Aku dulu termasuk anak tomboy. Temanku kebanyakan laki-laki, termasuk si Sapto ini.Ketika SMP dulu, dia termasuk idola di sekolah. Dia pintar, tidak nakal, penampilannya bersih, dan tinggi. Yang membuatnya semakin populer, dia itu ketua OSIS.Sebenarnya, dia saingan terberatku dalam memperebutkan juara satu dan dua. Namun, karena dia nyambung kalau diajak bicara, jadinya kami berteman. Apalagi, kami sering dipasangkan untuk mengikuti lomba akademik mewakili sekolah.Namun semenjak dia menyelipkan surat cinta, aku berusaha menjaga jarak. Aneh aja kalau pacaran sama laki-laki bercelana pendek. Tidak ada minat. Sekarang, penasaran sih, bagaimana sosok teman SMP ku ini.“Ma, sudah sampai. Kita langsung masuk halaman kantor desa?” seru Wisnu menyadarkan aku dari lamunan masa remaja.“Paklik, gimana? Parkir di dalam? Kalau bisa di tempat yang agak tersembunyi.” Aku melempar pertanyaan kepada Paklik Totok yang duduk di depan.Sebenarnya aku merasa kurang nyaman diantar Wisnu menggunakan mob
Menghadapi teman lama yang dahulu pernah menaruh hati, harus ekstra menjaga sikap. Jangan terlihat terlalu menjaga jarak, yang bisa jadi menimbulkan kesan sombong. Namun, juga kesan seperti memberikan harapan, apalagi dengan status yang aku perkirakan dia seorang duda. Percakapan santai kami, akhirnya dilanjutkan ke gedung pertemuan yang sudah mulai didatangi para pelaku pengrajin. Tidak banyak yang hadir dibandingkan jumlah data yang tadi dia sodornya. “Sebenarnya ini bukan karena mereka tidak ingin maju, tetapi mereka enggan dengan pertemuan seperti ini.” “Kenapa?” “Mereka seperti mulai kehilangan harapan. Karena pertemuan seperti ini sering dilakukan tapi tidak ada ujung kejelasannya.” “Memang sering dilakukan seperti ini?” “Sering kalau dari pusat ada program. Ya aku tidak bisa menyalahkan mereka, sih. Karena pertemuan dari dinas hanya sekadar seperti ceramah saja tanpa bukti nyata. Yah, paling banter dari pusat mengucurkan bantuan cicilan ringan, kemudian mengadakan kunjunga
“Apa karena aku? Kamu tidak nyaman dan menghindar seperti dulu? Sikapmu sama seperti saat aku menyelipkan surat itu?”Pertanyaannya menunjukkan apa yang terjadi pada kami dulu masih lekat di ingatan. Bisa jadi yang dulu itu bukan sekedar cinta monyet, apalagi saat aku kuliah dia sempat mencariku. Itu yang dia sampaikan sekilas. Dia juga menceritakan penyesalan kenapa dia tidak berupaya lebih untuk menemuiku.“Ah, itu masa lalu. Maaf, ya. Aku hanya mengungkapkan yang aku rasakan. Sesuatu yang tidak sempat tersampaikan dan diperjuangkan,” ungkapnya sambil merapikan berkas yang dia tunjukkan tentang data pengrajin.Untung saja, percakapan ini tidak dilanjutkan setelah kedatangan Wisnu yang tadi menemani Paklik Totok. Dia mengalihkan pembicaraaan teknis kunjungan bersama Wisnu. Aankku itu terlihat antusias, apalagi dia sebagai calon arsitek yang juga menyukai pekerjaan kreatif ini. Aku yakin, perbincanganku selama ini dengannya, dan seringnya dia mengobrol dengan Mas Suma menjadi amunisi
Di layar ponsel, terlihat wajah Mas Suma yang memberiku tatapan menyelidik. Aroma kecurigaan menguar dari sorot matanya. Kalau sudah seperti ini, aku tidak bisa menyembunyikan apapun darinya.“Tadi di sana aku juga bertemu teman SMP. Kebetulan dia yang bertanggung jawab pada pengusaha kecil di kampung,” jelasku, tetapi tidak merubah ekspresinya yang masih kaku.“Lalu?” ucapnya dengan masih terdengar nada datar.“Pertemuan tadi, aku hanya sharing pengalaman saja sama para pengrajin. Didampingi Wisnu, kok. Karena nantinya saat operasional, Wisnu yang terjun langsung. Termasuk kunjungan ke tempat-tempat pengrajin.”“Bersama teman SMPmu itu?”“Iya. Dia kan yang memang menangani itu. Hanya, aku tidak ikut berkeliling. Wisnu yang mewakili aku nantinya.”“Kenapa?”Aku membalas tatapan Mas Suma. Masih dengan sorot yang menandakan kecurigaan, dahinya pun masih berkerut.“Mas Suma cemburu?” ucapku berganti melempar pertanyaan, sambil menampilkan senyuman.Wajahnya yang tidak dihiasai senyuman,
Rasa terkejutku belum mereda, sudah ada pesan yang masuk kembali. Secepatnya aku membuka pesan yang masuk, mungkin pesan lanjutan dari pengirim gelap itu. Ternyata pesan dari Mas Suma.[Ran, aku tidak bisa ke sana. Ada meeting penting dari penanam modal.][I Love You]Seketika otakku bergulir liar. Satu persatu peristiwa tergabung dengan penghubung sebab akibat. Pengalaman buruk saat perkawinanku yang pertama dengan Mas Bram, mencuat kembali. Dia pun dulu memberikan alasan yang sama, meeting bersama penanam modal.Kepercayaan penuh yang aku berikan kepada Mas Bram, justru berakhir dengan meeting yang menyebabkan si penanam modal berbadan dua. Yang gilanya lagi, aku baru mengetahuinya setelah mereka sudah menikah siri dan dikaruniai anak dua.Aku tidak mau menjadi wanita bodoh lagi seperti dulu. Laki-laki walaupun bersikap manis, tetapi bisa jadi di belakang berbuat yang tidak kita pikirkan. Begitu juga Mas Bram dulu. Sikap manisnya tidak berubah sama sekali, bahkan Wisnu pun tidak mer
Kepala ini terasa berat. Aku berusaha membuka mata dan mengingat apa yang terjadi.“Tuan! Tuan Kusuma sudah sadar?” ucap supir perusahaan langsung menghampiriku.Aku mengerjapkan mata dan berusaha mendudukkan diri. Pandangan aku edarkan ke sekeliling. Ini seperti di kamar. Iya, terakhir aku melakukan pertemuan dengan penanam modal. Apakah ini masih di hotel?“Tuan Kusuma pingsan. Tapi dari pihak hotel memberitahu saya di bawah. Saya juga bertemu dengan tamunya Tuan Kusuma,” jelasnya dengan masih menunjukkan wajah kawatir.Aku menyingkap selimut, berniat akan turun dari ranjang. Betapa terkejutnya aku melihat baju yang aku kenakan berantakan. Ikat pinggang terbuka dan kancing kemejapun terlepas.“Kok saya begini?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Aku tidak mengerti, kenapa aku sampai pingsan?“Ta-tadi ada dokter yang memeriksa Tuan Kusuma. Bapak-bapak tadi memanggilnya untuk memeriksa keadaan Tuan. A-apa ada yang hilang, Tuan? Dompet atau handphone?” tanyanya dengan menunjukkan wajah
“Ran, kamu pasti terkejut dengan kedatanganku, kan? Kangen, ya?”Mas Suma menunjukkan senyuman, dan melakukan gerakan yang akan meraih pinggang ini. Aku segera menjauh dengan menutup gerbang, mengelak pada kebiasaan dia yang mencium kening ini.Huuft!Seberapa kuat aku mencoba menerima, tapi membayangkan dia sudah menyentuh wanita lain….“Masuk, Mas. Pasti belum makan pagi, kan?” ucapku kemudian melangkahkan kaki mendahuluinya.Sekilas aku melihat tatapan keheranan. Sesekali aku mengembuskan napas, tidak memedulikaan apa yang dia pikirkan. Toh, aku tidak mencecarnya dengan pertanyaan apapun. Aku hanya minta waktu untuk berusaha menerima bahwa suamiku tidak lebih seperti lelaki di luar sana.Aku menyibukkan diri dengan menyiapkan makanan untuknya. Ini lebih baik daripada berhadapan dengannya, dan membuat hati ini semakin sakit.Masih jelas diingatan. Setiap detail foto aku amati tadi malam, untuk meyakinkan itu adalah Mas Suma. Berkali-kali aku zoom untuk mencari celah kalau itu foto
Tubuh ini luruh ke lantai. Tak kuasa menahan sesak di dada, dan air mata pun berderai. Aku bagaikan daun kering yang tanpa tenaga dan hanya bisa terkulai. Tidak kuhiraukan gedoran pintu dan panggilan dari Mas Suma. Niatku untuk memendam rasa sakit seperti wanita kuat di luar sana, gagal. Saat dia menyentuhku, di dalam kepala ini seperti berputar film kebersamaan dia dengan wanita itu. Diri ini tidak kuat membayangkan mereka saling berpagut, dan berbagi peluh di dalam lautan gairah. Sungguh, aku menyerah dan kembali pada ketidakrelaan. Perlahan aku membuka pintu kamar mandi. Mengedarkan kesekeliling dan tidak aku dapati sosok suamiku. Mungkin dia sudah lelah, atau sudah bosan menghadapi wanita tua sepertiku. Toh, yang masih muda siap sedia melebarkan tangan dan kaki untuknya.\ “Ran, kamu kenapa, sih?!” suara Mas Suma setelah pintu kamar terbuka. Aku menoleh sekilas dan kembali membuang pandangan ke arah lain. Tidak kupedulikan raut wajahnya yang mengetat. Biarlah dia semarah-marahn