Ingat siapa Chaterine, kan? Ada di Bab 118. Terima kasih
Sesaat kami saling pandang dengan menajamkan mata. Kami seperti dua kucing betina yang siap menerkam untuk menunjukkan ketajaman cakar yang mulai gatal.Wajahnya yang putih mulai mengeras. Kedua alis matanya pun mulai bertaut. Namun, aku sambut dengan senyuman dan kedipan mata.Bukankah ini perlawanan yang elegan? Membuat lawan menyerah pada kekesalan, hanya dengan senyuman?“Bu Rani.”Suara pelan Claudia mengingatkan aku pada permintaannya tadi. Ada nada kekawatiran di sana. Pasti dia takut kami berakhir dengan saling menjambak rambut dan membuat berantakan tempatnya yang tenang ini.Seketika tercetus ide, aku mengurungkan niat untuk menangguhkan perawatan berikutnya. Menghadapi Catherine tidak cukup dengan menegangkan otak, tetapi harus dengan kehalusan juga. Terutama untuk mengikat lebih erat suamiku dan mematahkan pikirannya kalau suamiku sudah bosan denganku. Aku harus memanfaatkan nama Mas Suma untuk membuatnya menyerah.Bukankah itu yang menjadi incarannya, sampai dia bersikap
Anggap saja dia burung gagak yang mengganggu. Aku, si elang tidak akan menghiraukan patukannya. Lebih baik aku melesat terbang tinggi dan si gagak akan luruh dengan sendirinya. Untuk apa terpusat dengan gangguan, hanya membuat rusak hari saja. Lebih baik aku menikmati sisa hari ini dan menyambut waktu untuk bahagia. Dalam hati sebenarnya aku menaruh iba kepada Catherine. Dengan apa yang dia miliki, dia tidak bisa bersyukur dan menikmatinya. Justru dia terfokus pada hal yang bukan haknya. Bukankah itu namanya merugi? Penampilannya luar biasa, kecantikan dan badan di atas rata-rata, bahkan materi pendukungpun ada. Trus, kenapa dia masih merasa kurang? “Ini tahapan yang paling akhir, kan?” tanyaku kepada Claudia. “Iya. Tinggal relaxasi saja. Bagaimana? Sudah merasa segar, kan?” Aku mengacungkan jempol tanganku sambil tersenyum puas. Badanku terasa segar dan relax. Aroma harum shea butter pilihanku menguar lembut dari tubuh ini. Kulitku pun terasa halus dan kenyal. Senyum ini terci
Aku dan Mas Suma saling perpandangan dengan kening berkerut mendapati reaksi Catherine. Masih ingat apa yang diucapkan saat tadi bertemu denganku dan aku bertanya kabar. “Keadaanku semakin baik. Apalagi aku sekarang sudah bebas!” ucapnya dengan tersenyum, bahkan dia merentangkan kedua tangannya seakan mensyukuri keadaannya. Namun, kenapa sekarang reaksinya berbanding terbalik? Belum sepenuhnya kami mengerti yang dia maksud, wanita ini semakin tergugu dengan tangisannya. Kemudian merangkul Mas Suma dan menenggelamkan kepalanya di pelukan suamiku. Kedua tangan Mas Suma terentang dengan wajah kebingungan. Jangan ditanya bagaimana reaksiku? Wajah ini semakin berkerut dengan menyorotkan tatapan kesal ke arah mereka. Memang bukan salah Mas Suma, tapi dia kan bisa berkelit ala Jackie Chan? Bisa kan dia berkelit, pasang kuda-kuda, atau berlari menghindari pelukan wanita yang sudah mematik amarahku ini? “Papa, Mas Suma….” Ucapnya kemudian terhenti karena tangisan yang semakin keras. Bebe
Mobil yang membawa kami membelah jalanan yang mulai ditinggalkan surya, terganti dengan sinar temaram dari lampu jalanan. Langit yang gelap pun semakin indah dihiasi gemerlap bintang dan sang dewi yang menunjukkan bentuk bulat penuhnya. Ya, bulan purnama mulai muncul malu-malu di sela bayangan pohon di tepian. “Kita masuk ke sini. Tempatnya keren,” seru Mas Suma, kemudian memutar setir ke kiri. Seperti dipaksa masuk ke atmosfer yang ditawarkan, kanan kiri jalan yang dipagari pohon cemara berjajar hanya disinari lampu sorot yang terpancar dari tanah. Sinar yang menghidupkan pepohonan seakan mengucapkan selamat datang. Udara sejuk menyeruak masuk seiring kaca mobil yang terbuka pelan. Bahkan, pendengaran ini menangkap lamat-lamat debur ombak yang menerbitkan senyumanku seketika. Dalam kepalaku sudah terbayang, tempat makan malam bagaimana pilihannya. “Kamu suka?” ucap Mas Suma sesaat setelah membukakan pintu untukku. Tangannya terulur dan kusambut dengan senyuman. Rasa hangat menjal
Perbincangan kami malam itu masih terngiang. Suamiku seakan menumpahkan semua rasa tentang perjalanan kisah kami. Memang, tak jarang terpatik rasa cemburu dan kesal, karena kesalah pahaman. Namun, secara keseluruhan Mas Suma mendapatkan kedamaian dan ketenangan di dalam pernikahan kami.Ini sungguh membanggakan dan membahagiakan bagiku sebagai istri. Menunjukkan kalau kami mendapatkan pilihan yang tertepat dari-Nya di kesempatan kedua ini.“Menikah itu tujuannya tidak cukup untuk bertujuan menyatukan cinta, namun untuk ketenangan dan kedamaian. Menikah tidak cukup memiliki rumah dalam bentuk bangunan, tapi untuk membangun rumah dalam wujud keluarga. Yah, home not house.”“Jadi saat kita pulang ke rumah, maksudnya rumah adalah keluarga?” timpalku saat itu menarik kesimpulan.“Betul banget. Dan rumahku adalah kamu. Sepenat-penatnya aku di kantor, saat pulang aku merasa semua menguap begitu saja. Begitu juga saat aku meninggalkan rumah, tidak ada kekawatiran karena ada kamu. Ini aku rasa
Rumah sekarang sudah normal kembali. Kepulangan anak-anak dari kampung menambah hidup rumah ini. Setiap pagi, mulai disibukkan dengan tingkah lucu Danish dan Anind, juga kesibukan Amelia. Sedangkan Wisnu kembali ke kampus untuk mengurus acara wisuda.Suasana di meja makan kembali normal. Aku menyiapkan makan pagi Amelia dan Mas Suma. Sesuai permintaan kemarin, mereka minta sarapan nasi uduk dengan lauk ayam lengkuas.Dari dapur aku mendengar mereka berbicara serius, suatu hal yang jarang aku temui. Amelia menunjukkan raut wajah tidak terima, sedangkan Mas Suma berbincang seakan menyakinkan sesuatu. Dari dapur, aku mencoba menajamkan telinga. Namun, suara mereka yang seperti sengaja dipelankan membuatku tidak bisa menangkap apapun.Entah, apa yang mereka bicarakan.Aku bergegas menyelesaikan menyiapkan makanan dan langsung membawa bergabung dengan mereka. Siapa tahu mereka menungguku untuk membicarakan masalah yang terlihat serius itu.“Pesanan nasi uduk datang! Ayo kita makan dulu!”A
“Kak Amel kenapa dari pagi diam saja? Ada masalah?’ tanyaku yang mendapati anak tiriku ini terdiam sambil melihat jendela mobil.Sikap tak biasa sedari tadi pagi berbuntut sampai sekarang. Dia biasanya kalau berdua denganku tidak henti bercerita, sekarang tidak ada terucap sepatah katapun. Wajahnya pun tidak menunjukkan keceriaan, justru terlihat tidak semangat dan seakan menyimpan beban.Kami dalam perjalanan ke sekolah Amelia, kemudian baru ke gallery. Aku ubah jalur, supaya ada waktu lebih lama bersamanya. Ini waktunya aku mengorek keterangan darinya.Dia menatapku sejenak, kemudian menggelengkan kepala. Sikap yang bukan kebiasaan Amelia yang cerewet.“Kak Amel, sakit?”Dia kembali menggeleng, kemudian menunduk sambil memainkan kuku-kuku jemari.Aku memberikan tatapan menyelidik, ada kesedihan sekaligus keraguan yang aku tangkap dari sorot matanya. Pasti ada yang tidak beres.“Kak, cerita sama Mama. Ada apa?” tanyaku sambil menangkup tangannya.Kemudian dia menatapku dengan ragu, d
“Ma, Amel penasaran saja. Pelajaran di sekolah bilang, kasih seorang ibu kepada anaknya tidak terbatas. Tapi, Amel tidak pernah merasakan itu. Apa karena terpisah sehingga Amel tidak mendapatkan cinta seperti di buku-buku itu?”Hati ini langsung terketuk dengan ungkapan polosnya. Di usianya yang sudah remaja, tergulir pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Rasa penasaran tidak menyurutkan keinginannya untuk mengetahui yang sebenarnya.“Kalau yang dikatakan peribahasa yang harus Amel hapal di sekolah itu benar, seharusnya Mami Dewi membawa Amel, bukan malah meninggalkan Amel bersama Papi dan Eyang. Iya kan, Ma?”Aku mengangguk sambil berpikir kata-kata yang tertepat untuk menjelaskan kepada Amelia. Ungkapan kritis dari anak seusianya, tidak akan terbungkam sampai mendapatkan jawaban yang masuk akal. Pasti ini menjadi masalah buat suamiku, dan berakhir dengn bentakan dan larangan. “Sayang, ada banyak alasan kenapa Papi dan Mami berpisah. Tetapi yang harus kamu ingat, kasih sa