Bab 7
Pov Mila
Aku mengeluarkan tangisan di hadapan Mas Hendra. Sehingga membuat Hendra panik dan cemas melihat kondisiku saat ini.
Kulepaskan dekapannya, kemudian kuambil secarik kertas sebelum membuka laptop yang kepegang, dengan hentakan kaki pelan, aku meletakkan kertas dan pulpen di atas pahanya.
"Apa ini?" tanya Mas Hendra. Kedua alisnya ia tautkan ketika melihat aku memberikan secarik kertas.
"Baca saja!" sahutku. Kemudian matanya mulai menatap dan membacanya dari atas ke bawah.
Setelah membaca dengan teliti, ia menghela napas dalam-dalam. Kemudian, memejamkan matanya sejenak. Lalu bicara berhadapan denganku.
"Kenapa semua aset minta dipindah atas namamu?" tanyanya pelan.
"Wajar, aku istri sah kamu, dan Ayu darah dagingmu," sahutku sambil terisak.
"Alasannya apa? Kalau aku tidak mau, kamu minta cerai?" tanyanya.
Kemudian, aku membuka laptop yang berisikan rekaman CCTV-nya ketika melakukan hubungan gelap dengan Tini.
Mata Mas Hendra membulat, bola matanya seakan ingin ke luar dari kelopak matanya. Kemudian, bibirnya ia gigit seraya orang yang sedang ketakutan.
Tangannya tiba-tiba ingin meraih laptop yang aku pegang, tapi aku tepis dengan tangan kiriku.
"Sini!" sentaknya.
"Mau tanda tangan, atau aku putar sambil siaran langsung di sosial media?" ejekku. Matanya memerah, ia tampak marah diancam olehku.
"Arghh!" teriaknya. Ia tampak kesal melihatku matanya tak kedip memandang wajah istrinya yang selama ini dibodohi. Saat ini, aku hanya ingin ia menandatangani surat dari notaris, yang siang tadi kuperintahkan untuk membuatnya dengan segera.
***
Flashback siang tadi
"Halo, Pak. Sibuk nggak?" tanyaku ketika berada di luar kota.
"Nggak, Bu Mila, ada apa?" tanyanya.
"Tolong buatkan saya surat tanda serah terima balik nama kepemilikan rumah," ucapku melalui sambungan telepon.
"Bisa dikirim persyaratannya melalui email saya, Bu?" tanyanya.
"Bisa, Pak. Nanti segera saya kirimkan," sahutku.
"Ya sudah, nanti hasilnya saya kirim via email, Bu Mila bisa langsung print saja, kalau sudah ada tanda tangannya, segera kirim ke kantor, agar saya proses balik namanya." Kemudian telepon pun terputus.
Aku sudah siapkan itu dari tadi malam, di ponsel sudah kusimpan semua syaratnya. Segera kukirim ke Pak Jordi. Agar ia segera mengerjakannya.
***
Aku tersenyum tipis melihat suamiku ternyata sangat kecewa dengan kecepatanku. Ia seperti orang kebakaran jenggot, menyesali kebodohannya.
"Maafkan aku," ucapnya. Aku pun tertawa renyah sambil menutup mulut ini.
"Untuk apa? Agar aku tidak menyebar video ini? Atau agar aku tidak memindahkan aset atas namaku?"
Mas Hendra menundukkan wajahnya. Kemudian, ia raih pulpen dan kertas yang tadi sudah diletakkan di atas kasur.
Tanpa pikir panjang, ia pun menandatangani kertas itu. Lalu aku ambil dan menyimpannya di tempat aman.
"Sudah, kan? Bisa kamu hapus videonya?" tanyanya.
Aku menggelengkan kepala, lalu meraih ponselku dan mencari kontak papa mertua.
"Untuk apa nelpon Papa?" tanyanya dengan nada tinggi.
"Aku ingin Papa tahu tentang anaknya. Ia kan laki-laki, pasti bisa memantaskan apakah perbuatan anaknya ini layak atau tidak? Terlebih lagi, selingkuhannya adalah seorang baby sitter," sindirku.
"Jangan! Mila, kamu jangan bilang Papa, pasti ia akan mencabut namaku dari keluarga," lirih Mas Hendra. Aku pun tetap melaksanakan niatku untuk menghubungi papa.
"Mila, aku sudah turuti apa yang kamu mau, rumah ini sudah ditandatangani balik namanya. Tolong jangan adukan pada Papa," lirihnya lagi, tapi aku tak peduli. Marahnya orang sabar itu lebih menyeramkan ketimbang marahnya orang yang biasa marah-marah.
Aku tipikal wanita diam, nurut apa kata suami, tapi diamku ternyata dijdikan setir olehnya. Aku pun sudah tak bisa tinggal diam, harus berontak pada laki-laki yang sudah mulai menginjak harga diriku.
"Halo, Pah,"
"Ya, Mila, ada apa?"
"Apa kita bisa ketemu," pintaku.
"Kapan?" tanyanya.
"Sekarang," jawabku.
"Boleh, setengah jam lagi di Cafe Coffee Kita, ya," usulnya.
"Baik, Pah, aku sendiri, ya."
"Loh, Hendra ke mana?" tanyanya.
"Ada, sedang sibuk bersama ...." Ponselku tiba-tiba diambil Mas Hendra. Ia memutuskan sambungan teleponnya.
Aku bangkit, lalu Mas Hendra menarik lenganku paksa.
"Mila, ini bisa dibicarakan. Aku akan pecat Tini, tapi tolong jangan bilang Papa," lirihnya lagi.
"Mas, sudah terlambat," bisikku pelan tepat di telingaku.
Kemudian, aku langkahkan laki ini menuju mobil, dengan membawa laptop yang berisikan video mesum suamiku. Tak lupa aku bawa berkas pemindahan nama sebagai pemilik rumah juga. Sekalian nanti ke kantor Pak Jordi, agar segera ia kerjakan semuanya.
Mas Hendra mengejarku sampai pintu mobil. Ia terus menerus mengetuk pintu mobil dengan kerasnya. Aku tetap menyalakan mesinnya. Namun, tiba-tiba ia nekat berdiri di depan mobil yang kukendarai.
"Mas! Minggir!" teriakku dari dalam.
"Nggak, tabrak aku saja kalau nekat ingin ke luar!" sahutnya dari luar sambil membentangkan kedua tangannya. 'Astaga, laki-laki ini maunya apa sih? Kenapa sampai nekat seperti itu? Apa aku tabrak saja sekalian agar lebih puas?' gumamku dalam hati.
Bersambung
Bab 8Bola mata Mayang tampak berputar, kelihatan seperti ia sedang mencari alasan."Aku mau ke dokter gigi, Mas. Maaf ya, selama ini aku perawatan gigi nggak bilang-bilang," sahut Mayang. Mataku menyipit sambil memegang kedua pipinya, lalu kubuka rongga mulutnya."Mana? Nggak ada gigi yang ditambal, ngerawat apanya, Sayang?" tanyaku keheranan. Pipinya aku remas sambil becanda dengannya."Mas, perawatan gigi memang harus ada yang ditambal?" tanya Mayang balik, sepertinya ia sudah pandai memutar balikkan fakta. Aku tersenyum tipis, kemudian mengelus-elus rambutnya ya selalu diikat dengan karet jepang."Ya sudahlah, hati-hati di jalan, kalau butuh apa-apa telepon aja, ya. Oh ya, kamu ke dokter gigi memakai asuransi kantor, kan?" tanyaku lagi."Iya, Mas," jawabnya sambil tersenyum merekah.Aku segera bergegas berangkat ke kantor. Ada Pak Wijaya yang telah menunggu kehadiranku di ruang meeting. Takkan kubiarkan pekerjaan yan
Tok ... tok ... tok ...."Masuk!" teriak Pak Wijaya. Akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri pembicaraan pada pihak asuransi. Petugasnya belum selesai memberikan aku informasi tapi sudah kututup teleponnya, karena ada seseorang yang mengetuk pintu.Dibukanya daun pintu yang terbuat dari kayu jati itu, kemudian masuklah sosok wanita yang ternyata Mayang. Kenapa ia bisa tahu aku berada di sini, di ruangan Pak Wijaya?Aku menoleh keheranan, mataku terpanah pada wanita yang berdiri di samping pintu yang terbuka lebar."Maaf, Pak. Kalau saya lancang ke sini, tapi tadi saya sudah bicara pada Bu Tiara melalui sambungan telepon," terang Mayang. Kemudian, Pak Wijaya pun mengangguk. Ia tersenyum, lalu menghampiriku dan menepuk-nepuk pundak ini."Selesaikan masalahmu dulu, silahkan bicarakan ini berdua di taman atau di tempat yang menurut kalian nyaman," suruh Pak Wijaya. Ia membuatku terharu, mana ada atasan sebaik Pak Wijaya dan Bu Tiara?
Bab 10FlashbackPOV Mayang"Pokoknya kamu harus bayarin utang Ibu, Ardan pinjam uang Ibu loh, lagian siapa suruh Caesar? Jadi wanita kok lemah banget, mules segitu aja udah minta Caesar!" cetus ibu lagi. Astaga, memangnya aku menginginkan itu? Kalau boleh pilih, pastinya akan kupilih melahirkan normal karena tidak perlu menyobek perut ini.Aku menghela napas dalam-dalam, air mata ini menetes ketika mereka mencemooh tentang aku yang melahirkan Caesar. Jangan sampai ucapan mereka membuatku terpuruk, lalu menjadikan Arya korban atas semua ini.Meskipun bekas sayatan operasi masih amat sakit, tapi mendengar penuturan mertua dan adik iparku sangatlah lebih menorehkan luka.Sita, ia itu adik iparku, istri dari Rayyan, adik Mas Ardan. Sita melahirkan putri pertamanya dengan cara normal. Jarak melahirkan antara kami hanya berbeda dua bulan. Sita lebih dulu positif hamil dan pastinya lebih dulu melahirkan. Namun, memang ia lebih berunt
Bab 11POV Ardan 💗Aku terharu sekaligus terkejut usai mendengarkan cerita Mayang, tidak kusangka ibuku melakukan hal seperti itu. Ya Tuhan, selama ini aku telah salah menuduh istriku yang tidak-tidak. Jadi teringat ketika bermalam di rumah ibu.***Flashback ketika Ardan bermalam di rumah ibunya."Jangan memanjakan istrimu dengan memberikan uang terus menerus, ia tidak bekerja apa-apa di rumah," ucap ibu ketika aku berada di depan televisi yang berukuran 32 inchi. Sudah kesekian kalinya aku bermalam tanpa izin Mayang. Namun, untuk malam ini, ibu terus menerus mencuci otakku."Bu, menurut Ibu, Mayang itu istri yang seperti apa?" tanyaku padanya sambil memutar channel televisi ketika iklan sedang berlangsung.Pertanyaanku memang hanya sekadar iseng, karena channel televisi yang sedang kutonton sedang iklan saja kupertanyakan pada ibu."Menurut Ibu, Mayang itu terlalu mengandalkan kamu, dikasih baby sitter mau, tidak diperbolehkan
Kemudian mereka berdua saling tertawa riang. Tidak lama kemudian, ibu mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Baju daster yang ia gunakan lebih memudahkan untuk merogohnya."Iya, gila dua tahun aku ngibulin menantu sendiri, abisnya punya menantu dari keluarga orang kaya raya, tapi pelitnya naudzubillah," sindir ibu membuatku semakin sesak. Astaga, yang kaya raya kan orang tuanya Mayang, aku pun malu jika harus meminta-minta pada orang tuanya.Kemudian, wanita yang melahirkanku itu memberikan ponselnya pada Rika. Setelah itu ia tunjuk ke arah layar."Apa ini? Wih, saldo rekening Bu Diah banyak banget," ledek Rika. Wanita yang kupikir adalah teman dari Mayang, ternyata ia teman karib ibuku."Saldoku ini, hasil morotin anak dan menantu," celetuknya sambil terkekeh. Mereka berdua tertawa dengan bahagianya. Padahal, ada anak menantu yang terluka."Kalau gitu, jatahku ditambah ya, masa cuma dapat segini? Berapa ini jumlahnya?" sindir Rika sa
Aku panik ketika melihat darah di hidung Mayang, dan wajahnya pun terlihat pucat. Astaga, apa yang harus kuperbuat saat ini?Kuinjak gas mobil dengan kecepatan tinggi, dan melaju sekencang-kencangnya tanpa memikirkan kendaraan yang melintas.Mayang, istriku, ia kenapa? Ada apa dengan tubuhnya? Apakah ada penyakit serius yang ia derita?Setelah mencari rumah sakit terdekat dari rumah ibu, akhirnya kumenemukan sebuah rumah sakit besar hanya dalam waktu sepuluh menit.Kuparkirkan mobil di depan ruang UGD persis, dan petugas beserta team medis segera membawa Mayang ke ruang gawat darurat. Ada perasaan cemas dan tegang di dada ini. Lalu kupinta petugas untuk memarkirkan mobil ke halaman parkir."Mas, tolong parkirkan mobil saya, ini kuncinya! Ditunggu di depan UGD, ya!" suruhku. Kemudian, ia pun mengangguk tanpa basa-basi, dan bergegas pergi membawa mobilku.Aku lihat jam yang melingkar di tanganku ini. Sudah pukul dua siang,
"Mayang, kamu tidur, Sayang?" tanyaku sekali lagi. Kali ini tangan kiri berusaha menyentuh pipinya, agar ia terkejut dengan colekanku.Sepertinya ia tidak tidur, aku harus mengecek napasnya. Kupegang bagian lubang hidung, tapi masih ada napas yang berhembus. Aku tak membuang waktu lagi, gas mobil kuinjak dengan kencang, dan segera menuju ke Rumah Sakit Maya Bakti. Kali ini aku yakin Mayang bukan sakit biasa.Sambil melaju kencang ku coba pegang tubuh Mayang. Astaga, dingin sekali tubuhnya. Kemudian, aku menepi untuk memeriksa denyut nadi Mayang. Setelah itu, kupegang tangan sebelah kanannya, dan dengan uraian air mata, aku pun teriak."Mayang!""Mas, awas!" teriak Mayang seketika mengejutkanku. Hampir saja mobil yang aku kendarai menabrak portal jalan. Ternyata aku hanya melamun, rasa cemas dan takut kehilangan Mayang membuatku membayangkan yang negatif."Mas, kamu kenapa sih? Yang fokus kalau nyupir," celetuk Mayang menatapku lirih."
"Mas, kamu ngapain?" tanya Mayang seketika membuatku terkejut. Kertas yang sedang kubaca pun terpaksa dimasukkan kembali ke dalam tasnya."Kamu sudah bangun? Tadi ada telepon masuk dari nomer tak dikenal, mau diangkat sudah mati," jawabku dengan alasan. Ia pun sontak meraih tas yang sedari tadi kupegang. Masih ada rasa penasaran di dalam dada ini. Namun, untuk sementara aku biarkan Mayang mengambil tasnya itu dari tanganku.Mumpung Mayang sudah bangun, aku mengajaknya untuk jalan-jalan ke taman. Siapa tahu ia masih ingin bercerita padaku."Kita ke taman, mau nggak?" tanyaku. Mayang menggelengkan kepalanya. Ia menolak ajakanku."Masih pusing?" tanyaku sambil merapikan rambutnya. Namun, alangkah terkejutnya aku, ketika merapikan rambut yang berantakan tiba-tiba rambut panjangnya banyak yang kebawa."Mayang, rambutmu rontok banyak banget, kamu serius baik-baik saja?" tanyaku sembari menatap netranya yang sayup."Mas, aku tuh lagi nggak cocok sh
Pov MayangSemua yang terjadi atas izin pemilik Sang Alam, jalan yang dipilih pasti yang terbaik untuk manusia.Proses melahirkan tidaklah ada yang beda, semua ada rasa sakit, maka dari itulah Allah menyebutkan bahwa ibu yang meninggal ketika melahirkan termasuk mati syahid.Keramaian ketika menyambut kedatanganku membuat kami semua berpencar."Mbak, kamu lihat Sita, nggak?" tanya Rayyan menyorot sudut netraku."Nggak, memang nggak bareng kamu?" tanyaku balik."Nggak, Mbak. Aku cari Sita dulu, ya!" Rayyan berlalu pergi dengan melangkah setengah berlari.Rumah ini lumayan besar, jadi kalau terjadi sesuatu, pastinya takkan terjangkau dengan mata. Kecuali, ada yang melihatnya."Aku mau bantu cari Sita dulu, ya!" ucapku pada Rindu, adik kembaranku."Aku ikut, Mbak," sahutnya merangkulku.Kemudian, kami mencari Sita ke sudut taman, tapi tak ketemui juga bobot tubuhn
Pov SitaAku tak menyangka semua sudah berakhir. Ibu mertuaku telah mengakui kesalahannya. Sekarang, semua akan baik pada Mbak Mayang. Beruntung sekali wanita itu, ia anak orang kaya dan ternyata Mas Ardan juga orang kaya raya. Tidak seperti aku yang harus menerima kenyataan memiliki suami yang kere.Aku sedang hamil anaknya, dengan usia yang rentan keguguran. Lebih baik memang aku tak usah melahirkan lagi anak dari Mas Rayyan. Percuma, hidupku akan susah terus menerus, karena didampingi oleh laki-laki kere dan mertua yang tidak mampu.Mumpung berada di rumah sakit, lebih baik aku melakukan aborsi saja di sini. Dari pada harus menanggung benih dari laki-laki yang tidak memiliki harta yang melimpah.Percuma rasanya menghasut Bu Diah bertahun-tahun jika akhirnya ia tersadar. Namun, ada sebagian harta Bu Diah yang sudah kuamankan di kampung. Ya, sebagian uang yang disuruh deposit oleh Bu Diah. Kini sudah kubelikan rumah da
Pov Bu Anika"Kalau bisa jangan ada pihak kepolisian," sahut Mayang."Itu harus, agar Bu Diah menyesal dan kapok," sambung Aldo."Tapi aku tidak ingin Bu Diah masuk sel," sahut Mayang lagi."Nggak, aku ingin Bu Diah sadar, meskipun kamu sudah disakiti olehnya, tapi berusaha untuk membantunya," usul Aldo."Bagaimana rencananya?" tanyaku."Ini kita butuh bantuan Rayyan, dan temanku yang bertugas di kantor polisi terdekat sini," ungkap Aldo.Kemudian, Aldo meminta ponselku untuk bicara dengan Rayyan."Halo, Rayyan, nanti ketemu di depan rumah sakit, kamu seperti sandiwara kecopetan atau jambret, ya," usul Aldo."Ya, kebetulan saya masih di depan rumah sakit. Saya tahu Ibu dan istri saya telah melakukan hal yang merugikan kalian, makanya saya sebagai anak dan suami, mencoba ingin membuat mereka sadar," ungkap Rayyan."Ya, itu saja dulu, untuk selanjutnya, nanti say
Pov Bu Diah"Kalian ini ngomong apa sih? Saya juga sadar kalau sudah tus," sahutku kesal. Wajahku sudah mulai bisa tenang."Kamu kan yang ngerjain keluarga kami? Bu Diah, kamu tak bisa mengelak itu, ngaku saja!" tekan Rindu."Ardan, bantu Ibu yang telah mengasuhmu, bantu Ibu Ardan!" pintaku, tapi ia menepis rengekanku. Tanganku ditepis ketika bergelayut di lengannya."Bu, sudahlah jangan sandiwara, Ibu kan yang meneror keluarga kami?" sentak Ardan. Rupanya mereka mengetahui apa yang kulakukan. Tahu dari mana mereka? Apa jangan-jangan Sita telah mengkhianatiku?Aku menggelengkan kepala, masih mengelak atas apa yang telah kulakukan."Bukan saya," elakku."Ngaku, Bu!" teriak Rindu."Diah, ngaku saja, bukti sudah kami pegang, sebentar lagi, pihak kepolisian akan membawamu ke kantor polisi," ujar Anika membuatku semakin ketakutan. Astaga, mereka benar-benar mengetahui perbuatanku, tapi jika
Pov Bu Diah"Sita, Rayyan sudah berangkat?" tanyaku pada Sita, menantu satunya. Kalau Mayang sudah tak anggap aku sebagai mertua, masih ada Sita yang bisa disuruh-suruh."Bu, Ibu udah bisa bicara? Maaf loh, aku pulang ketika Ibu sulit mengontrol mata dan mulut Ibu," ucapnya. Aku sudah melupakan hal itu, karena tahu ia sedang mengandung cucuku."Sudahlah, eh Ibu dapat cek senilai 1 milyar, bisa kamu cairkan," ucapku."1 milyar? Yang bener Bu?" tanya Sita dengan nada terkejut."Iya, kamu nanti ke sini, Ibu kasih kamu 20 juta, tapi harus ikutin apa kata mau Ibu dulu," suruhku. Untukku harus ada timbal balik, kalau aku kasih uang dua puluh juta, maka ia harus mengikuti perintahku lebih dulu."Apa Bu?" tanya Sita."Kamu teror Mayang dan keluarganya, suruh orang aja, pakai cara yang bikin Mayang stress, Ibu nggak rela Mayang sembuh," jelasku."Cara apa ya?" Sita berpikir sejenak.
Pov Ardan"Rumah Sakit Mayang Bhakti, mungkinkah ini Bu Diah?" tanyaku heran, tapi dadaku sudah bergemuruh ingin memakinya. Sudah dikasih ati minta jantung. Sudah diberikan kesempatan berkali-kali tapi tidak ada rasa penyesalanya sama sekali."Siapa, Mas? Bu Diah kah maksudnya?" tanya Mayang. Aku menyodorkan ponsel Aldo ke pangkuan Mayang. Rasanya aku sudah malu padanya."Tuh kan, apa kita laporkan ke polisi saja?" tanya Bu Anika."Tidak, Bu. Aku tidak ingin ke jalur hukum, nanti jadi panjang," cegah Mayang. Aku pun tak mampu berkata-kata, hanya kesal dan sesal telah berkali-kali menuruti keinginannya."Mayang, maafkan Bu Diah," ucapku sambil menutup wajah ini dengan kedua tangan. Malu pada Mayang terhadap kelakuan ibu asuhku."Kita kasih peringatan sekali lagi saja, sekalian tanya maksud Bu Diah itu apa?" usul Aldo.Aku yakin, tujuan Bu Diah hanya satu. Mayang stress dan tidak jadi berangkat ke lua
Pov Ardan"Ha-halo," ucapku terbata-bata.Kemudian, telepon tersebut dimatikan. Aku menggelengkan kepala, dan meletakkan kembali ponsel istriku."Tidak ada suaranya, entahlah langsung dimatikan," ujarku memberikan informasi pada mereka. Namun, tidak lama setelah aku meletakkan ponsel itu, ponsel Rindu yang berdering. Nomer yang tak dikenali menghubungi Rindu, tapi berbeda dengan nomer yang menghubungi Mayang.Tanpa rasa takut, Rindu mengangkat teleponnya."Halo," ucap Rindu. Tidak lama kemudian, ia menekan tombol speaker agar kami bisa ikut mendengarkannya."Iya, Rindu. Ini Papa," ucapnya. Kami semua bangkit dari duduk ketika orang yang di seberang sana mengaku papa."Papa Sandi atau Papa Tommy?" tanya Rindu. Pertanyaan agak aneh jika Rindu tak mengenali suara mereka berdua. Sepertinya orang yang mengaku-ngaku saja."Rindu, masa kamu nggak kenal suara papamu di telepon?" bisikku pelan.
Pov ArdanSemua yang berada di rumah merapatkan dan mendekatiku. Kemudian menyuruh untuk bicara pada Mbok Ani."Coba bicara pada Mbok," suruh Bu Anika."Iya, Bu," sahutku."Rayyan, halo, aku mau bicara pada Mbok Ani, bisa kan?" tanyaku."Sebentar, Mas."Tidak lama kemudian, Mbok Ani bicara padaku."Halo, Pak. Ini Mbok, maaf sebelumnya," ujarnya."Iya Mbok, Arya bagaimana? Lain kali kalau ke mana-mana bilang ya Mbok!" sahutku."Ada, Pak. Katanya Arya kangen dengan Oma-nya. Saya pikir kalau bilang pasti dimarahin," jawab Mbok Ani."Tetap saja tidak bisa seperti itu, untung saja Mbok Ani bekerja dengan saya, kalau dengan orang lain, mungkin sudah dipecat," sahutku."Maaf, Pak.""Jangan diulangi lagi, dan jangan ke mana-mana, saya akan jemput kalian," pesanku.Kemudian telepon pun terputus. Akhirnya aku tutup teleponnya. Ada emosi juga ke
Pov ArdanKami semua tercengang dengan pengakuan yang tetangga berikan. Mama dan Papa dimasukkan ke dalam mobil Alphard. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Lalu bagaimana dengan Mbok Ani dan Arya?"Bu, apa anak kecil usia 2 tahun dan pengasuhnya juga masuk ke mobil itu?" tanyaku. Kedua tetangga mertuaku menoleh, mereka beradu pandangan sambil menautkan kedua alisnya."Kayaknya nggak ada anak kecil, kami pikir Bu Ratna dan Pak Sandi dijemput oleh rekannya, karena mobilnya kan mewah," jawabnya."Iya, kalau anak kecil sama pengasuhnya perasaan mah nggak belok sini, coba kalian ke sana!" ucapnya sambil tunjuk ke arah timur."Tadi kami sudah mencarinya ke arah sana, tapi tak melihat mereka. Ya sudah, Bu, terima kasih banyak informasinya," sahutku dan Reina. Kemudian, mereka mengangguk.Kami segera memberikan informasi ini pada Mayang dan Rindu, mereka pasti masih panik di dalam. Meskipun belum menemukan keberadaan or