Bab 6

ISTRIKU SERING MENANGIS

Bab 6

"Kalau begitu, aku permisi dulu ya, makasih loh!" ucap wanita itu lagi. Sepertinya ia mau pulang, lebih baik aku nongol lebih dulu, agar bisa tanyakan langsung padanya.

"Assalamualaikum," ucapku sambil melebarkan daun pintu yang sedikit terbuka. 

"Waalaikumsalam, loh Mas kamu pulang lagi?" tanya Mayang heran. Ia pun sontak memandang wajah wanita yang berada di hadapannya.

"Iya, ada yang ketinggalan. Maaf, Mbak ini siapa ya?" tanyaku pada wanita yang tak kukenal, dari parasnya usia wanita itu sekitar seumuran Mayang. Ada urusan apa ia ke sini? Tagihan apa yang Mayang punya?

"Mas, kamu sudah dari tadi ya di depan pintu?" tanya Mayang balik. Rasanya ia selalu menutupi setiap kali aku ingin mengetahui apa yang ia lakukan.

"Maaf Mayang, aku tanya temanmu dulu, agar tahu istriku ini punya cicilan apa!" tekanku pada Mayang. Ia pun tertunduk, kemudian Mayang duduk di sofa. Ada tarikan napas keluar dari mulutnya. Sepertinya ia sedang tegang, mungkin karena kedatanganku yang mendadak.

"Mbak, maaf saya tanya lagi, Mbak ini siapanya Mayang ya?" Bola mata Mayang tak henti-hentinya menatap ke arah wanita itu.

"Saya Rika, temannya Mayang. Maaf ya, Mas. Ke sini pagi-pagi, soalnya lagi butuh uang," jawabnya membuatku semakin penasaran.

Kulirik wajah Mayang yang tiba-tiba membeku, apa ini rahasia di balik semua yang kupertanyakan?

"Kalau boleh tahu, ke sini ada perlu apa ya? Tadi aku dengar soal cicilan," cecarku pada wanita yang berpakaian rapi. Ya, hari ini aku harus mendapatkan jawabannya. Agar aku bisa bekerja dengan tenang di kantor.

"Iya, Mas. Jadi ini cicilan ...." Tiba-tiba telepon seluler milikku berdering, suara panggilan telepon terus menerus terdengar, hingga obrolan kami pun terputus.

"Maaf, Mbak. Sebentar saya angkat telepon dulu," ungkapku. Ternyata Pak Wijaya yang telepon, Bos yang mengangkatku menjadi manager di kantor. Sejak kelahiran Arya lah kehidupan kami berubah, mobil aku beli pun setelah Arya lahir. 

Mungkin sebagian orang tidak percaya bahwa rezeki anak itu sudah ada masing-masing. Aku percaya itu, karena dulu kehidupan kami sangat prihatin. Bekerja di kantor tapi masih staf biasa, dan penghasilan pun masih di bawah rata-rata. Sampai-sampai, ketika Mayang melahirkan pun aku tak punya uang sama sekali.

"Halo, Pak."

"Ardan, sudah jam berapa ini? Berkas-berkas yang akan ditandatangani jangan lupa dibawa. Masa Bos datang lebih dulu dari bawahan. Ayolah cepat ke sini," ledeknya. Aku tahu ia becanda padaku. Namun, memang tak sepantasnya sudah hampir jam sembilan aku belum juga tiba ke kantor.

"Iya, Pak. Maaf, saya lupa bawa berkasnya, ini sedang ambil ke rumah. Segera saya meluncur ke kantor," jawabku.

"Baik, saya tunggu, Ardan." Telepon pun terputus. 

Sepertinya aku urungkan kembali membahas cicilan Mayang. Nanti setelah pulang dari kantor, akan kutanyakan lagi pada Mayang.

"Mayang, tolong nanti jelaskan padaku tentang ini, setelah Mas pulang kerja," ucapku sambil berlalu ke kamar, mengambil berkas yang tertinggal di laci.

Aku ambil berkas yang tertinggal, tapi ada yang terlihat aneh di laci bawahnya. Tepat laci yang semalam aku lihat berisikan uang, tapi di sana sudah tak nampak tumpukan lembaran merah. Rasanya semalam kulihat jumlah yang berada di dalam laci cukup lumayan, tapi kenapa hanya sisa beberapa lembar saja?

Untuk menghilangkan rasa penasaranku, aku tarik laci yang tadi sedikit terbuka. Ternyata hanya berjumlah uang satu juta. Itu sejumlah uang yang kuberikan untuknya semalam, ketika mengganti uangnya. Lalu yang semalam kulihat ke mana? Apa untuk Rika tadi?

Benar-benar saat ini aku dibuat penasaran oleh Mayang, kenapa ia tidak jujur saja kepadaku? Adakah ancaman yang telah ia terima?

Aku bergegas kembali ke kantor, karena Pak Wijaya sudah menunggu untuk meeting. Dengan langkah tergesa-gesa, aku hampir bertabrakan dengan Mayang.

"Dek, kamu masih punya utang penjelasan temanmu tadi, ingat ya pulang kerja aku akan tagih!" seruku.

"Iya, Mas, kamu buru-buru sekali? Hati-hati ya, Mas!" pesannya ketika melihat aku pergi tergesa-gesa.

***

Banyak pikiran yang muncul, hingga meeting pun akhirnya berjalan dengan hasil yang kurang memuaskan. Pak Wijaya pun menghampiriku, menanyakan perihal performaku saat meeting.

"Ardan, kamu kenapa? Meeting tadi benar-benar terlihat kurang sekali performamu, jangan buat saya malu," ucapnya membuatku malu. Namun, ia memang bos yang sangat pengertian terhadapku. 

"Maaf, Pak. Saya sedang banyak masalah," jawabku sambil memegang kening pada rambut yang tadi tertata rapi.

"Masalah apa Ardan. Bukankah saya sudah memberikan gaji 20 juta sebulan untukmu, masih kurang kah?" tanya Pak Wijaya membuatku sungkan.

"Itu dia, Pak. Saya bingung, gaji saya sudah besar, keperluan rumah tangga sudah saya penuhi, tapi istri saya selama 2 tahun ini menjadi ojek online tiap pagi hingga siang," jawabku dengan muka yang sedikit tertutup oleh kedua tangan. 

"Wah, ini pasti ada sesuatu, Ardan. Kamu harus cari tahu," saran Pak Wijaya.

"Saya sudah bertanya pada istri, katanya ia akan jujur tanggal 5 September nanti," terangku.

"Tidak bisa, Ardan. Kamu harus cari tahu lebih dulu, khawatir istrimu itu tertekan atau ada yang mengancam." Ucapan Pak Wijaya membuatku semakin memikirkan masalah ini. Jangan-jangan Mayang memang diancam.

"Siapa yang mengancamnya? Saya tidak tahu harus bagaimana, Pak," jawabku.

"Bagaimana jika kamu ngobrol empat mata pada perawat yang momong anakmu, pasti ia tahu sesuatu," saran Pak Wijaya.

"Sudah, Pak. Saya sudah tanyakan padanya, tapi ia tidak bicara jujur pada saya," sahutku lagi.

"Saran saya, bicara ketika istrimu tidak ada di rumah. Nanti saya suruh Tiara ajak istrimu jalan, bagaimana?" Pak Wijaya atasan yang benar-benar perhatian pada keluargaku.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak," 

Aku pun kembali bekerja dengan hati yang sudah lumayan lega. 

***

Pekerjaan hari ini sedikit kacau, tapi sudah agak sedikit lega, karena besok istrinya Pak Wijaya akan mengajak Mayang pergi.

"Assalamualaikum," ucapku ketika tiba di rumah.

"Waalaikumsalam," sahutnya sembari mencium tanganku. Kemudian ia buka jas yang kupakai, dan meraih tas yang kubawa.

"Mas, kamu lelah, ya? Oh ya, tadi kamu tanya untuk apa Rika ke sini?" tanya Mayang. Entahlah, aku merasakan ada ketidakjujuran di matanya.

"Iya, kamu punya utang apa?" tanyaku dengan nada lemas.

"Kemarin, uang yang kuberikan untuk Mamaku itu pinjam dengan Rika," sahutnya membuatku mengernyitkan dahi. Sepertinya ini jawaban yang tidak jujur, aku lihat uang yang kuberikan padanya masih utuh, justru uang yang kemarin lumayan banyak jumlahnya kulihat tadi sudah tidak ada.

"Mayang, lain kali kalau butuh uang, bilang aku saja," sahutku.

Malam sudah mengeluarkan bintang, sepertinya sebentar lagi Bu Tiara akan datang mengajak Mayang ke luar rumah.

Deru mobil terdengar parkir di depan rumah, aku rasa itu Bu Tiara.

Ting ... tong .... Benar dugaanku, itu tadi suara mobilnya Bu Tiara.

Mayang pun membuka pintu, ia terkejut kedatangan istri atasanku.

"Loh, Bu Tiara, ada apa ya?" tanyanya.

"Hai Mayang, aku mau bicara sesuatu, bisa kita ngobrol di cafe dekat sini?" tanya Bu Tiara. Lalu mata Mayang tertuju padaku, dan aku pun mengangguk.

"Tuh, boleh sama suami, sebentar saja, yuk!" ajaknya lagi.

"Iya, baik, Bu," sahut Mayang. Kemudian, ia pun berangkat bersama Bu Tiara.

Aku segera melangkah ke Mbok Ani, ia harus menceritakan keganjalan yang terjadi.

"Mbok, Arya sudah tidur?" tanyaku pelan.

"Sudah, Pak. Baru saja tidur," sahutnya.

"Kalau begitu, ada yang ingin saya bicarakan serius, Mbok bisa jawab dengan jujur? Ini demi Arya, Mbok, juga demi saya, majikan Mbok." Aku berusaha meyakinkan Mbok Ani. Ada sorotan tajam di matanya.

"I-iya, Pak. Saya akan jawab semampu saya," sahutnya terbata-bata.

"Mbok, adakah yang Mbok tahu tentang istriku? Sepertinya ada yang ia rahasiakan, tahukah Mbok tentang rahasia ini?" Mbok Ani bergeming, hanya mampu menelan salivanya, terlihat dari kerongkongannya yang bergerak.

Bersambung

Related Chapters

Latest Chapter