Bab 3

Setelah Kinanti masuk, Adam juga ikut masuk. Dengan tubuh basah ia segera menaiki anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Saat turun dari mobil Adam sudah melihat Renata yang menatap dirinya dari balkon. Akan tetapi ia berpura-pura tidak tahu.

Jadi Adam pun sudah mempersiapkan jawaban saat nanti di suguhkan pertanyaan-pertanyaan oleh Renata. Walaupun Adam terlalu takut untuk berbohong.

Berdiri di depan pintu kamar, menghirup udara dengan sebanyak-banyaknya. Menghembuskan dengan perlahan, lalu tangan bergerak memegang gagang pintu. Memutarnya lalu mendorong dengan perlahan.

"Dari mana?"

Adam masih berada di ambang pintu, tetapi Renata sudah menyuguhkan pertanyaan padanya.

Mata Renata menatap baju Adam yang basah kuyup. Tetapi, Renata lebih penasaran mengapa Kinanti bisa bersama dengan Adam.

"Sudah pukul 02:30, kau dari mana? Lalu kenapa kau bisa bersama Kinanti?" tanya Renata dengan penuh intimidasi.

"Suami mu ini seorang dokter sayang, ada pasien yang membutuhkan pertolongan di rumah sakit. Tadinya aku mau membangunkan mu. Tapi kau sangat lelap," jelas Adam dengan memberi alibi, bahkan memasang wajah santai seolah tidak ada yang terjadi.

"Lalu Kinanti?"

"Saat aku pulang dari rumah sakit, aku melihatnya berada di tengah jalan kehujanan. Aku tidak bertanya kenapa, hanya saja aku punya rasa kemanusiaan dan mengajaknya pulang," jawab Adam, berbohong untuk kedua kalinya.

Renata terdiam sambil menatap Adam, mencoba mencari kebohongan di raut wajah Adam.

Akan tetapi, Renata yakin jika suaminya tidak berbohong. Seketika amarahnya menghilang lalu memberikan senyuman pada Adam.

"Ya udah, kamu ganti bajunya. Abis itu kita tidur, aku pengen di peluk."

Adam mengangguk. Lalu, segera mengganti pakaiannya. Setelah itu menemani Renata hingga kembali terlelap.

Satu jam sudah berlalu, Renata sudah kembali terlelap dalam dekapan Adam.

Sedangkan Adam masih belum bisa terlelap, entah mengapa ia masih sangat kasihan pada keadaan Kinanti yang begitu terpukul dengan kejadian malam itu.

Melepas pelukan Renata dengan perlahan, lalu turun dari ranjang dan menuju kamar Kinanti yang cukup berdekatan dengan dapur.

Adam langsung memutar gagang pintu, tanpa meminta izin dari Kinanti.

Matanya melihat Kinanti duduk di sudut kamar dengan pakaian basah yang masih belum di ganti. Bahkan tanpa tahu keberadaan Adam yang sudah masuk lalu menutup pintu kembali.

Tepukan pada pundaknya membuat Kinanti seketika tersadar, ternyata ada Adam yang berjongkok di sampingnya. Seketika Kinanti menatap pintu yang sudah tertutup kembali.

Kapan Adam masuk, apakah sudah lama? Kinanti cukup terkejut.

"Kenapa belum mengganti pakaian, kau bisa sakit," kata Adam.

"Sakit?" tanya Kinanti dengan senyum getir.

Kinanti ingin berteriak sekencang-kencangnya, Adam mengatakan sakit. Bukankah Kinanti memang sudah merasakan sakit.

Raut wajah Adam tampak bersedih, mengerti dengan pertanyaan Kinanti, "Aku mohon, ganti pakaian mu. Atau aku yang akan menggantikannya."

Tidak ada niatan untuk mengeluarkan kalimat ancaman, akan tetapi itu cara agar Kinanti mau mengganti pakaian basahnya. Jujur saja Adam tidak tega melihat Kinanti terus dalam keterpurukan.

Tetapi, Renata masih terlalu berkuasa dalam hatinya. Bahkan untuk menyakiti hati Renata sedikit saja Adam tidak memiliki keberanian.

Kinanti langsung berdiri, dan berjalan menuju almari. Memakai piama di dalam kamar mandi. Saat Kinanti kembali ia melihat sudah ada secangkir teh hangat yang di letakkan di atas meja.

Meneguk dengan perlahan dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang.

----

Pagi hari ini Kinanti merasa tidak baik-baik saja, tubuhnya menggigil dengan hebat. Sesekali terdengar suara bersin yang juga menimpali, suhu tubuhnya sangat panas. Sedangkan ia merasa kedinginan.

Dua anak kecil langsung berlari menuju kamar Kinanti, tidak biasanya Kinanti tidak membangunkan dan mengurus keperluan mereka setiap paginya.

"Mbak Kinan!!!!" seru Derren dan Davina yang langsung masuk ke kamar pengasuh mereka.

Kinanti berusaha membuka matanya, tetapi ia terlalu lelah dan juga lemah.

"Mbak Kinan sakit?" tanya Davina.

Kinanti hanya bisa mengangguk, sulit sekali bibirnya untuk berkata-kata.

"Davina, Derren!!!"

Seorang wanita juga menyusul kedua anaknya, Hanna Kakak sulung dari Adam. Tetapi ia juga melihat Kinanti yang terbaring di atas ranjang dengan tubuh menggigil.

"Kamu sakit?" tanya Hanna sambil menyusul kedua anaknya masuk kedalam kamar Kinanti.

"Bu, Kinan-"

"Kamu istirahat saja, biar Davina sama Derren sama saya dulu," ujar Hanna dengan cepat.

Hanna mengajak kedua anaknya untuk membiarkan Kinanti beristirahat, lalu membawanya menuju meja makan dan Hanna sendiri yang akan menyuapi kedua anaknya di pagi ini.

"Ayah Adam!!!"

Davina langsung duduk di kursi meja makan, begitu pula dengan Derren.

"Selamat pagi anak Ayah," Adam tersenyum pada kedua keponakan nya. Begitu juga dengan Renata yang duduk di samping Adam.

"Ayo mau sarapan pakai lauk apa?" tanya Hanna sambil mengisi piring dengan nasi goreng.

"Telor Ma," jawab Davina, sedangkan Derren juga mengangguk setuju.

"Tumben Kakak yang menyuapi Derren dan Davina?" tanya Adam bingung. Sebab itu adalah tugas Kinanti.

Hanna mulai menyuapi anak-anak dengan bergantian, setelah itu ia menatap Adam yang duduk saling berhadapan dengan nya.

"Kinan sakit Dam."

"Sakit?"

Adam sudah menduganya, karena tubuh Kinanti semalam kehujanan.

"Kamu kenapa sih?"

Renata merasa Adam sangat berlebihan, Kinanti hanya seorang pembantu. Lalu kenapa Adam harus peduli.

"Sayang, aku ini seorang dokter. Tolong mengerti."

"Kalau gitu kamu periksa, wajahnya pucat sekali," pinta Hanna.

"Sayang, apa harus kamu?" Renata sangat tidak suka, tetapi lagi-lagi Adam mengingatkan akan profesi nya sebagai seorang dokter.

Adam langsung menuju kamar Kinanti, bersama dengan Renata yang tidak ingin Adam dan Kinanti hanya berdua saja di dalam kamar.

Adam mulai memeriksa keadaan Kinanti, lalu meminta Mbok Sum untuk membuatkan bubur beserta segelas teh hangat.

"Kinan, ayo sarapan dulu," Mbok Sum membantu Kinanti untuk duduk, walaupun cukup kesulitan.

Tangan Adam sangat gatal sekali, ingin rasanya membantu Kinanti untuk duduk. Akan tetapi Renata terus memeluk lengannya, tatapan Renata yang dingin juga membuat Adam tidak memiliki keberanian.

"Apa kau tidak memiliki orang tua yang bisa di hubungi, mengingat kau sedang sakit," ujar Adam.

"Kamu apasih sayang, udahlah ayo keluar!" Renata langsung menarik Adam untuk keluar, menurutnya Adam sangat berlebihan.

"Sayang, Kinanti sedang sakit. Kenapa kau begitu," tolak Adam secara halus, sebab Adam masih ingin berada di kamar Kinanti.

"Apasih, peduli amat. Dia bukan siapa-siapa! Cuman pembantu!" papar Renata menekankan kata pembantu.

Kinanti hanya memejamkan mata, berusaha menelan bubur yang di suapi oleh Mbok Sum. Sambil menguatkan hati mendengar kata-kata Renata.

Andai saja Renata tahu apa yang sudah di lakukan Adam padanya, mungkin Renata tidak akan pernah mengeluarkan kalimat tersebut. Tetapi Kinanti tidak setega itu, hati wanita itu begitu baik seperti wajahnya yang sangat cantik.

Related Chapters

Latest Chapter