Home / Romansa / Pembantu Rasa Nyonya / Bab 3. Amelia yang Manis
Bab 3. Amelia yang Manis

"Bik Inah, tolong cobain. Enak, kan?" Aku buka satu bungkus pepes untuk dicoba. Setelah dipanggang sebentar, bau pepesnya terasa lebih enak. 

"Heem, enak Bu. Rasanya seger, tidak ada rasa amis. Enak. Ini saya coba dikit saja, ya. Tak bawa ke belakang buat Kang Maman. Dia suka yang ginian," katanya sambil menunjukkan jempol. Kemudian, dia bergegas merapikan makanan itu dan menyisihkannya.

"Saya mandi dulu ya, Bik? Tuan dan Nona masih lama kembalinya. Tolong dijaga sebentar, ya."  Aku rapikan peralatan dapur dan diteruskan Bik Inah mencuci peralatan dapur. Untuk urusan cuci mencuci diambil alih dia.

*

Terasa hilang pegal di badan dan sedikit terurai otakku yang penuh dengan ingatan file-file tadi. 

Hmmm ... ternyata capek juga.

Aku memakai baju bersih, baju hijau toska dipadukan dengan rok tiga perempat dengan warna hijau tua. Rambut disanggul rapi dan riasan tipis. Mbak Anita sudah berpesan, aku harus selalu tampil rapi dan bersih.

Aku cek ponsel, mungkin ada yang menghubungi. Satu pesan yang masuk, dari Wisnu-anakku.

[Ma, bagaimana pekerjaannya? Mama baik-baik saja?]

[Mama sudah di tempat kerja. Alhamdulillah, kerjaannya baik. Kamu jaga diri. Do'akan Mama selalu sehat]

[Selalu, Ma. Wisnu selalu berdo'a buat Mama. I love you, Ma]

Dia langsung menjawab pesanku, ini menunjukkan dia menantikan balasanku sedari tadi. Terasa sesak di dada, ingin menangis karena perhatiannya . Aku menghela napas dalam-dalam mencari kekuatan. Aku harus kuat dan tega kepada Wisnu, supaya dia menjadi anak yang mandiri dan kuat.

[Iya, sayang. Love you anakku]

Wisnu, dia anak satu-satunya. Setelah berpisah dengan Mas Bram-mantan suami, kami menetap di rumah orang tuaku. Tinggal ibu saja di sana, bapak sudah meninggal. Ibu mempunyai beberapa peternakan ayam yang dikelola rekanan. Nanti hasil usaha akan dibagi sesuai kesepakatan. Hasilnya lumayan untuk kehidupan kami bertiga. Namun, akhir-akhir ini harga tidak stabil, kami mengalami kebangkrutan. Bukan untung, malah tabungan kami keikut untuk biaya operasional.

Minggu kemarin, Wisnu memberi kabar gembira. Kabar ini yang membuat aku bertekad untuk mencari pekerjaan dengan berpenghasilan tetap.

"Mama ...! Mama ...! Aku diterima kuliah!" teriak Wisnu kala itu. Dia berlari dan memelukku. Wajahnya terlihat sangat senang, cita-cita sekolah di perguruan tinggi di Malang tercapai. Arsitektur, jurusan yang menjadi pilihannya.  

"Alhamdulillah, Nak. Akhirnya kerja kerasmu tercapai. Mama senang sekali." Aku mengusap rambutnya yang panjang ikal sebahu.  Rambutnya gondrong, dia berjanji akan memotongnga kalau yang diinginkan tercapai. Badannya sudah kelihatan tinggi, dengan tinggi sekitar 170 cm, kulit sawo matang, dan wajah bersih, dia kelihatan lebih dewasa dan ganteng.

Aku bertekad untuk mengantarmu menjadi orang sukses tanpa mengandalkan Mas Bram, Papamu. 

Sakit hati ini kalau mengingat penghianatannya. Tiga tahun dia membohongiku.

Tiga tahun, aku dibodohi mereka!

Pembukaan cabang di Batam hanya sekedar kedok untuk menyembunyikan istri barunya. Sampai mempunyai anak dua, dan bodohnya aku tidak menyadari penghianatan ini. Aku sangat kecewa dan merasa menjadi orang bodoh sedunia. 

Saat ini,  anggap saja kembali seperti dulu ketika kami tidak pernah kenal. Ya,  kembali dititik awal itu.

Aku menganggap tidak pernah mengenal Mas Bram, dan mencoretnya dari kisah hidup ini. Oleh karena itu, aku menolak dengan tegas pembagian harta ataupun biaya untuk Wisnu. Aku bertekad menghilangkan namanya dari hidupku.

Aku ingin hidup tenang.

Tin ....  Tin .... Tin .... 

Terdengar bunyi klanson mobil.  Aku melongokkan kepala ke depan,  ternyata Nona Amelia pulang dari sekolah.

"Selamat siang, Nona Amelia. Perkenalkan, saya Maharani, panggil saja Rani," ucapku memperkenalkan diri.

"Ini Tante Rani, ya! Wah, sudah dateng!" Dia langsung menghampiriku, memelukku dan  menggelayut manja seperti seorang anak kepada ibunya. Tanpa rasa canggung sedikitpun.  Anak ini manis sekali, sejenak aku teringat Wisnu. Wajahnya cantik putih bersih, memakai baju seragam kotak-kotak, sepatu putih, cantik sekali.

"Non, segera bersih-bersih dan langsung makan, ya. Tante sudah masak buat Non Amelia."

"Ok!" jawab Amelia. Dia langsung berlari ke kamarnya. 

Gegas,  aku menyiapkan makanan di atas meja makan dengan piring, sendok, garpu termasuk napkin yang ditata sedemikian rupa seperti di restoran. 

Di buku panduan tercantum, anak ini menyukai jus mangga, dan tidak suka jus buah naga. Baik, aku buat jus mangga dengan racikan seperti di restoran tempatku pernah bekerja. Dulu sebagai manager, aku tahu benar resep dan rasa yang pas. 

"Wow, enak sekali!" teriak Amelia melihat makanan yang tersedia di meja.

"Heeemmm, jusnya enak banget. Tante racik sendiri, ya?! Tidak seperti biasanya," komentarnya setelah minum jus mangga sampai tandas.

"Mau lagi, Te"

"Cukup ya. Makan dulu. Nanti Tante buatkan lagi setelah makan. Nona, ayo makan!"

Aku ambilkan nasi di piringnya. Pepes kubuka sedikit. Dia memandangku terus, apa yang aku lakukan dia perhatikan.  

Entah, apa yang dipikirkan.

"Tante, jangan panggil aku nona, dong. Aku malu. Panggil aja Amel atau sayang. Seperti temanku dipanggil mamanya. Aku pingin gitu," rajuk Amelia kepadaku. 

Matanya menatapku seperti memohon.

Deg ...!

Aku iba melihatnya.

"Baik. Tante panggil Amel atau sayang, ya. Ayok, sekarang makan. Ini pakai lauk yang mana, Sayang?" 

Kamipun mulai akrab. Ternyata Amelia yang memilihku untuk bekerja di sini. Berkas lamaran yang dikirim lewat online dia pelajari semua, dan jatuh pilihannya kepadaku. Katanya, merasa sudah klik.

Ini kesempatan pertama, dia memilih orang yang bekerja di sini. Biasanya, Nyonya Besar yang mengirim orang untuk bekerja mengurus pekerjaan ini. Kata Amelia, orangnya banyak yang aneh-aneh. Paling lama satu tahun bertahan.

Kami makan bersama, dia memaksa untuk ditemani. Makannya lahap sekali, bahkan sekarang sudah piring kedua. Seperti lapar sekali.

"Sayang, di sekolah apa tidak makan di kantin?"

"Makanan di kantin tidak enak. Amel malas makan. Di sekolah makan camilan aja," katanya sambil mengunyah makanannya.

"Kalau Tante bawakan bekal makanan mau?"

"Mau banget, Tante! Wah, aku bisa pamer sama temanku! Biasanya aku suka dipameri bahkan diledek sama mereka. Mereka suka bawa bekal, katanya mamanya yang buat. Yang enak, ya?" 

Melihat tingkah Amelia, dadaku terasa sesak. Anak ini dari umur lima tahun tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. 

Kasihan.

Sambil makan, dia terus tersenyum dan sesekali memandangku.

Manis sekali.

***

Related Chapters

Latest Chapter