“Apa kau tak punya kekasih?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja tanpa bisa ditahan. Bahkan Amya sendiri terkejut dengan tindakannya barusan. Pertanyaan semacam itu sangat sensitif untuk dikatakan meski mereka sudah lebih dekat ketimbang hanya rekan kerja biasa. Seperti teman dekat. Tetapi tetap saja Amya merasa tak pantas untuk menanyakannya, apalagi secara blak-blakan.Yamamoto pun tak kalah terkejut. Jemarinya berhenti menggerakan kursor. Dan jika diperhatikan lebih seksama, pupil matanya membesar. Cahaya layar monitor membuatnya lebih jelas ketika terpantul pada kedua bola matanya. Membuat lebih cokelat terang. Pria itu berdehem sekali sebelum menjawab.“Tak ada yang menyukaiku.”Amya tertawa kecil. Bukan meremehkan jawaban Yamamoto, melainkan menutupi salah tingkahnya sendiri. “Berhenti omong kosong. Mana mungkin tak ada yang menyukai orang sebaik kau.”“Baik saja belum cukup untuk membuat seseorang suka.” Yamamoto beralih dari layar ke arah Amya. Memberikan tatapan yang tak bisa
Wajah yang biasanya tersenyum hangat kini membatu tanpa ada ekspresi apa pun. Dia hanya menatap lurus jajaran awan yang terhampar luas. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, tetapi sorot matanya menggambarkan kesedihan mendalam.‘Kenapa harus aku yang ditugaskan sebagai Judge Of Fire?’Batinnya terkoyak setiap kali mengingat saat menghunuskan pedang kepada Haniel. Meski itu adalah tugasnya, tetapi dia sebenarnya tak ingin melakukan kekerasan pada siapa pun. Bukankah lebih mudah menjadi Scribe Of Heaven? Tidak perlu melakukan kekerasan, hidup dengan aman dan damai, benar-benar tugas yang sempurna bagi seorang Archangel.“Apa yang sedang kau pikirkan Uriel?”Uriel membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok pria berambut pirang keemasan nan panjang. Pria itu tersenyum lembut yang mana serta merta memancarkan cahaya surgawi. Senyuman itu pun turut menular pada Uriel. “Hay Michael."Michael mendekat ke arah Uriel dan berdiri tepat di sampingnya. “Apa yang membuatmu tertarik memandangi hamp
Diavolo menatap tepat ke mata Uriel, lalu tersenyum. “Aku percaya padamu.”Sekelebat ingatan mengenai obrolan mereka kembali muncul. “Apa maksudnya dengan percaya padaku? Apa dia memang mudah sekali percaya pada orang asing? Dan kenapa dia selalu tersenyum manis seperti itu?” Tepat setelah monolog itu terucap dari bibirnya, Uriel langsung menggelengkan kepala cepat-cepat. “Apa yang barusan ku katakan? Senyumannya manis? Yang benar saja.”Sosok Iblis berambut merah itu benar-benar jauh dari bayangannya yang terkesan kejam dan tidak berhati nurani. Ternyata Diavolo tak semenakutkan itu. Dan Uriel baru menyadari bahwa dia sangat penasaran dengan sosok Diavolo yang baru saja ditemuinya. Apakah iblis itu berbeda dengan iblis kebanyakan? Atau barangkali itu hanyalah topeng semata?“Sudah lah, jangan terlalu memikirkannya,” monolog Uriel. “Lebih baik aku istirahat saja hari ini.”Hari pertama dilalui Uriel dengan sarapan -tentu saja- yang ternyata dihidangkan langsung oleh koki kerajaan ke d
Detik jarum jam memenuhi seisi ruangan. Eksistensinya lebih daripada sebuah pajangan semata, benda itu lah yang pertama kali membangunkan sosok yang sedari tadi terlelap di atas ranjang. Kelopak mata itu mulai terbuka, sedikit demi sedikit untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Dia tak bisa memperkirakan perpindahan waktu di sini, mengingat Devildom terletak di kerak bumi terdalam sehingga tak mendapat sinar matahari yang cukup.Tunggu, Devildom?Uriel memejamkan matanya lagi, berharap keberadaannya di sarang para Iblis adalah mimpi saja. Berharap jika ingatan mengenai hubungannya dengan Diavolo tidak benar-benar menjadi nyata. Dia pun mencoba bangkit dari ranjang, tetapi sekeras apa pun usahanya untuk berdiri, tubuhnya tetap menempel di atas ranjang. Seolah ada sesuatu yang menahannya. Lantas dia menurunkan pandangan ke tubuhnya sendiri. Betapa terkejutnya Uriel kala mendapati dia tak mengenakan apa pun, hanya tertutupi oleh selimut. Tetapi itu bukan satu-satunya hal mengejutk
“Apa yang baru saja terjadi? Apa yang ku lakukan? Bagaimana bisa aku melakukannya?”Setelah kejadian beberapa saat lalu, Uriel menghabiskan waktunya dengan duduk termenung di taman. Tentu saja dia memilih sudut yang sepi, tak ingin kehadirannya dirasakan oleh makhluk lain, terutama sang pemimpin Devildom. Meski sebenarnya itu hal mustahil. Makhluk sekuat Diavolo tentu bisa menangkap keberadaannya saat ini juga, tetapi Uriel tetap berusaha untuk menjaga jarak. Kejadian yang menimpanya terasa berlalu dengan cepat, bahkan untuk dia cerna. Seperti mimpi buruk dan indah yang bercampur menjadi satu. Benang merah baru saja dipintal menjadi pilinan yang lebih besar dan rumit. Bahkan untuk dipecahkan oleh seorang Malaikat sepertinya.Uriel mengelus bibirnya sendiri. Sensasi lembut dan panas masih dapat dia rasakan. Ciuman yang menuntut tapi juga memabukkan.“Sendiri saja?”“Astaga!”Lucifer tersenyum sampai matanya membentuk bulan sabit. “Apa yang membuat Malaikat tingkat tinggi sepertimu tak
Terbangun karena rasa pusing bukanlah cara paling benar untuk mengawali hari baru. Uriel mengerang sambil menekan kepala dengan kedua tangan. Tubuhnya terasa dingin dan lengket secara bersamaan, terutama pada tubuh bagian bawah. Ini disebabkan karena dia tidur dengan bertelanjang total, hanya selimut yang menutupinya tetapi tak cukup untuk menghalau udara dingin.‘Tumben sekali dingin, biasanya ruangan ini panas.’Kata panas mengingatkannya pada sederet kejadian luar biasa -jika dia boleh menilai dapat mencapai bintang 10/10- yang terasa seperti mimpi. Namun secara mengejutkan dia dapat merasakan sebuah benda tersemat pada jari manisnya. Seperti adegan dalam mimpi semalam.‘Oh, ini bukan mimpi...’Lalu sebuah suara menyapanya. “Oh hey, kau sudah bangun? Aku membuatkanmu sarapan.”Seketika itu pula Uriel langsung bersembunyi di bawah selimut. “Ja-jangan mendekat!”Diavolo mengernyitkan alis, tampak keheranan sejenak kemudian mulai menyadari arah pembicaraan. Dia tersenyum, membawa namp
Kicauan burung, angin yang berdesir, juga derap langkah kaki tergesa-gesa menuju panti asuhan. Dua pemuda berbeda warna rambut itu tampak tak bisa menunggu lebih lama dan langsung berteriak di depan pintu panti.“Ian! Ian!”“Tolong! Ada warga yang jatuh dari tangga!”“Lukanya parah! Cepat keluar!”“Hey, bukannya hanya memar saja?”“Kalau kita tidak berlebihan, Ian tak akan cepat keluar.”“Jangan mengarang, Tenma.”“Eh, Ian...” Tenma –si pemuda yang berlebihan tadi– terkesiap ketika mendapati sosok Ian sudah ada di depan mata. Pria berambut cokelat muda dan wajah dingin itu menatap kedua orang yang bertamu tiba-tiba.“Aku sedang memisahkan obat-obatan sewaktu kalian berlarian ke sini,” katanya sambil menyilangkan tangan di depan dada. “Jadi, kalian tak perlu berteriak kencang seperti tadi. Kalian hanya mengganggu kenyamanannya yang lain– Hey!”Perkataan Ian terputus saat pemuda lain yang berambut pirang menarik lengannya. “Nanti saja mengomelnya, ayo cepat!”“Astaga... baiklah-baiklah
Kuas terarsir mengikuti garis terdahulu. Warna merah muda memoles kanvas, membentuk sosok indah dengan rambut panjang yang melambai-lambai, seolah tertiup oleh angin. Sedangkan matanya yang separuh terpejam menggambarkan kesenduan di dalam sana. Gumpalan awan merah muda dan jingga terlukis di belakang, lalu di bawahnya sederet prajurit berarmor emas tampak berbaris rapi. Dengan senjata di tangan, mereka berdiri seperti benteng kuat dan akan menghalau siapa saja yang menyerang. Malaikat penjaga, para prajurit dari pusat Cosmo, prajurit Athena.Alone memandang karya lukis terbesar yang pernah dibuatnya. Tergantung indah pada dinding Katedral pusat kota. Katedral yang selalu dikunjunginya sebagai pelayanan terhadap warga juga jemaat.“Kemampuanmu melebihi gosip.”Lantas Alone menoleh ke sumber suara. Di mana seorang pria dewasa berambut pirang panjang sedang memandang lukisannya.Pria itu kembali melanjutkan. “Lukisan itu seperti dapat hidup kapan pun.”“Siapa Anda?” tanya Alone.“Biarka