POV MaharaniSemoga keputusan ini tidak salah.Ini berbeda saat kami mengundang keluarga Mas Bram ke rumah ini saat Wisnu ulang tahun. Aku bisa menjelaskan siapa dan bagaimana Mas mantan suamiku itu kepada Mas Suma. Dia memang bertindak salah dengan berselingkuh yang menyebabkan kami bercerai. Namun, aku bisa menjamin kalau dia tidak mungkin berbuat tidak baik apalagi menyangkut Wisnu anaknya.Sedangkan sekarang, Mas Suma tidak tahu sama sekali tentang Dewi, mantan istrinya. Aku tanya bagaimana sosok Dewi sebenarnya, hanya jawaban tidak tahu yang aku dengar dan gelengan kepala.Apalagi saat aku menunjukkan menu yang akan aku sajikan. Aku hanya ingin memastikan kalau Dewi tidak alergi dengan bahan makanan seperti seafood atau semacamnya.“Mana aku tahu dia tidak makan apa? Dulu semua kebutuhan kami diurus pelayan semua. Makanan, pakaian, dan semua kebutuhan pribadi.”“Tapi Mas Suma kan pernah makan bersama. Pasti memperhatikan dia, kan,” tanyaku mendesak dia supaya ingat bagaimana du
Ada yang bilang, kalau seseorang mengucapkan kata-kata tidak tepat tentangmu, jangan ambil hati. Namun, ambil batu terus lemparkan tepat ke wajahnya. Ungkapan sadis yang membuatku tertawa dan melupakan sakit hati ini. Namun ini ada benarnya. Bukan dalam arti sebenarnya, ya. Itu bisa dikenakan pasal tindak pidana. Artinya, dari pada kita memendam rasa sakit hati, lebih baik mengungkapkan kalau apa yang dikatakan itu tidak kamu sukai. Kadang kala, orang yang berucap itu tidak sadar kalau sudah menyakiti hati orang lain. Iya, kan? Ini yang akan aku praktekkan kalau bertemu Dewi nanti. *** Pertemuan tertinggal dua hari lagi. Mas Suma melarangku terlalu sibuk menyiapkan ini dan itu, terlebih memasak. “Lebih baik panggil orang catering atau restoran untuk menyiapkan makanan. Sekalian suruh kirim waiter atau waitress untuk menyiapkan segalanya,” pinta Mas Suma tadi malam. “Tapi, Mas. Kalau kita menyiapkan semua sendiri. Itu perwujudan kita menghargai mereka,” ucapku bersikukuh. Ini
“Bagiku persahabatan bukan sekadar bayangan, yang hadir saat ada sinar saja. Justru dalam keadaan gelap, kehadiran sahabat itu dibutuhkan. Aku ingin kamu mengingatku sebagai itu.”Prasetyo yang sekarang aku panggil Pak Tiok, yang mengajarkan aku pada ketulusan cinta sekaligus arti persahabatan.Cinta yang tertulis namaku, tidak disematkan pada wujud keegoisan dengan memaksa untuk memiliki. Dia bahkan mampu merubah dalam indahnya persahabatan.“Aku ingin selalu di sampingmu, apapun wujud hubungan kita. Dan, aku memilih untuk menjadi sahabatmu yang lega saat kamu bahagia.” Itu yang dia katakan saat aku masih memanggilkan dengan sebutan Mas TiokDengan izin Mas Suma, kami tetap menjalin persahabatan bahkan suamiku juga memposisikannya teman berkeluh kesah. Pembawaannya yang tulus, sejalan, dan berterus terang, menjadikan Pak Tiok orang kepercayaan Mas Suma.Sebagai sahabat, aku pun ingin berjalan dan sukses bersamanya. Oleh karena itu, walaupun dia membantu pekerjaanku, tapi aku tidak me
Laki-laki menyunggar rambutnya ke belakang. Cara duduknya menyiratkan kegelisahannya.Aku tidak pernah mendapati seorang Prasetyo bersikap seperti ini. Hilang, dia yang biasanya optimis dan bersemangat. Kedua kakinya yang panjang menopang kedua tangannya yang terkulai dengan kepala menunduk lunglai. Kepalanya dibebat dengan noda darah di bagian dahi.“Tiok, gimana cerita kok sampai begini?” Mas Suma yang mendahuluiku langsung menghampirinya. Seperti tanaman layu yang mendapatkan air, dia langsung mendongakkan wajah dengan mata penuh harap.Aku menepuk pungung suamiku, dan diapun duduk di sampingnya. Begitu juga aku yang0 mengekori Mas Suma.“Aku tidak membayangkan kalau mantan suaminya sebrutal dan senekad ini,” ucapnya mengawali rentetan peristiwa yang menimpa keduanya.Pertemuan yang direncanakan siang tadi gagal karena Kalila mengambil perceraian di pengacara. Karenanya, Pak Tiok menghampirinya sekaligus merencanakan makan malam. Ternyata, mantan suaminya menguntit sejak Kalila ber
Kehilangan kebahagiaan yang kita impikan, sering kali merujuk pada kebahagiaan yang tertepat. Yakin dengan apa yang ditetapkan dan berdamai dengan takdir adalah kuncinya.Begitu juga dengan pasangan baru ini, Prasetyo dan Kalila. Walaupun disertai dengan peristiwa tragis, tapi berujung kepada kebahagiaan.Pagi ini, dia meminta izin untuk tidak menyertai foto shooting produk baru yang sudah direncanakan di gallery. Juga, dia meminta izin kepada Mas Suma atas nama Kalila. Kabar bahagianya lagi, dia memberi tahu kalau orang tua Kalila memberikan lampu hijau untuknya.“Ini berkat aku, Bro. Mana ada calon mertua yang menerima laki-laki gondrong kayak kamu,” seru Mas Suma membanggakan dirinya. Dia menunjukkan tawa di layar ponsel. Wajahnya sudah menyiratkan kelegaan dan kebahagiaan. Aku merasa ikut senang dengan berita ini.“Thank you, Pak Suma. Aku baru menyadari kalau mengajukan diri jadi calon menantu membutuhkan koneksi dan referensi dari bos,” ucapnya berkelakar.“Pokoknya, aku tunggu
Mas Suma tertawa terbahak-bahak saat aku menceritakan kejadian tadi di gallery. Begitu juga Amelia. Aku yang akan menceritakan detail peristiwanya, terpaksa mengatup kembali, memberikan jeda mereka untuk meredakan tawa.“Trus hasilnya bagaimana?” tanya suamiku setelah tawanya mereda. Walaupun tangannya masih menangkup perutnya yang terlihat kaku.“Ya… sebelas duabelas sama Zaha Hadid lah. Cuma Mami lebih berumur sedikit,” jawabku kemudian membuka lap top. Aku ingin menunjukkan hasil foto yang menurutku lumayan unik.Aku masih teringat jelas, bagaimana hebohnya tadi. Semua orang sibuk menuruti apa kemauan Nyonya Besar, termasuk pengawal yang mengambil dan mengeluarkan isi koper dari mobil.“Di mobil aku selalu bawa perlengkapan ini. Jadi setiap ada acara mendadak, Mami sudah siap,” ucapnya sambil menunjuk ini dan itu. Koper yang berisi baju, selendang, dan perlengkapan mewah lainnya. Semua terlihat gemerlap yang menunjukkan kelas Nyonya Besar itu bagaimana.Anita-asisten Nyonya Besar-
Setelah perbincangan tentang undangan wisuda itu, aku berusaha menghindar untuk berdua dengan Mas Suma. Diri ini masih enggan bersitegang karena sesuatu yang di luar kuasaku. Tenaga dan pikiranku belum cukup untuk mengendalikan emosi. Aku memilih menyibukkan diri dengan Amelia dan Wisnu untuk membicarakan acara hari besuk.“Pokoknya Kak Wisnu menemani Andrew, ya. Amelia belum kenal sama anak itu. Apalagi cowok, Amel malas, ah.”“Mana boleh sama saudara malas,” celetuk Wisnu.“Ya, pokoknya Kak Wisnu nemenin Amel. Ya?” pinta Amelia sambil menunjukkan wajah memohon. Wisnu tertawa sambil mengacak rambut Amelia, sambil mengangguk mengiyakan permintaan adiknya itu.“Trus Mami Dewi sama Mama?”“Mama Cuma nemenin Mami Dewi sebentar. Setelah itu, Mami Dewi dengan Amelia. Kan memang tujuannya untuk bertemu Amel, kan?” Aku tersenyum kepadanya. Sorot matanya menunjukkan keraguan. Entah itu apa.“Udah jangan nervous. Jalanin aja hari besuk dengan santai. Memang kalau belum dijalani rasanya gimana
Menghanyutkan dia dengan sentuhan, sama saja menyerahkan diri untuk menyelesaikan sesuatu yang diawali. Berserah diri dan menautkan rasa dengan gairah yang mulai menghangatkan ruangan. Berselancar bersama di samudra indahnya cinta.Usahaku itu hanya membungkamnya untuk tadi malam saja. Pagi hari setelah membersihkan diri, aku sudah ditodong pertanyaan senada kembali. Tanganku yang sudah memegang pengering rambut, aku letakkan kembali.“Mas Suma masih merasa ada yang mengganjal?”“Iya, Ran. Apalagi saat nanti aku ada di luar negeri. Aku teringat cerita di film.” Dia menarik tangan ini untuk duduk mensejajarinya di tepian ranjang. Kekawatir terlihat jelas pada wajah yang dibingkai rambut yang masih lembab.“Film?” Aku tersenyum. Mana ada cerita film yang mirip dengan cerita hidupku? “Iya filmnya Meryl Streep sama Alec Baldwin. Aku inget cerita film itu saja bikin kesel!”“Alec Baldwin om yang ganteng itu, kan?” seruku penasaran.Aku beranjak dari duduk menuju laptop di meja kerja Mas S