Kicauan burung, angin yang berdesir, juga derap langkah kaki tergesa-gesa menuju panti asuhan. Dua pemuda berbeda warna rambut itu tampak tak bisa menunggu lebih lama dan langsung berteriak di depan pintu panti.“Ian! Ian!”“Tolong! Ada warga yang jatuh dari tangga!”“Lukanya parah! Cepat keluar!”“Hey, bukannya hanya memar saja?”“Kalau kita tidak berlebihan, Ian tak akan cepat keluar.”“Jangan mengarang, Tenma.”“Eh, Ian...” Tenma –si pemuda yang berlebihan tadi– terkesiap ketika mendapati sosok Ian sudah ada di depan mata. Pria berambut cokelat muda dan wajah dingin itu menatap kedua orang yang bertamu tiba-tiba.“Aku sedang memisahkan obat-obatan sewaktu kalian berlarian ke sini,” katanya sambil menyilangkan tangan di depan dada. “Jadi, kalian tak perlu berteriak kencang seperti tadi. Kalian hanya mengganggu kenyamanannya yang lain– Hey!”Perkataan Ian terputus saat pemuda lain yang berambut pirang menarik lengannya. “Nanti saja mengomelnya, ayo cepat!”“Astaga... baiklah-baiklah
Kuas terarsir mengikuti garis terdahulu. Warna merah muda memoles kanvas, membentuk sosok indah dengan rambut panjang yang melambai-lambai, seolah tertiup oleh angin. Sedangkan matanya yang separuh terpejam menggambarkan kesenduan di dalam sana. Gumpalan awan merah muda dan jingga terlukis di belakang, lalu di bawahnya sederet prajurit berarmor emas tampak berbaris rapi. Dengan senjata di tangan, mereka berdiri seperti benteng kuat dan akan menghalau siapa saja yang menyerang. Malaikat penjaga, para prajurit dari pusat Cosmo, prajurit Athena.Alone memandang karya lukis terbesar yang pernah dibuatnya. Tergantung indah pada dinding Katedral pusat kota. Katedral yang selalu dikunjunginya sebagai pelayanan terhadap warga juga jemaat.“Kemampuanmu melebihi gosip.”Lantas Alone menoleh ke sumber suara. Di mana seorang pria dewasa berambut pirang panjang sedang memandang lukisannya.Pria itu kembali melanjutkan. “Lukisan itu seperti dapat hidup kapan pun.”“Siapa Anda?” tanya Alone.“Biarka
Matahari berkilau terang sekali menggantung di langit. Musim panas tak main-main kali ini. Membangkitkan jiwa-jiwa penuh semangat yang tak berhenti untuk bergerak maju. Berbanding terbalik dengan seseorang yang duduk termenung di bawah pohon.“Hari ini tampak cerah bukan?” katanya dengan pandangan kosong. “Benar-benar cerah, tapi kenapa aku merasa kosong di sini. Seperti bukan diriku yang biasa. Aku merasa terlupakan sesaat. Seperti roda yang tiba-tiba berhenti, begitu juga dengan waktu yang berhenti berputar. Padahal Sandrok sedang aman tapi...”“Apa kau baik-baik saja, unsuur?”Yup, laki-laki itu adalah Unsuur. Sang kapten civil corp yang tak pernah sekalipun melupakan kewajibannya untuk membawa kedamaian di Sandrok. Kota kecil dengan penduduk yang saling mengenal satu sama lain.“Aku baik-baik saja, hanya saja...” Unsuur mengambil batu yang ada di dekatnya. “Aku merasa batu ini lebih berguna daripada keberadaanku.”“Jangan konyol!”Unsuur meringis. “Maaf, tak akan ku ulangi lagi.”
Pembangun menggeleng, hidungnya menggesek tengkuk Unsuur, membuat Unsuur merinding seketika. “Rasanya sangat bosan menari tanpamu.”“Lalu, kau mau bagaimana?”Pembangun terkekeh kecil. “Menarilah bersamaku~”“Tapi aku tak pandai menari.”Pembangun melepaskan pelukannya, menjadikan Unsuur menoleh ke belakang untuk meringankan rasa penasarannya. Kini pembangun berwajah masam, kecewa atas sikap Unsuur yang menolak ajakannya. Tetapi alih-alih merasa ketakutan, Unsuur justru mengulum senyum. ‘Dia sangat menggemaskan~’ Unsuur membatin.“Ayo lah... biarkan aku mengajarimu caranya menari~”“Tapi –”Sebelum Unsuur menolak, pembangun sudah menarik tangannya. Dan Unsuur hanya bisa pasrah ketika dibawa ke tengah-tengah lantai dansa. Pandangannya terfokus ke arah tautan tangan mereka. Jari-jemari lembut pembangun menggenggam tangannya. Melihat itu membuat Unsuur menjadi lumayan tenang. Mungkinkah ini kekuatan cinta?“Ikuti saja musiknya.”Unsuur menelengkan kepala ke musik berasal. Kini lagu berte
“Hey, it’s okay..” Unsuur berusaha menenangkan pembangun. Sekalipun perasaan getir menggaung dalam hatinya. Respon pembangun menjelaskan bahwa dia telah melupakan segala hal yang terjadi semalam setelah muntah. Begitu juga dengan ciuman singkat mereka.‘Memang apa yang aku harapkan? Dia hanya mabuk bukannya menanggapi dengan serius.’“Unsuur.”“Yeah...”Pembangun menunduk. Meski begitu, Unsuur dapat menemukan semburat rona yang menjalar dari wajah hingga telinga pembangun. Dia tengah bersemu. Tetapi keheningan ini membuat Unsuur merasa gelisah. Kalau-kalau pembangun malah mengingat hal yang tak mengenakan. Seperti...“Semalam, entah kenapa aku merasakan sesuatu yang lembut menempel di bibirku.”BADUM!“Kau yakin?”Pembangun mengedikkan bahu. “Entahlah... tak begitu yakin.”“Jika merasa tak enak, lebih baik lupakan saja.”“Tapi –”“Makanlah bubur itu, setelah itu akan ku antar kau pulang.”Dan Unsuur keluar dari kamar, meninggalkan pembangun di dalam kamarnya.‘Semestaku terhisap luban
Seorang gadis berambut Electric blue tengah berjalan menuju sebuah bangunan megah di ujung jalan. Hari masih terlalu pagi – matahari bahkan belum cukup menapaki kaki langit – sehingga hanya terlihat rinai kekuningan bercampur biru. Udara dingin berembus meniup helaian rambut Electric blue, membuatnya sedikit berantakan sehingga gadis itu harus beberapa kali merapikannya. Waktu telah berjalan sekitar seminggu sejak pertama kali dirinya menjejakkan kaki ke sekolah ini.“Pagi Nira-san!” sapa seorang pria berambut panjang menepuk pundaknya.Nira Naeve – si gadis berambut Electric blue – berjingkat karena terkejut. Dia langsung menundukkan wajahnya begitu mendapati siapa gerangan yang memanggilnya tadi.“Pagi Izayoi-san.”“Kamu berangkat sangat pagi yah, benar-benar anak yang rajin!”“Ti... tidak serajin itu kok.”Nira merapikan rambut panjangnya yang menjuntai, tetapi lumayan susah karena dia terus menerus menunduk sehingga helaian rambutnya kembali jatuh.“Eh, sebentar.”Nira membeku saa
“Dan.....?” desak Isafuyu.“Dan... tekun dalam berlatih.”“Dan....?”Nira mengernyitkan alis. Isafuyu terus meminta penjelasan meskipun dia telah menjawab seperti apa yang dia pikirkan. Tetapi, Nira tetap melakukan apa yang diminta Isafuyu meski dalam keadaan bingung.“Dan... pintar?”“Ah, ayolah! Apa kamu tak bisa berbicara dengan jujur?!”“Sssttt!!”Dan Isafuyu langsung mendapat hardikkan dari penjaga perpustakaan yang berada tak jauh dari mereka. Tak hanya itu saja, seluruh pasang mata pengunjung perpustakaan serentak menatap tajam ke arah mereka.“Jangan berisik Issa.” Nira mengingatkan.“Ugh...” Isafuyu menggigit bibirnya. “Kalau begitu, lebih baik kita pindah tempat saja!”Sebelum Nira melayangkan protes, Isafuyu sudah lebih dulu menarik tangannya, keluar dari perpustakaan. Wilayah sekolah masih tampak ramai oleh murid-murid yang sedang menghabiskan waktu istirahat dengan makan atau pun sekedar mengobrol. Tak banyak tempat yang masih sepi, sehingga Isafuyu memutar otaknya lebih
TAK! TAK! TAK!Ujung tajam pisau bergerak dengan cepat, memotong kentang di atas talenan kayu, membentuknya menjadi kecil memanjang. Suasana di dalam dapur terasa pekat akan keheningan. Tampak seorang gadis muda sedang menyibukkan diri dengan membuat hidangan lezat lainnya.“Apa semua sudah aman terkendali, Orion?” tanya seorang pria paruh baya dengan kumis putih di wajahnya. Dia adalah Butler yang bertugas mengawasi pekerjaan para Maid lain. Termasuk pada gadis yang tengah memotong-motong kentang tersebut.Orion – Maid muda – menatap tanpa ekspresi tertentu. “Makan siang akan siap sebentar lagi, Tuan Steve.”“Bagus lah kalau begitu.” Steve – si Butler – tersenyum. “Apakah ada yang perlu kau butuh kan lagi?”“Tidak ada, semua sudah aman terkendali.”“Tuan Arthur tak suka –”“Daun bawang, bukan?” Orion memotong ucapan Steve sebelum pria itu menyelesaikannya. “Dan tak ada daun bawang pada sebuah Poutine.”Steve membuka mulutnya, hendak menyangkal sebelum akhirnya dia menyadari satu hal.