The orange sky is shining brightly out there. The Garlemald plain, north of Ilsabard, is one area with a large population. With a cornucopia of natural wealth, it is no wonder that this place became one of the founding places of the Garlean Empire. An empire that has been led by one clan for generations. Unfortunately, at this time, the Garlean Empire was in the midst of a conflict that could not be solved. The young Emperor, famous for being wise and intelligent, was also not capable enough to independently solve this problem.Emet Selch, the leader of the Garlean Empire, is now dealing with the problem. He was sitting on his throne when Lalafell named Tolol Oren came forward to him. He has a yellow crest and wears very eccentric clothes. But he has an adorable face and soft, plump cheeks."The guests have come, Your Majesty." Lalafell bowed before Emet Selch."Thank you, Tolol Oren."Emet Selch wakes up from his throne. He walked down the steps covered with a long red carpet, which
Mereka tiba di tempat pemotretan lebih cepat daripada saat Amya berangkat ke kantor. Bangunan semi minimalis modern tanpa banyak jendela. Bahkan Amya sempat meragukan jika ini tempat pemotretan yang tepat melihat tampilan luar gedung lebih mirip dengan kos-kosan murah di pinggiran kota. “Amya-ssi bisa tolong bawakan barang-barang di bagasi? Saya harus masuk lebih dulu,” ujar manajer Jaehyuk – yang namanya baru Amya ketahui setelah mendengarkan sesi perdebatan di dalam Van. Tentu saja Baekhyun berperan penting mengungkapkan nama pria itu.Amya mengangguk paham lalu bergegas menuju bagasi yang tak terkunci. Keheranannya saat memasuki Van yang cukup lengang terjawab sudah begitu mendapati bagasi nyaris penuh.“Ambil saja tas berwarna biru terang!” teriak Jaehyuk sebelum memasuki gedung.Hanya ada satu tas biru terang di sana. Amya memeluknya erat seolah tas itu adalah bayi rapuh dan ia harus menjaganya dengan hati-hati. Baru setelah ia masuk ke dalam bangunan, matanya tersihir oleh cahay
Semua hampir siap. Pekerjaan melelahkan telah mencekiknya beberapa hari lalu telah sampai di akhir. Kostum berhasil dirampungkan, stadion telah siap menampung ribuan orang, tiket telah terjual habis, yang tersisa tinggal perasaan mendebarkan menjelang konser. Padahal rasanya seperti baru kemarin saja ia direkrut langsung untuk menangani masalah sebelum konser. Waktu cepat sekali berlalu ketika diri larut dalam kesibukan. Kelelahannya patut mendapat bayaran besar. Apalagi kalau bukan beristirahat total. Sebuah hadiah untuk para staf maupun idol bersangkutan dalam rangka menjaga imunitas tubuh sebelum konser yang lebih melelahkan. Pantulan diri tengah menatap balik ke arahnya seakan tengah menilai seberapa pantaskah ia untuk kencan hari ini. Seberapa keras Amya memaksa, lelaki itu tetap bungkam dan malah menggodanya balik hingga membuat Amya kesal sendiri.“Bukan kejutan namanya kalau aku memberitahumu.” Sehun bersikukuh di seberang panggilan.“Setidaknya beritahu tempatnya, barangkali
When his consciousness was drawn back to reality, Tolol Oren gasped, his face flushed, and he realized he had fallen asleep in the pavilion near the fish pond.“Oh my god! What was I thinking?!” Tolol Oren slapped himself hard on the cheek. Hope it can divert the tickling sensation running through his body. Especially something that shouldn't have woken up down there. “Damn You! Tolol Oren!”The day was still sweltering to dream, and Tolol Oren found himself in the middle of a long dream about himself with the Great Garlean ruler. How immoral he was to dare to think such a despicable thing. His face was as hot as a grill, and his chest rumbled like an earthquake. If the sky is full of lightning, then it is complete."Shit! I'm thirsty for Emet!"Tolol Oren drowned in agony. He missed Emet Selch so much that he could always shake his feelings. Just looking at that white-haired man alone made Tolol Oren climb high. His sharp gaze and his words were always firm. Everything about Emet cou
"I’ll take care of this,” Eugene told the staff. “Thank you, Michelle. You must have had a hard time getting her here.”“Don’t worry about it!”Eugene laughed a little. “You’re so adorable when cheerful like this. I hope you always smile wide because it suits you very much.” Eugene stroked Michelle’s cheek. Eugene’s hand felt so soft when it touched Michelle’s cheek.“Can I open it now?”Michelle nodded enthusiastically.When the box was opened, Eugene couldn’t hide his surprise. Then, the release of one puddle of dog-shaped chocolate, white chocolate, makes it look similar to Bubu.“It looks like Bubu.” Eugene sparkled with pleasure. “Did you make it yourself?”“That’s right, I made it, especially for you, Oppa!”“Really? I’m so grateful to you. I didn’t want to eat the chocolate because it was so sweet.” Eugene switched on Michelle’s outfit. “Do you like Bubu so much? You even went so far as to wear a dress with a picture of Bubu.”“Em... But I like you more than Bubu.”Eugene laugh
“Apa kau tak punya kekasih?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja tanpa bisa ditahan. Bahkan Amya sendiri terkejut dengan tindakannya barusan. Pertanyaan semacam itu sangat sensitif untuk dikatakan meski mereka sudah lebih dekat ketimbang hanya rekan kerja biasa. Seperti teman dekat. Tetapi tetap saja Amya merasa tak pantas untuk menanyakannya, apalagi secara blak-blakan.Yamamoto pun tak kalah terkejut. Jemarinya berhenti menggerakan kursor. Dan jika diperhatikan lebih seksama, pupil matanya membesar. Cahaya layar monitor membuatnya lebih jelas ketika terpantul pada kedua bola matanya. Membuat lebih cokelat terang. Pria itu berdehem sekali sebelum menjawab.“Tak ada yang menyukaiku.”Amya tertawa kecil. Bukan meremehkan jawaban Yamamoto, melainkan menutupi salah tingkahnya sendiri. “Berhenti omong kosong. Mana mungkin tak ada yang menyukai orang sebaik kau.”“Baik saja belum cukup untuk membuat seseorang suka.” Yamamoto beralih dari layar ke arah Amya. Memberikan tatapan yang tak bisa
Wajah yang biasanya tersenyum hangat kini membatu tanpa ada ekspresi apa pun. Dia hanya menatap lurus jajaran awan yang terhampar luas. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, tetapi sorot matanya menggambarkan kesedihan mendalam.‘Kenapa harus aku yang ditugaskan sebagai Judge Of Fire?’Batinnya terkoyak setiap kali mengingat saat menghunuskan pedang kepada Haniel. Meski itu adalah tugasnya, tetapi dia sebenarnya tak ingin melakukan kekerasan pada siapa pun. Bukankah lebih mudah menjadi Scribe Of Heaven? Tidak perlu melakukan kekerasan, hidup dengan aman dan damai, benar-benar tugas yang sempurna bagi seorang Archangel.“Apa yang sedang kau pikirkan Uriel?”Uriel membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok pria berambut pirang keemasan nan panjang. Pria itu tersenyum lembut yang mana serta merta memancarkan cahaya surgawi. Senyuman itu pun turut menular pada Uriel. “Hay Michael."Michael mendekat ke arah Uriel dan berdiri tepat di sampingnya. “Apa yang membuatmu tertarik memandangi hamp
Diavolo menatap tepat ke mata Uriel, lalu tersenyum. “Aku percaya padamu.”Sekelebat ingatan mengenai obrolan mereka kembali muncul. “Apa maksudnya dengan percaya padaku? Apa dia memang mudah sekali percaya pada orang asing? Dan kenapa dia selalu tersenyum manis seperti itu?” Tepat setelah monolog itu terucap dari bibirnya, Uriel langsung menggelengkan kepala cepat-cepat. “Apa yang barusan ku katakan? Senyumannya manis? Yang benar saja.”Sosok Iblis berambut merah itu benar-benar jauh dari bayangannya yang terkesan kejam dan tidak berhati nurani. Ternyata Diavolo tak semenakutkan itu. Dan Uriel baru menyadari bahwa dia sangat penasaran dengan sosok Diavolo yang baru saja ditemuinya. Apakah iblis itu berbeda dengan iblis kebanyakan? Atau barangkali itu hanyalah topeng semata?“Sudah lah, jangan terlalu memikirkannya,” monolog Uriel. “Lebih baik aku istirahat saja hari ini.”Hari pertama dilalui Uriel dengan sarapan -tentu saja- yang ternyata dihidangkan langsung oleh koki kerajaan ke d