai besok aku hentikan ngojek, tapi maaf aku belum bisa cerita sekarang. Tepat tanggal 5 September nanti, akan kuceritakan semuanya," jawab Mayang.
Aku sedikit lega dengan ucapannya yang akan menghentikan pekerjaan.
"Ya, kuharap jangan ada lagi ke luar rumah tanpa izin, aku akan tambah uang untukmu, jika memang kamu butuh uang," sahutku lagi.
"Pokoknya, nanti tanggal 5 September selesai, Mas," sahutnya membuatku cemas. Mau apa Mayang pada tanggal itu?
"Mayang, apa yang kamu lakukan nanti di tanggal 5 September? Bukan meninggalkan aku, kan?" tanyaku lagi. Kemudian ia pun bergeming.
"Jawab, Mayang! Jangan diam begitu! Jangan bilang kamu ingin kita pisah, kita harus selesaikan masalah keluarga secara baik-baik!" cecarku dengan nada tinggi.
Bersambung
ISTRIKU SERING MENANGISBab 4Ting ... tong .... Suara bel berbunyi, ada tamu datang, Mayang pun segera membukakan pintunya. Rupanya ibu mertuaku yang datang, mamanya Mayang."Assalamualaikum," ucapnya ketika sudah diperkenankan masuk."Waalaikumsalam," sahutku dan Mayang. Ratna Antika namanya, mamanya Mayang ini terbilang glamor penampilannya. Sering tetanggaku bilang bahwa Mayang dan mamanya seperti kakak dan adik. Wajah yang sangat glowing, penuh perawatan, pastinya akan membuatnya bertanya-tanya akan penampilan anaknya setelah melahirkan Arya."Cucuku di mana, Mayang?" tanya mama mertua."Ada di dalam, tadi kecapean nangis, sekarang mungkin tidur," jawabku. Mayang pasti tidak mengetahui bahwa anaknya tadi nangis."Oh gitu, padahal mama kangen dengan Arya. Oh ya, Ardan, terima kasih uangnya sudah Mama terima, padahal Mama nggak berharap dikasih oleh kalian, yang penting kalian bahagia, Mama pun ikut bahagia," ungk
ISTRIKU SERING MENANGISBab 5"Aku berikan Mama hanya 1 juta rupiah, puas? Atau malah tidak percaya?" Itu pun baru bulan ini ngasih, karena uang hasil ngojek yang kukumpul ada lebihan," jawab Mayang membuatku terkejut."Mayang, kalau memang kamu ingin berikan Mama sejumlah uang, ngomong pada Mas," ucapku sambil mencari dompet. Sebaiknya aku ganti uang Mayang, siapa tahu dengan seperti ini, ia mau menjawab semua rasa penasaranku.Setelah mendapatkan dompet itu, aku pun segera mengeluarkan sejumlah uang yang ia sebutkan tadi."Ini, Mas gantikan uang yang kamu berikan untuk Mama atas namaku. Terima kasih ya, Dek. Kamu telah ingatkan Mas untuk memberi meskipun tahu orang tuamu berkecukupan," jawabku. Ia hanya terdiam, kemudian meraih uang yang kuberikan padanya."Terima kasih, Mas. Aku simpan uang pemberian kamu, terima kasih sekali lagi sudah percaya dengan ucapanku," ketusnya. Kemudian, ia letakkan uang itu di sebuah laci yang tak pernah
ISTRIKU SERING MENANGISBab 6"Kalau begitu, aku permisi dulu ya, makasih loh!" ucap wanita itu lagi. Sepertinya ia mau pulang, lebih baik aku nongol lebih dulu, agar bisa tanyakan langsung padanya."Assalamualaikum," ucapku sambil melebarkan daun pintu yang sedikit terbuka."Waalaikumsalam, loh Mas kamu pulang lagi?" tanya Mayang heran. Ia pun sontak memandang wajah wanita yang berada di hadapannya."Iya, ada yang ketinggalan. Maaf, Mbak ini siapa ya?" tanyaku pada wanita yang tak kukenal, dari parasnya usia wanita itu sekitar seumuran Mayang. Ada urusan apa ia ke sini? Tagihan apa yang Mayang punya?"Mas, kamu sudah dari tadi ya di depan pintu?" tanya Mayang balik. Rasanya ia selalu menutupi setiap kali aku ingin mengetahui apa yang ia lakukan."Maaf Mayang, aku tanya temanmu dulu, agar tahu istriku ini punya cicilan apa!" tekanku pada Mayang. Ia pun tertunduk, kemudian Mayang duduk di sofa. Ada tarikan napas keluar dari mulut
Bab 7Pov MilaAku mengeluarkan tangisan di hadapan Mas Hendra. Sehingga membuat Hendra panik dan cemas melihat kondisiku saat ini.Kulepaskan dekapannya, kemudian kuambil secarik kertas sebelum membuka laptop yang kepegang, dengan hentakan kaki pelan, aku meletakkan kertas dan pulpen di atas pahanya."Apa ini?" tanya Mas Hendra. Kedua alisnya ia tautkan ketika melihat aku memberikan secarik kertas."Baca saja!" sahutku. Kemudian matanya mulai menatap dan membacanya dari atas ke bawah.Setelah membaca dengan teliti, ia menghela napas dalam-dalam. Kemudian, memejamkan matanya sejenak. Lalu bicara berhadapan denganku."Kenapa semua aset minta dipindah atas namamu?" tanyanya pelan."Wajar, aku istri sah kamu, dan Ayu darah dagingmu," sahutku sambil terisak."Alasannya apa? Kalau aku tidak mau, kamu minta cerai?" tanyanya.Kemudian, aku membuka laptop yang berisikan reka
Bab 8Bola mata Mayang tampak berputar, kelihatan seperti ia sedang mencari alasan."Aku mau ke dokter gigi, Mas. Maaf ya, selama ini aku perawatan gigi nggak bilang-bilang," sahut Mayang. Mataku menyipit sambil memegang kedua pipinya, lalu kubuka rongga mulutnya."Mana? Nggak ada gigi yang ditambal, ngerawat apanya, Sayang?" tanyaku keheranan. Pipinya aku remas sambil becanda dengannya."Mas, perawatan gigi memang harus ada yang ditambal?" tanya Mayang balik, sepertinya ia sudah pandai memutar balikkan fakta. Aku tersenyum tipis, kemudian mengelus-elus rambutnya ya selalu diikat dengan karet jepang."Ya sudahlah, hati-hati di jalan, kalau butuh apa-apa telepon aja, ya. Oh ya, kamu ke dokter gigi memakai asuransi kantor, kan?" tanyaku lagi."Iya, Mas," jawabnya sambil tersenyum merekah.Aku segera bergegas berangkat ke kantor. Ada Pak Wijaya yang telah menunggu kehadiranku di ruang meeting. Takkan kubiarkan pekerjaan yan
Tok ... tok ... tok ...."Masuk!" teriak Pak Wijaya. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri pembicaraan pada pihak asuransi. Petugasnya belum selesai memberikan aku informasi tapi sudah kututup teleponnya, karena ada seseorang yang mengetuk pintu.Dibukanya daun pintu yang terbuat dari kayu jati itu, kemudian masuklah sosok wanita yang ternyata Mayang. Kenapa ia bisa tahu aku berada di sini, di ruangan Pak Wijaya?Aku menoleh keheranan, mataku terpanah pada wanita yang berdiri di samping pintu yang terbuka lebar."Maaf, Pak. Kalau saya lancang ke sini, tapi tadi saya sudah bicara pada Bu Tiara melalui sambungan telepon," terang Mayang. Kemudian, Pak Wijaya pun mengangguk. Ia tersenyum, lalu menghampiriku dan menepuk-nepuk pundak ini."Selesaikan masalahmu dulu, silahkan bicarakan ini berdua di taman atau di tempat yang menurut kalian nyaman," suruh Pak Wijaya. Ia membuatku terharu, mana ada atasan sebaik Pak Wijaya dan Bu Tiara?
Bab 10FlashbackPOV Mayang"Pokoknya kamu harus bayarin utang Ibu, Ardan pinjam uang Ibu loh, lagian siapa suruh Caesar? Jadi wanita kok lemah banget, mules segitu aja udah minta Caesar!" cetus ibu lagi. Astaga, memangnya aku menginginkan itu? Kalau boleh pilih, pastinya akan kupilih melahirkan normal karena tidak perlu menyobek perut ini.Aku menghela napas dalam-dalam, air mata ini menetes ketika mereka mencemooh tentang aku yang melahirkan Caesar. Jangan sampai ucapan mereka membuatku terpuruk, lalu menjadikan Arya korban atas semua ini.Meskipun bekas sayatan operasi masih amat sakit, tapi mendengar penuturan mertua dan adik iparku sangatlah lebih menorehkan luka.Sita, ia itu adik iparku, istri dari Rayyan, adik Mas Ardan. Sita melahirkan putri pertamanya dengan cara normal. Jarak melahirkan antara kami hanya berbeda dua bulan. Sita lebih dulu positif hamil dan pastinya lebih dulu melahirkan. Namun, memang ia lebih berunt
Bab 11POV Ardan 💗Aku terharu sekaligus terkejut usai mendengarkan cerita Mayang, tidak kusangka ibuku melakukan hal seperti itu. Ya Tuhan, selama ini aku telah salah menuduh istriku yang tidak-tidak. Jadi teringat ketika bermalam di rumah ibu.***Flashback ketika Ardan bermalam di rumah ibunya."Jangan memanjakan istrimu dengan memberikan uang terus menerus, ia tidak bekerja apa-apa di rumah," ucap ibu ketika aku berada di depan televisi yang berukuran 32 inchi. Sudah kesekian kalinya aku bermalam tanpa izin Mayang. Namun, untuk malam ini, ibu terus menerus mencuci otakku."Bu, menurut Ibu, Mayang itu istri yang seperti apa?" tanyaku padanya sambil memutar channel televisi ketika iklan sedang berlangsung.Pertanyaanku memang hanya sekadar iseng, karena channel televisi yang sedang kutonton sedang iklan saja kupertanyakan pada ibu."Menurut Ibu, Mayang itu terlalu mengandalkan kamu, dikasih baby sitter mau, tidak diperbolehkan
Pov MayangSemua yang terjadi atas izin pemilik Sang Alam, jalan yang dipilih pasti yang terbaik untuk manusia.Proses melahirkan tidaklah ada yang beda, semua ada rasa sakit, maka dari itulah Allah menyebutkan bahwa ibu yang meninggal ketika melahirkan termasuk mati syahid.Keramaian ketika menyambut kedatanganku membuat kami semua berpencar."Mbak, kamu lihat Sita, nggak?" tanya Rayyan menyorot sudut netraku."Nggak, memang nggak bareng kamu?" tanyaku balik."Nggak, Mbak. Aku cari Sita dulu, ya!" Rayyan berlalu pergi dengan melangkah setengah berlari.Rumah ini lumayan besar, jadi kalau terjadi sesuatu, pastinya takkan terjangkau dengan mata. Kecuali, ada yang melihatnya."Aku mau bantu cari Sita dulu, ya!" ucapku pada Rindu, adik kembaranku."Aku ikut, Mbak," sahutnya merangkulku.Kemudian, kami mencari Sita ke sudut taman, tapi tak ketemui juga bobot tubuhn
Pov SitaAku tak menyangka semua sudah berakhir. Ibu mertuaku telah mengakui kesalahannya. Sekarang, semua akan baik pada Mbak Mayang. Beruntung sekali wanita itu, ia anak orang kaya dan ternyata Mas Ardan juga orang kaya raya. Tidak seperti aku yang harus menerima kenyataan memiliki suami yang kere.Aku sedang hamil anaknya, dengan usia yang rentan keguguran. Lebih baik memang aku tak usah melahirkan lagi anak dari Mas Rayyan. Percuma, hidupku akan susah terus menerus, karena didampingi oleh laki-laki kere dan mertua yang tidak mampu.Mumpung berada di rumah sakit, lebih baik aku melakukan aborsi saja di sini. Dari pada harus menanggung benih dari laki-laki yang tidak memiliki harta yang melimpah.Percuma rasanya menghasut Bu Diah bertahun-tahun jika akhirnya ia tersadar. Namun, ada sebagian harta Bu Diah yang sudah kuamankan di kampung. Ya, sebagian uang yang disuruh deposit oleh Bu Diah. Kini sudah kubelikan rumah da
Pov Bu Anika"Kalau bisa jangan ada pihak kepolisian," sahut Mayang."Itu harus, agar Bu Diah menyesal dan kapok," sambung Aldo."Tapi aku tidak ingin Bu Diah masuk sel," sahut Mayang lagi."Nggak, aku ingin Bu Diah sadar, meskipun kamu sudah disakiti olehnya, tapi berusaha untuk membantunya," usul Aldo."Bagaimana rencananya?" tanyaku."Ini kita butuh bantuan Rayyan, dan temanku yang bertugas di kantor polisi terdekat sini," ungkap Aldo.Kemudian, Aldo meminta ponselku untuk bicara dengan Rayyan."Halo, Rayyan, nanti ketemu di depan rumah sakit, kamu seperti sandiwara kecopetan atau jambret, ya," usul Aldo."Ya, kebetulan saya masih di depan rumah sakit. Saya tahu Ibu dan istri saya telah melakukan hal yang merugikan kalian, makanya saya sebagai anak dan suami, mencoba ingin membuat mereka sadar," ungkap Rayyan."Ya, itu saja dulu, untuk selanjutnya, nanti say
Pov Bu Diah"Kalian ini ngomong apa sih? Saya juga sadar kalau sudah tus," sahutku kesal. Wajahku sudah mulai bisa tenang."Kamu kan yang ngerjain keluarga kami? Bu Diah, kamu tak bisa mengelak itu, ngaku saja!" tekan Rindu."Ardan, bantu Ibu yang telah mengasuhmu, bantu Ibu Ardan!" pintaku, tapi ia menepis rengekanku. Tanganku ditepis ketika bergelayut di lengannya."Bu, sudahlah jangan sandiwara, Ibu kan yang meneror keluarga kami?" sentak Ardan. Rupanya mereka mengetahui apa yang kulakukan. Tahu dari mana mereka? Apa jangan-jangan Sita telah mengkhianatiku?Aku menggelengkan kepala, masih mengelak atas apa yang telah kulakukan."Bukan saya," elakku."Ngaku, Bu!" teriak Rindu."Diah, ngaku saja, bukti sudah kami pegang, sebentar lagi, pihak kepolisian akan membawamu ke kantor polisi," ujar Anika membuatku semakin ketakutan. Astaga, mereka benar-benar mengetahui perbuatanku, tapi jika
Pov Bu Diah"Sita, Rayyan sudah berangkat?" tanyaku pada Sita, menantu satunya. Kalau Mayang sudah tak anggap aku sebagai mertua, masih ada Sita yang bisa disuruh-suruh."Bu, Ibu udah bisa bicara? Maaf loh, aku pulang ketika Ibu sulit mengontrol mata dan mulut Ibu," ucapnya. Aku sudah melupakan hal itu, karena tahu ia sedang mengandung cucuku."Sudahlah, eh Ibu dapat cek senilai 1 milyar, bisa kamu cairkan," ucapku."1 milyar? Yang bener Bu?" tanya Sita dengan nada terkejut."Iya, kamu nanti ke sini, Ibu kasih kamu 20 juta, tapi harus ikutin apa kata mau Ibu dulu," suruhku. Untukku harus ada timbal balik, kalau aku kasih uang dua puluh juta, maka ia harus mengikuti perintahku lebih dulu."Apa Bu?" tanya Sita."Kamu teror Mayang dan keluarganya, suruh orang aja, pakai cara yang bikin Mayang stress, Ibu nggak rela Mayang sembuh," jelasku."Cara apa ya?" Sita berpikir sejenak.
Pov Ardan"Rumah Sakit Mayang Bhakti, mungkinkah ini Bu Diah?" tanyaku heran, tapi dadaku sudah bergemuruh ingin memakinya. Sudah dikasih ati minta jantung. Sudah diberikan kesempatan berkali-kali tapi tidak ada rasa penyesalanya sama sekali."Siapa, Mas? Bu Diah kah maksudnya?" tanya Mayang. Aku menyodorkan ponsel Aldo ke pangkuan Mayang. Rasanya aku sudah malu padanya."Tuh kan, apa kita laporkan ke polisi saja?" tanya Bu Anika."Tidak, Bu. Aku tidak ingin ke jalur hukum, nanti jadi panjang," cegah Mayang. Aku pun tak mampu berkata-kata, hanya kesal dan sesal telah berkali-kali menuruti keinginannya."Mayang, maafkan Bu Diah," ucapku sambil menutup wajah ini dengan kedua tangan. Malu pada Mayang terhadap kelakuan ibu asuhku."Kita kasih peringatan sekali lagi saja, sekalian tanya maksud Bu Diah itu apa?" usul Aldo.Aku yakin, tujuan Bu Diah hanya satu. Mayang stress dan tidak jadi berangkat ke lua
Pov Ardan"Ha-halo," ucapku terbata-bata.Kemudian, telepon tersebut dimatikan. Aku menggelengkan kepala, dan meletakkan kembali ponsel istriku."Tidak ada suaranya, entahlah langsung dimatikan," ujarku memberikan informasi pada mereka. Namun, tidak lama setelah aku meletakkan ponsel itu, ponsel Rindu yang berdering. Nomer yang tak dikenali menghubungi Rindu, tapi berbeda dengan nomer yang menghubungi Mayang.Tanpa rasa takut, Rindu mengangkat teleponnya."Halo," ucap Rindu. Tidak lama kemudian, ia menekan tombol speaker agar kami bisa ikut mendengarkannya."Iya, Rindu. Ini Papa," ucapnya. Kami semua bangkit dari duduk ketika orang yang di seberang sana mengaku papa."Papa Sandi atau Papa Tommy?" tanya Rindu. Pertanyaan agak aneh jika Rindu tak mengenali suara mereka berdua. Sepertinya orang yang mengaku-ngaku saja."Rindu, masa kamu nggak kenal suara papamu di telepon?" bisikku pelan.
Pov ArdanSemua yang berada di rumah merapatkan dan mendekatiku. Kemudian menyuruh untuk bicara pada Mbok Ani."Coba bicara pada Mbok," suruh Bu Anika."Iya, Bu," sahutku."Rayyan, halo, aku mau bicara pada Mbok Ani, bisa kan?" tanyaku."Sebentar, Mas."Tidak lama kemudian, Mbok Ani bicara padaku."Halo, Pak. Ini Mbok, maaf sebelumnya," ujarnya."Iya Mbok, Arya bagaimana? Lain kali kalau ke mana-mana bilang ya Mbok!" sahutku."Ada, Pak. Katanya Arya kangen dengan Oma-nya. Saya pikir kalau bilang pasti dimarahin," jawab Mbok Ani."Tetap saja tidak bisa seperti itu, untung saja Mbok Ani bekerja dengan saya, kalau dengan orang lain, mungkin sudah dipecat," sahutku."Maaf, Pak.""Jangan diulangi lagi, dan jangan ke mana-mana, saya akan jemput kalian," pesanku.Kemudian telepon pun terputus. Akhirnya aku tutup teleponnya. Ada emosi juga ke
Pov ArdanKami semua tercengang dengan pengakuan yang tetangga berikan. Mama dan Papa dimasukkan ke dalam mobil Alphard. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Lalu bagaimana dengan Mbok Ani dan Arya?"Bu, apa anak kecil usia 2 tahun dan pengasuhnya juga masuk ke mobil itu?" tanyaku. Kedua tetangga mertuaku menoleh, mereka beradu pandangan sambil menautkan kedua alisnya."Kayaknya nggak ada anak kecil, kami pikir Bu Ratna dan Pak Sandi dijemput oleh rekannya, karena mobilnya kan mewah," jawabnya."Iya, kalau anak kecil sama pengasuhnya perasaan mah nggak belok sini, coba kalian ke sana!" ucapnya sambil tunjuk ke arah timur."Tadi kami sudah mencarinya ke arah sana, tapi tak melihat mereka. Ya sudah, Bu, terima kasih banyak informasinya," sahutku dan Reina. Kemudian, mereka mengangguk.Kami segera memberikan informasi ini pada Mayang dan Rindu, mereka pasti masih panik di dalam. Meskipun belum menemukan keberadaan or