Home / Romansa / Pembantu Rasa Nyonya / Bab 11. Aku Mau Punya Kakak
Bab 11. Aku Mau Punya Kakak

Hari minggu yang cerah.

Matahari pagi, menghangatkan badanku. 

Alhamdulillah ....

Kami, aku dan Amelia berkeliling di komplek perumahan. Berlari kecil saja. Taman yang rindang dan indah di kiri kanan. Suasana sepi, hanya sesekali saja kami bertemu Pak Satpam yang berpatroli keliling. Maklum, di hari minggu biasanya hari malas sedunia. Tuan Kusuma saja tadi belum ke luar kamar.

Sepanjang jalan, tidak henti-hentinya Amelia bercerita tentang teman-teman sekolahnya. Dia berlari ke sana sini tanpa arah, serasa jalan ini hanya miliknya saja. Sesekali dia tertawa terbahak-bahak, menceritakan kekonyolan temannya. 

Riang sekali dia. 

Anak ini sangat manis, semakin hari aku semakin sayang sama dia. Naluri keibuanku tersentuh ketika dia bersikap manja kepadaku. Kelihatan sekali selama ini dia kesepian.

"Istirahat dulu, ya. Tante capek!" teriakku. Aku mengatur napas yang ngos-ngosan.

"Capek, ya?! Faktor U, ya ...!" ledeknya sembari tertawa. "Di sana saja, Tante. Ada taman yang ada ayunannya. Deket, kok!" Dia menunjuk ke depan, ke arah areal yang rimbun penuh pepohonan tinggi. 

Kami istirahat di taman, udaranya sejuk sekali. Aku regangkan tangan dan kakiku. Rasa kaku terasa menghilang, lama tidak olah raga. Biasanya aku rutin menemani Wisnu jalan-jalan pagi. Kadang-kadang ikutan nge-dance ala kadarnya sambil melihat video NCT. "Hati-hati encok, Ma," kelakar Wisnu. Saat itu kami sangat bahagia.

"Tante, anak tante di mana sekarang. Apa dia tidak kangen?" Tiba-tiba dia bertanya tentang Wisnu. 

"Anak tante kuliah, Say. Ya kadang-kadang dia hubungi Tante. Kalau ngikutin kangen, ya gak bisa. Wisnu harus konsentrasi dengan cita-citanya." Sengaja aku cerita tentang Wisnu untuk memotivasi dia.

"Namanya Wisnu? Cowok? Dimana sekolahnya, Te?" tanyanya penasaran. 

"Iya, namanya Wisnu. Dia sekolah negeri di Malang, Arsitek."

"Cerita, dong. Aku pingin tahu Kak Wisnu, orangnya bagaimana," rajuknya. Tanganku digoyang-goyang menunjukkan ketidaksabarannya. 

Pikiranku melayang teringat dia. 

Seketika hatiku berdesir. 

Kangen. 

Tidak pernah kami berpisah lama semenjak dia kecil. Dulu, aku dan Mas Bram-Papanya Wisnu- selalu bersama.  Walaupun saat itu kami pasangan muda yang bekerja, Wisnu kami rawat sendiri. 

Untuk keseharian dia, aku langsung yang menangani. Karena kami tahu seorang anak tidak hanya membutuhkan makan dan minum, tetapi perkembangan karakter untuk bekal hidupnya nanti, juga sangat penting. Terbukti, sekarang Wisnu jadi anak kuat dan mandiri.

"Ayo, Tante. Cerita ..., " rengek Amel sekali lagi. Anak ini selain manja juga pemaksa. Aku tersenyum melihat tingkah polahnya.

"Dia anaknya pintar menggambar. Makanya dia tertarik sekolah di jurusan Arsitek. Alhamdulillah, diterima di negeri."

"Suka juga sama NCT, ya, Te?" cetus Amel, ternyata dia ingat percakapan kami tadi malam.

"Iya. Dia suka sekali NCT. Sampai dibela-belain belajar bahasa Korea, katanya supaya tahu arti lagunya. Ternyata, artinya bagus, bikin semangat. Tante sering dipaksa mendengarkan ceritanya!" Dengan antusiasnya aku bercerita. Terkekeh aku ingat masa-masa itu.

"Dia suka juga nge-dance. Laptopnya penuh video NCT!"

"Ada foto, Kak Wisnu?! Liat dong!"

"Ada!"

Aku keluarkan ponselku dari kantong celana. 

"Ini anak Tante," kataku sambil menunjukkan foto-foto Wisnu. Ada beberapa foto kami berdua ketika di rumah ataupun ketika jalan-jalan. Aku jelaskan momen di setiap foto. Tersenyum mengembang di wajahku teringat kala itu.

"Tante! Aku lihat ini!" teriak Amel, direbut ponsel ditanganku. Digerakkannya jari untuk diperbesar foto Wisnu. Terlihat foto kami berdua, duduk di atas motor dengan wajah tertawa lepas.

"Motornya bagus, ya. Amel tidak pernah naik motor. Tidak boleh sama Papi. Pasti asyik!" Dia memandangku dengan mata berbinar. 

Motor lawas Honda CB tahun 70-an yang dinaiki kami. Lawas sekali, aku saja belum lahir, he-he-he-he.

Motor itu milik kakeknya yang teronggok tidak terpakai di gudang. Wisnu suka sekali. Dia modifikasi mesin dan dipercantik dengan beberapa asesoris. Hasilnya luar biasa. Foto itu diambil ketika keluar pertama dari bengkel. Test drive, katanya.

"Anak Tante ini, sangat sayang dengan Tante," ucapku terdengar serak. Terasa berat dan sesak mengimpit dada ini. Mataku terasa kabur terhalang air mata yang mulai mengembun.

"Tante sedih. Maaf, ya," bisik Amel sambil memelukku.

"Malang itu deket, Tante. Kapan-kapan ke sana, yuk! Sekalian mau jalan-jalan. Amel bosan di rumah saja. Atau besok saja! Besok kan libur. Aku mau ajak, Papi!" teriaknya. 

Dia beranjak dari duduknya. Ditariknya tanganku untuk bergegas pulang ke rumah. 

***

Makan sudah aku siapkan. Makan pagi setengah siang. Biasa, kalau hari minggu jadwal makan tidak teratur. Tuan Kusuma dan Amelia sudah siap di meja makan. 

Aku sajikan jus pepaya yang ditambah perasan jeruk nipis sedikit, ini bagus untuk menetralisir lambung. Menu utama, ayam suwir bumbu serai, terong balado dan opor ayam sudah tersaji. 

"Rani, sekalian ikut makan saja. Kamu pasti sudah lapar!" pinta Tuan Kusuma, lebih terdengar perintah, sih. Aku tarik kursi dudukku. Kalau tidak dituruti bisa ngomel lagi dia.

"Ambilkan saya nasi, ayam dan terong. Kasih sedikit kuah opor!" ujarnya menyodorkan piringnya. 

"Aku juga, Tante!" sela Amelia.

Aku kerjakan perintah mereka. 

Kami makan bersama. Amelia bercerita tentang kegiatan kami tadi. Bahkan, dia bercerita tentang Wisnu dengan antusiasnya.

"Pi ..., ayok kita ke Malang. Amel mau jalan-jalan. Bosan di rumah. Apalagi besuk libur tanggal merah. Boleh, ya, Pi?" rajuknya kepada Papinya.

"Iya, boleh," sahut Tuan Kusuma langsung mengiyakan. Dari ekspresi wajahnya, sepertinya dia tidak terlalu paham dengan permintaan Amel. Asal menjawab saja. 

"Asyik ...!" teriak Amel menyambut jawaban Papinya.

Benar, dia tidak sadar dengan apa yang dijawabnya tadi. Dia konsentrasi dengan ponsel ditangannya.

"Pi, boleh enggak minta sesuatu?!" Amelia memandang Papinya dengan serius. 

"Aku mau punya kakak!" katanya serius.

Tuan Kusuma terhenyak, ditaruhnya ponsel dan menatap balik putrinya. Sesaat terdiam dan kemudian dia tertawa terbahak-bahak.

"Amelia, Sayang. Kalau minta jangan aneh-aneh. Memang ada yang jualan 'kakak'?!" ucapnya sambil masih tertawa. Amel merengut melihat tanggapan Papinya itu.

"Papi, kok ketawa, sih! Amel pingin punya saudara kayak teman-teman Amel!" katanya marah.

"Aku mau Kak Wisnu jadi kakakku!"  teriakan Amel mengagetkanku. 

Aku tersedak kaget.

Tawa Tuan Kusuma langsung berhenti. 

Kami saling tatap tidak mengerti apa yang ada di pikiran Amelia.

***

Related Chapters

Latest Chapter