Bab 4

ISTRIKU SERING MENANGIS

Bab 4

Ting ... tong .... Suara bel berbunyi, ada tamu datang, Mayang pun segera membukakan pintunya. Rupanya ibu mertuaku yang datang, mamanya Mayang. 

"Assalamualaikum," ucapnya ketika sudah diperkenankan masuk. 

"Waalaikumsalam," sahutku dan Mayang. Ratna Antika namanya, mamanya Mayang ini terbilang glamor penampilannya. Sering tetanggaku bilang bahwa Mayang dan mamanya seperti kakak dan adik. Wajah yang sangat glowing, penuh perawatan, pastinya akan membuatnya bertanya-tanya akan penampilan anaknya setelah melahirkan Arya.

"Cucuku di mana, Mayang?" tanya mama mertua. 

"Ada di dalam, tadi kecapean nangis, sekarang mungkin tidur," jawabku. Mayang pasti tidak mengetahui bahwa anaknya tadi nangis.

"Oh gitu, padahal mama kangen dengan Arya. Oh ya, Ardan, terima kasih uangnya sudah Mama terima, padahal Mama nggak berharap dikasih oleh kalian, yang penting kalian bahagia, Mama pun ikut bahagia," ungkapnya membuatku tercengang,

Aku mengernyitkan dahi, heran dengan ucapan mama mertua, ucapan terima kasih untuk apa? Aku tidak memberikannya apa pun! Tiba-tiba saja otakku berpikir, apa mungkin ini semua  jawaban dari teka-teki ini?

"Emm, sama-sama, Mah," jawabku. Terlihat wajah Mayang keheranan mendengar jawabanku.

Aku coba untuk mengindahkan ucapannya, jangan sampai mama mertua curiga dengan masalah kami berdua ini. Nanti setelah ia pulang, barulah kutanyakan pada Mayang baik-baik.

"Ya sudah, Mama mau ke kamar cucu Mama dulu, setelah ini pulang, mau mampir ke salon," sahutnya.

"Aku antar ya, Mah," celetuk Mayang. Mereka ke kamar Arya berduaan, dan aku di sini masih merenung dengan ucapannya tadi.

Kalau memang Mayang ingin memberikan uang pada mamanya, aku akan berikan, asalkan ia tidak ngojek lagi. Perih rasanya melihat wanita yang kucintai mencari rezeki di jalanan. Terlebih, imbasnya adalah ke tubuh anakku, Arya. Mbok Ani bilang ketika Mayang menyusui, ia tampak mengeluarkan air mata. Itu pasti karena letih dan tangisannya pecah karena melihat sosok anak yang ia cintai.

Setelah mereka keluar dari kamar, mama mertuaku pun pamit pulang. Seperti yang ia ucapkan tadi, sepulang dari sini ia hendak ke salon.

"Mama pulang dulu, ya," ucapnya.

"Bawa mobil, kan Mah?" tanyaku sambil melihat ke luar. Biasanya mama mertua memang bawa mobil sendiri ke manapun. Ia termasuk wanita mandiri, ke mana-mana sendiri.

"Iya, Mama bawa mobil. Oh ya, Ardan sesekali ajak Mayang ke salon, kusam banget itu mukanya, Mama aja yang udah tua masih perawatan, uang dari Papanya Mayang, Mama gunakan untuk mempercantik diri," terangnya.

Memang betul, penampilan mama jauh berbeda dengan Mayang, tapi ia juga kurang mengurus penampilannya setelah melahirkan Arya saja, makanya aku pikir ini hal wajar.

"Nanti aku ajak Mayang, Mah. Atau ke salon bareng Mama saja, aku izinkan kok," sahutku.

"Nggak mau, aku sibuk," cetus Mayang.

"Ya sudah, Mama pamit dulu, keburu sore," jawabnya. Kemudian, kami mengecup tangannya dan mama mertuaku pun pergi.

Aku menutup dua daun pintu yang terbuka lebar, kemudian masuk ke dalam kamar bersama Mayang. Sepertinya ia tahu ada yang ingin aku bicarakan setelah ini.

"Mayang, aku ingin menanyakan tentang Mama, tapi kamu jangan marah dan tersinggung," ucapku dengan jantung yang berdetak kencang. Khawatir salah bicara padanya. Sebab, aku benar-benar berada di pihak yang serba salah.

"Aku sudah duga itu, pasti kamu akan menanyakan hal ini padaku," sahutnya mengerti dengan apa yang aku ingin tanyakan. Namun, pertanyaan belum aku lontarkan, dada sudah berkejaran detakkannya. 

Aku coba tarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Perasaan takut Mayang tersinggung terus menerus muncul, karena masalah uang itu rentan membuat pecah belah silaturahmi. Apalagi ini masalah keuangan yang diam-diam aku tidak ketahui arah jalannya.

"Aku mau tanya, apa kamu ngojek untuk memberikan Mama uang?" tanyaku penasaran.

Mayang mengecap bibirnya, ia tampak tidak menyukai pertanyaanku.

"Mayang, tolong jawab, jika memang iya, aku izinkan kamu untuk memberikan uang kepada Mama dari uang yang kuberikan," sambungku lagi.

"Sebelumnya aku minta maaf, telah berikan Mama uang memakai namamu, Mas," jawab Mayang.

"Justru karena kamu memberikan uang pada Mama atas namaku, ini membuatku tersentil, berati seharusnya aku berikan pada Mama. Bukan hanya namanya saja," jawabku.

Kemudian Mayang bergeming. Aku tidak tahu bagaimana caranya menanyakan rincian yang kulihat di buku diary Mayang. Mau langsung tanya, apakah untuk membayar utang mama atau bukan, tapi aku masih khawatir Mayang tersinggung.

"Mayang, memang kamu berikan uang pada Mama berapa? Hingga harus ngojek kepanasan?" tanyaku penasaran.

Mayang bergeming lagi. Kemudian, aku genggam tangannya erat-erat. Agar ia percaya padaku, bahwa kejujurannya takkan membuat suaminya ini luntur mencintainya.

"Mayang, aku mohon, jujurlah, Sayang. Kamu berikan uang untuk Mama berapa?" tanyaku sekali lagi meskipun dengan dada yang benar-benar kencang detakkannya. Kuberanikan diri untuk menghilangkan rasa penasaranku ini.

Bersambung

Related Chapters

Latest Chapter