
Di atas singgasana hitam yang menjulang tinggi di aula perjamuan besar, Maximus Bloodthorn duduk dengan ekspresi dingin. Jubah obsidiannya berkibar sedikit saat angin neraka merembes melalui celah-celah kastil. Malam ini seharusnya menjadi malam perayaan—kemenangannya yang gemilang.
Di sekelilingnya, para jenderal dan bawahannya yang terbaik duduk di meja perjamuan panjang. Piring-piring emas dipenuhi daging panggang, dan gelas-gelas anggur merah darah berkilauan di bawah cahaya lilin biru. Namun, di balik tawa dan obrolan yang meriah, Maximus merasakan ada yang tidak beres.
Keheningan singkat di antara tawa yang meledak-ledak. Tatapan-tatapan yang tersisa padanya sebelum mereka buru-buru mengalihkan pandangan. Tangan yang mencengkeram gagang senjata terlalu erat.
"Ada yang tidak beres."
Sesaat, Maximus melirik Zarek, jenderal kepercayaannya. Namun, alih-alih mengangguk hormat seperti biasa, Zarek memberinya senyum tipis—senyum yang terlalu tenang.
Dan kemudian, semuanya terjadi dalam sekejap.
CRANG!
Pedang hitam berkilau melesat ke arahnya. Maximus bereaksi cepat, melompat dari singgasananya tepat saat pedang itu mengenai kursinya, menghancurkannya menjadi pecahan kayu hitam.
"Pengkhianat!" Suara Maximus menggelegar, mengguncang fondasi kastil.
Namun mereka tidak menjawab. Mereka hanya menyerang.
Tombak-tombak hitam menerjang ke arahnya, diikuti oleh gelombang-gelombang sihir yang menghancurkan meja dan dinding-dinding batu. Maximus menghindar dengan kecepatan supernatural, memanggil pusaran api neraka yang membuat beberapa jenderal terpental.
Darah berceceran, teriakan bergema, namun mereka terus maju tanpa ragu-ragu.
Dia bertarung seperti iblis yang lahir dari kehancuran. Namun, jumlah mereka terlalu banyak.
Pisau dan tombak menusuk tubuhnya satu demi satu. Lututnya melemah.
Dan akhirnya—
Pedang emas yang memancarkan energi ilahi, menghunus langsung ke dadanya.
Rasa sakit yang tak pernah ia rasakan sebelumnya membakarnya. Pedang itu tidak hanya menusuk dagingnya—tetapi juga jiwanya.
Darah hitam menetes dari bibirnya. Penglihatannya kabur.
Namun, sebelum kesadarannya memudar, dia berbisik, suaranya dipenuhi kebencian yang tak terbatas.
"Aku akan kembali..."
Dan kemudian kegelapan melahap segalanya.
Maximus terjatuh ke dalam kehampaan.
Tak ada suara. Tak ada cahaya.
Hanya kegelapan tak berujung.
Namun, dia tidak menghilang. Kesadarannya tetap ada.
"Mengapa aku tidak mati?"
Tiba-tiba, bisikan-bisikan aneh memenuhi kekosongan. Kata-kata yang tidak dikenalnya, tetapi mengandung kekuatan yang luar biasa.
Tubuhnya terasa ditarik, remuk, dan dibentuk ulang.
Lalu—cahaya.
Dan sekejap kemudian, dia menangis.
Bukan teriakan marah atau takut, melainkan tangisan lemah bayi yang baru lahir.
Matanya perlahan terbuka, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah seorang wanita dengan rambut coklat keemasan dan mata hijau lembut.
Dia tersenyum, tangannya yang hangat membelai pipinya dengan lembut.
“Oh, Isaac… kamu sangat kecil,” bisiknya.
"Isaac?"
Ia ingin berbicara, berteriak bahwa ia bukanlah bayi yang tak berdaya—bahwa ia adalah Penguasa yang pernah menguasai dunia. Namun mulutnya hanya mengeluarkan rengekan kecil.
Seorang pria berdiri di sampingnya, mengenakan baju besi sederhana. Tatapannya tajam, namun ada kebaikan di matanya.
“Matanya tajam,” gumam lelaki itu.
Wanita itu terkekeh pelan. “Tentu saja. Dia anak kita.”
Maximus—sekarang Isaac—tetap terdiam dalam pikirannya sendiri.
"Saya benar-benar bereinkarnasi?"
Tangan mungilnya bergerak tetapi terlalu lemah untuk menggenggam apa pun. Tubuhnya rapuh, jauh dari kekuatan yang pernah dimilikinya.
Dari seorang penguasa dunia bawah yang ditakuti, ia sekarang tidak lebih dari sekadar bayi manusia.
Namun dia tidak menyerah.
Jika ini adalah kesempatan kedua, dia akan memanfaatkannya.
Dia akan kembali lebih kuat.
Dia akan membalas dendam.
Dan dunia akan berlutut di hadapannya sekali lagi.
Isaac membuka matanya, menatap kosong ke langit-langit. Cahaya lilin berkedip lembut di sudut ruangan, bayangannya menari di dinding batu abu-abu yang dingin. Tirai sutra berwarna krem bergoyang lembut saat angin malam masuk melalui jendela kecil.
Dia menggerakkan tangan mungilnya, menggenggam udara kosong. Lemah. Rapuh.
"Menyedihkan."
Dulu, hanya dengan jentikan jarinya, ia dapat menghancurkan istana dan mengguncang dunia. Sekarang, ia kesulitan untuk memegang sesuatu dengan benar.
Dia mendesah—atau setidaknya, dia mencoba mendesah. Paru-parunya yang kecil tidak dapat menampung udara sebanyak yang dia inginkan.
"Aku harus menemukan jejak kekuatanku."
Selama beberapa bulan terakhir, ia telah mencoba merasakan mana di dalam tubuhnya. Namun, hasilnya mengecewakan. Tidak ada energi yang berputar-putar, tidak ada aliran kekuatan yang mengalir melalui dirinya seperti yang pernah terjadi saat ia menjadi Penguasa.
Namun dia tidak akan menyerah begitu saja.
Malam itu, setelah ibunya menidurkannya di ranjang empuk, Isaac memejamkan mata. Ia fokus, mencoba menemukan sisa mana dalam dirinya.
Dalam benaknya, ia membayangkan alam gelap tempat ia pernah berkuasa—lahar mengalir melalui celah-celah neraka, iblis berlutut di hadapannya, dan energi sihir berputar-putar seperti badai di telapak tangannya.
Namun kenyataannya berbeda.
Yang dirasakannya hanya keheningan.
Tak ada api. Tak ada kekuatan. Tak ada yang tersisa dari dirinya yang dulu.
Rasa frustrasi merayapi hatinya. Rahangnya terkatup rapat, meskipun dalam tubuh bayi ini, ekspresinya nyaris tak terlihat.
"Kenapa? Kenapa aku, sang Penguasa Iblis, terlahir kembali dalam tubuh manusia yang lemah?"
Ia menggeram pelan, mengepalkan tangan mungilnya. Betapa pun sulitnya, ia akan menemukan jalan kembali.
"Kegelapan takkan pudar. Aku akan bangkit lagi.
Seiring berjalannya waktu, Isaac mulai memahami kehidupan barunya. Keluarganya, keluarga Ackerman, adalah keluarga bangsawan kecil di wilayah barat Kerajaan Eldoria.
Ayahnya, Duke Reinhardt Ackerman, adalah seorang pria jangkung dengan rambut hitam keperakan dan mata tajam seperti elang. Ia adalah seorang ksatria tangguh, tetapi pengaruhnya di istana kerajaan terbatas.
Ibunya, Lady Evelyn, memiliki rambut panjang berwarna cokelat keemasan dan mata hijau zamrud yang lembut. Ia hangat, penuh kasih sayang, dan selalu tersenyum saat menggendong Isaac.
"Isaac, sayangku... kau begitu tenang untuk bayi seusiamu," bisik Evelyn sambil membelai pipinya.
Isaac menatapnya dalam diam.
"Saya tidak tenang; saya sedang berpikir, Ibu."
Namun ia membiarkan dirinya bertindak seperti bayi biasa—menggenggam jari ibunya, bergumam pelan, dan menunjukkan ekspresi polos.
Bagi seorang Raja Iblis, ini sungguh memalukan.
Namun, ia tahu adaptasi adalah kunci untuk bertahan hidup.
---
Rencana Jangka Panjang
Isaac mulai menyusun strateginya. Jika ia ingin mendapatkan kembali kejayaannya, ia harus:
1. Beradaptasi dengan dunia ini – Dia perlu belajar tentang sistem kekuatan manusia dan memahami lanskap politik Eldoria.
2. Temukan cara untuk mengakses mana – Jika manusia bisa menggunakan sihir, pasti ada metode yang bisa dipelajarinya.
3. Menyembunyikan identitasnya – Jika orang mengetahui bahwa jiwanya bukan milik bayi biasa, mereka mungkin menganggapnya sebagai monster atau ancaman.
Saat ini, dia tidak punya kekuatan. Namun, dia punya waktu.
Dan dia akan menggunakannya dengan bijak.
---
Upaya Pertama
Suatu malam, ketika semua orang sudah tidur, Isaac memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda.
Alih-alih memaksa dirinya untuk merasakan mana, dia mencoba mengingat kembali esensi kekuatan iblisnya.
"Jika aku tidak bisa merasakan mana seperti manusia… mungkin aku masih bisa mengakses kegelapan."
Dia menarik napas dalam-dalam. Mata bayinya yang tampak polos perlahan menyipit, penuh fokus.
Namun saat ia mulai merasakan sesuatu—sebuah bayangan bergetar di sudut ruangan—suara keras bergema di luar.
DONG!
Pintu terbuka, dan seorang pria jangkung berjubah prajurit berdiri di pintu masuk. Matanya yang tajam penuh dengan kewaspadaan.
“Isaac?” Suara Duke Reinhardt terdengar dalam.
Isaac terkejut. Ayahnya tidak pernah memasuki kamarnya pada larut malam seperti ini.
Reinhardt menatapnya tajam, seolah merasakan sesuatu. Ia melangkah mendekat, sepatu botnya berdenting di lantai batu yang dingin.
Isaac tetap diam, mencoba menyembunyikan jejak kekuatan yang hampir dibangkitkannya.
Reinhardt mendesah, lalu mengacak-acak rambut Isaac dengan lembut.
"Kamu… sangat berbeda dari bayi-bayi lainnya," gumamnya pelan, hampir terlalu pelan untuk didengar.
Isaac merasakan detak jantungnya bertambah cepat—bukan karena takut, melainkan karena penasaran.
"Apakah dia curiga pada sesuatu?"
Namun setelah beberapa saat, Reinhardt hanya tersenyum kecil dan meninggalkan ruangan.
Pintu tertutup, meninggalkan Isaac sendirian dengan pikirannya.
---
Meski tubuhnya lemah, pikirannya tetap tajam.
Dan sekarang, dia tahu satu hal:
Ada sesuatu yang aneh tentang dia… dan dia mungkin menyadarinya.
Namun, itu tidak penting.
Karena tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan…
Dunia akan mengingat namanya sekali lagi.

Related Chapters
The Second Life of Demon King Episode 2: The Trap of Betrayal
In the shadows of the night, Auron, Eris, and the other lieutenants moved swiftly, avoiding every light and suspicious sound. Auron's face was tense, his jaw clenched. With a single hand signal, he led them to the darker parts of the kingdom, through silent corridors.“Make sure no trace is left behind,” Auron whispered sharply, his voice full of determination.Eris nodded with a thin smile, her hand clutching a secret magic scroll she would use later. “Maximus will never know what hit him,” she thought to herself, channeling her energy into her magic.Auron and his team reached the supply depot, where Maximus’s weapons and protective magic were neatly stored. The smell of metal and dust filled the dark room. Swiftly, Auron led his men to sabotage every piece of equipment. His eyes gleamed with desire, his hands quick to cast curses on the swords and shields.“Make sure every weapon fails at the right moment,” he whispered with a voice as sharp as a knife. “I want to see their faces w
The Second Life of Demon King Episode 3: The demon king's vow of revenge
The thick fog still enveloped the battlefield as Maximus, panting and battered, finally managed to break through the illusion of the trap that tormented him. Struggling, he stepped out, his body unsteady but his eyes burning with rage. A fleeting sense of relief crept into his heart, but his gaze quickly fell upon the figures standing before him."Enough, Maximus," Auron's cold voice interrupted the silence. Maximus glared sharply, seeing his trusted lieutenants—Auron, Eris, and the others—lined up with unfriendly expressions.Maximus clenched his fists, forcing his weary body to stand tall. "You... here?" he murmured, his brow furrowed in suspicion.Eris smiled faintly, her dark eyes gleaming with satisfaction. "Of course, we’ve been waiting for you."Maximus’s initially confident gaze began to shift. His once-strong heart was now pierced by suspicion and anger. “Why are they looking at me like that?” he thought, trying to understand this unexpected situation.Auron stepped forward,
The Second Life of Demon King Episode 4: The Mysterious Magic Teacher
The evening sky burned with golden hues as a black carriage came to a stop in front of the Ackerman manor. The air carried the lingering scent of morning rain, creating a cool atmosphere that contrasted with the tension creeping into Isaac’s heart.From within the carriage, a tall man clad in a deep blue robe stepped out with graceful movements. Orland, a man known as one of the most respected mages in the kingdom, walked with an air of authority. His eyes—sharp blue like eternal ice—swept the surroundings with the calmness of someone who had seen much in life.Isaac, sitting in the back garden with his older brother, observed from afar."A Magister? Father is really serious about this…"He had assumed that the magic instructor sent to him would be an ordinary mage. But seeing Orland, who carried an almost undetectable aura, immediately put his instincts on high alert.Orland stepped into the main hall, welcomed by the Ackerman family. Soon, Isaac was summoned to meet his new teacher.
The Second Life of Demon King Episode 5: Shadow's Trail in the Palace
Istana kerajaan berdiri megah di bawah sinar bulan, pilar-pilarnya yang menjulang tinggi dihiasi ukiran-ukiran rumit yang mencerminkan kejayaan keluarga itu selama berabad-abad. Aula besar dipenuhi para bangsawan yang berbincang dalam kelompok-kelompok kecil, gelas-gelas anggur mereka berkilauan di bawah cahaya lampu kristal.Isaac berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman istana, tangan kirinya memegang segelas anggur merah—meskipun ia hanya menyesapnya sesekali untuk menjaga etika.Namun, pikirannya jauh dari pesta itu.Sejak tiba di istana, dia merasakan sesuatu yang meresahkan, mengusik naluri magisnya.Aura yang tidak memiliki tempat di dunia manusia.Kemudian, di ujung lorong, sebuah sosok akhirnya muncul. Berbalut jubah hitam pekat, berdiri tegak seperti bayangan yang menyatu dengan kegelapan.Rasa ngeri menjalar ke sekujur tubuh Isaac.“Energi iblis... di tempat seperti ini?”Matanya yang merah menyipit saat dia mengamati bagaimana sosok itu bergerak dengan tenang,
The Second Life of Demon King Episode 6: Secret Training
Malam pun tiba dengan tenang, menyelimuti istana dalam bayang-bayang panjang. Cahaya bulan keperakan menerangi taman belakang yang kosong, tempat Isaac berdiri dengan napas teratur, tubuhnya dipenuhi keringat, tetapi matanya tajam.Dia telah berada di sini selama berjam-jam—berlatih tanpa henti.Perkataan Sir Garrick masih terngiang di benaknya:> "Anak bangsawan lemah sepertimu tidak akan bisa bertahan hidup di dunia nyata."Isaac mengepalkan tangannya, otot-otot lengannya menegang."Aku tidak akan membiarkan orang memandang rendah diriku seperti ini."Menggunakan metode latihan dari kehidupan sebelumnya sebagai Penguasa Iblis, Isaac mulai menyesuaikan tubuh manusianya dengan teknik yang lebih efisien. Ia memulai dengan push-up satu tangan, mengangkat tubuhnya dengan stabil meskipun ada sensasi terbakar di lengan dan bahunya.Kemudian, ia beralih ke latihan keseimbangan—berdiri dengan satu kaki di atas pagar batu, tubuhnya tetap tegap meskipun angin malam bertiup kencang."Tubuh manus
The Second Life of Demon King Episode 7: Conversation with Magister Orland
Magister Orland duduk di belakang meja kayunya yang besar, jubah hitamnya terurai dengan anggun. Tumpukan buku-buku tua dan gulungan-gulungan berserakan di sekelilingnya, sementara nyala lilin di sudut-sudut ruangan berkedip-kedip, menghasilkan bayangan-bayangan panjang di dinding-dinding batu.Isaac melangkah masuk ke dalam ruangan, sambil memegang sebuah dokumen kuno di tangannya. Ia bisa merasakan udara di ruangan ini lebih berat, seolah-olah dipenuhi sisa-sisa sihir yang telah lama tertidur.“Magister Orland,” ucap Isaac, suaranya tenang namun hati-hati.Orland, seorang pria paruh baya dengan rambut perak yang disisir rapi, menatapnya dari balik kacamata tipisnya. Mata birunya yang tajam mengamati Isaac, seolah mencoba membaca pikirannya sebelum bocah itu bisa mengatakan apa pun lebih lanjut.“Ada yang ingin kutanyakan.” Isaac meletakkan dokumen itu di atas meja.Mata Orland langsung membelalak. Tangan tuanya sedikit gemetar saat meraih dokumen itu, napasnya tersengal saat mulai me
The Second Life of Demon King Episode 8: The Secret in the Forbidden Room
Malam telah larut ketika Isaac berdiri di depan pintu besar berhias emas, tersembunyi jauh di dalam koridor bawah tanah Avalon Academy. Udara di sekitarnya terasa jauh lebih dingin, seolah-olah ruangan di baliknya menolak kehadiran manusia.Ia menggerakkan jari-jarinya di permukaan pintu, merasakan aliran sihir yang rumit. Sebuah segel kuno terukir di bagian tengahnya, bersinar samar dalam rona kebiruan."Sihir ini... bukan sekadar penghalang. Ini peringatan."Isaac menyeringai."Aku tak peduli dengan peringatan," gerutunya sebelum mengangkat tangannya, merapal mantra dengan cara yang tak biasa—tanpa mantra, tanpa gerakan berlebihan.Segel itu bergetar, lalu perlahan memudar.Klik.Pintunya terbuka sendiri, memperlihatkan ruangan yang diselimuti aura kematian.Isaac melangkah masuk, matanya mengamati setiap sudut ruangan. Rak-rak kayu kuno berjejer di dinding, penuh dengan gulungan-gulungan dan buku-buku berdebu. Di tengah ruangan, sebuah lingkaran sihir besar terukir di lantai, bersin
The Second Life of Demon King Episode 9: Conspiracy at the Academy
Isaac duduk di sudut perpustakaan yang tenang, membolak-balik halaman buku tua, perkamennya rapuh karena usia. Matanya menyipit saat melihat bagian yang tampaknya telah dihapus secara paksa. Jejak tinta samar masih ada, seolah-olah seseorang telah berusaha keras menyembunyikan sesuatu."Seseorang tidak ingin rahasia ini terbongkar," pikirnya.Bisikan samar mengganggu fokusnya."Apakah kamu juga mencarinya?"Isaac menoleh cepat. Seorang gadis berdiri di dekatnya, matanya yang tajam mengawasinya seperti elang yang mengincar mangsanya. Rambutnya yang hitam legam diikat tinggi, dan jubah akademinya lebih gelap daripada yang lain."Aku tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan," jawab Isaac santai, meski tatapannya tetap waspada.Gadis itu menyeringai. "Jangan pura-pura bodoh. Aku tahu kau sedang menyelidiki hal yang sama."Dia menutup buku yang dipegangnya dan duduk di hadapannya."Namaku Selene. Dan aku ingin tahu—seberapa dalam kamu menggali?"Isaac mengamatinya sejenak sebelum akhirnya b
Latest Chapter
Episode 44: Betrayal and Test of Loyalty
Angin menderu kencang, mengguncang pepohonan dan mengaduk debu dari tanah tandus. Di dataran luas dan tandus, Zephar, Sang Pengendali Angin, berdiri tegak dan ramping. Matanya yang tajam menatap tajam ke arah Isaac dengan kebencian yang membara, tubuhnya yang kurus kering dipenuhi dengan kekuatan yang tak terkendali. Angin berputar-putar di sekelilingnya, memanggil elemen-elemen di bawah komandonya untuk bersiap berperang.Isaac menatap mata Zephar dengan tenang. "Apa yang ingin kau buktikan?" Suaranya tenang, tetapi kilatan di matanya yang merah menunjukkan kesiapannya menghadapi bahaya yang akan datang.Zephar mencibir. “Aku tidak percaya transformasimu, Isaac. Kekuatan barumu itu hanyalah ilusi. Kau hanyalah bayangan Maximus yang pernah kita kenal. Kali ini, aku akan memastikan kau hancur menjadi debu.”Dengan gerakan cepat, Zephar mengangkat tangannya, melepaskan hembusan angin kencang yang diarahkan ke Isaac. Tekanan udara menekannya dengan kuat, tetapi Isaac tetap teguh. Kekuata
Episode 43
Arena yang tadinya riuh itu kini sunyi senyap. Penonton yang menyaksikan pertarungan antara Isaac dan Malgor berdiri membeku, dicengkeram oleh ketegangan yang memenuhi medan pertempuran melingkar itu. Angin panas membawa bau belerang, bercampur dengan debu yang beterbangan di udara.Isaac berdiri tegap, tubuhnya dihiasi luka dan goresan, tetapi matanya menyala dengan tekad yang tajam. Tangan kanannya terangkat, berdenyut dengan cahaya biru yang berdenyut seperti detak jantung. "Kau tahu, Malgor," katanya dingin, "pengkhianatanmu telah menyakitimu lebih dari yang kau sadari. Biar kutunjukkan padamu."Lingkaran sihir bercahaya muncul di sekitar Isaac, memancarkan energi yang menembus pikiran Malgor. Panglima perang yang menjulang tinggi itu, yang dulunya memerintah dengan mata merah menyalatiba-tiba goyah. Pedang besarnya terlepas dari genggamannya, jatuh ke tanah dengan bunyi gedebuk yang menggelegar."Apa ini?!" Malgor meraung, suaranya serak karena panik. Ia memegangi kepalanya, seol
Episode 42: The Traitor’s Trail
Isaac berjalan di sepanjang jalan berbatu yang dingin, udara padat dari alam iblis menggigit kulitnya. Langit di atas berwarna abu-abu gelap, berputar-putar dengan awan yang bergulung-gulung yang kadang-kadang meledak dengan kilat merah, memecah kesunyian dengan guntur yang mengancam. Sisa-sisa kehancuran masa lalu berserakan di mana-mana—menara yang hancur, sisa-sisa kerangka raksasa, dan kota-kota yang runtuh yang tampaknya meneriakkan kisah-kisah sejarah yang tragis. Namun fokus Isaac tetap pada jejak samar di tanah berlumpur—jejak kaki yang dalam dan berat. "Ini hanya milik satu makhluk... Malgor." Isaac mengepalkan tinjunya, matanya menyipit karena kebencian yang membara. "Kau pernah bersumpah setia, Malgor. Apa yang membuatmu mengkhianatiku?"Ketika akhirnya dia mendekati benteng Malgor, dia berhenti sejenak untuk mengamati dari balik bayangan reruntuhan yang runtuh. Benteng itu menjulang tinggi, dinding-dindingnya yang hitam dipenuhi duri-duri tajam. Di atas gerbang utama, lam
Episode 41: The Guarded Gate
The dark night sky enveloped them as Isaac and his group arrived at the location they had long searched for. These ancient ruins looked like the remnants of a forgotten world—tall cracked stone walls overgrown with glowing green moss, and grand statues weathered by time. The air around them felt heavy, charged with magical energy that vibrated in their bones. Each of their steps on the hard ground made a rustling sound, as if something was watching them."Is... is this the place?" Darius asked, his voice faltering as his eyes darted around, looking uncomfortable. "It feels like we're walking in another world."Isaac did not answer. His gaze was focused, his eyes glowing with a calculating gleam. "This is the first step toward my destiny," he thought, though his heart beat faster than usual.However, just before they could take another step, the atmosphere suddenly shifted. The calm wind turned into a cold breeze that howled, carrying a sharp metallic scent. From the shadows of the rui
Episode 40: A Fragile Balance
Markas sementara Isaac, sebuah benteng tua yang tersembunyi jauh di dalam hutan lebat. Cahaya bulan bersinar di dinding batu yang runtuh, sementara suara burung malam dan angin sepoi-sepoi menambah suasana muram. Api unggun kecil di tengah aula utama menerangi wajah-wajah lelah sekutu Isaac. Isaac berdiri di ujung ruangan, jubah hitamnya menjuntai ke lantai. Tatapan tajamnya menyapu semua orang yang hadir. Cahaya redup menonjolkan garis-garis tegas di wajahnya, memperkuat perannya sebagai pemimpin di tengah kekacauan."Ini tidak bisa terus berlanjut," pikir Isaac sambil mengepalkan tangannya. "Aliansi ini harus diperkuat, atau akan runtuh sebelum misi ini selesai.""Aku harus bicara!" teriak Darius, suaranya menggema di aula yang sunyi. Tubuhnya yang besar dan berotot menegang, menunjukkan kemarahan yang tertahan. "Rencana ini semakin gegabah dari hari ke hari, Isaac. Kau ingin kami mengejar portal yang mungkin merupakan jebakan. Berapa banyak lagi nyawa yang harus dikorbankan demi
Episode 39: Recruiting New Allies
Di sebuah desa yang hancur di tepi tebing, dengan langit kelabu yang menggantung rendah. Asap tipis masih mengepul dari pendingin, meninggalkan aroma terbakar dan kesedihan yang tertinggal di udara. Isaac berjalan perlahan, jubah hitamnya berkibar tertiup angin dingin. Tatapan tajam dan postur tubuh yang tegak memancarkan aura seorang pemimpin yang tak tergoyahkan. "Kekuatannya tidak bisa dibangun sendiri," pikir Isaac, matanya mengamati sekeliling yang suram. "Aku butuh sekutu, bukan sekedar alat. Mereka harus cukup kuat untuk bertahan hidup, tapi tidak terlalu pintar untuk melawanku."Di tengah-tengahnya, Isaac mendengar suara samar yang berasal dari bangunan yang sebagian runtuh. "Tolong...siapa pun..." Dia mendekati sumber suara itu dan mendapati seorang wanita muda, baru berusia dua puluh tahun, dengan luka di lengannya. Rambutnya yang merah gelap kusut karena debu dan darah, tetapi matanya berkilauan dengan kekuatan tertersembunyi. “Seorang penyihir,” gumam Ishak sambil berjo
Episode 38: The Rise of New Power
Pagi menyingsing di medan perang yang dulunya merupakan benteng Oblivion Order, menandai dimulainya babak baru dalam sejarah manusia. Puing-puing dari benteng gelap berserakan di tanah sementara panji-panji aliansi berkibar tertiup angin dingin. Langit mendung sangat cocok dengan suasana hati Isaac yang muram.Isaac berdiri di atas reruntuhan, tatapan tajamnya tertuju ke cakrawala. Angin dingin menerpa wajahnya yang tanpa ekspresi, tetapi pikirannya terus berkecamuk."Mereka mulai melihat saya sebagai pemimpin. Itu berbahaya. Saya tidak butuh pengikut yang membabi buta."Kaelyn menghampirinya dengan langkah mantap, wajahnya menampakkan kebanggaan sekaligus kebingungan."Isaac," panggilnya. "Kita berhasil. Mereka sudah menyerah. Tapi apa yang terjadi selanjutnya?"Isaac menoleh padanya, matanya menyipit seolah sedang mengevaluasi sesuatu yang tak terlihat.“Kami perkuat posisi kami. Dan pastikan tidak ada yang berani menantang kami lagi.”Kaelyn mengangkat sebelah alisnya, suaranya ber
Episode 37: Forging New Alliances
Gerimis turun perlahan di atap gudang tua, yang kini menjadi lokasi pertemuan rahasia Isaac. Di dalam, suasana dipenuhi ketegangan halus, diterangi oleh cahaya redup lentera ajaib di dinding bata. Empat sosok berdiri terpisah, masing-masing memancarkan aura misterius yang terasa berat di udara.Isaac, mengenakan jubah hitam dengan tudung yang menutupi sebagian besar wajahnya, berdiri di tengah ruangan, dengan lengan disilangkan. Matanya yang tajam mengamati setiap wajah, mencoba memahami maksud mereka."Mereka semua menyimpan dendam, tetapi apakah itu cukup untuk membuat mereka dapat dipercaya?" pikir Isaac, napasnya teratur dan terukur.Seorang pria kekar dengan bekas luka di lehernya melangkah maju, suaranya serak. "Mengapa kami harus percaya padamu? Banyak orang datang dengan janji-janji, hanya untuk memanfaatkan kami demi keuntungan mereka sendiri."Isaac menatapnya, tanpa ragu. "Aku tidak meminta kepercayaanmu, Rogar. Aku menawarkan kesempatan untuk menghancurkan musuh yang telah
Episode 36: The Secret Organization
Angin malam menderu kencang, membawa aroma lembap dan metalik dari jalan-jalan sempit di kota tua. Isaac berdiri di bawah bayang-bayang jembatan batu yang gelap, jubah hitamnya berkibar ringan tertiup angin. Di depannya tampak sebuah pintu besar, ditandai dengan lingkaran yang tidak sempurna—satu-satunya petunjuk dari "Perintah Kelupaan.""Organisasi rahasia," pikir Isaac, tatapannya tertuju pada simbol itu. "Tapi cukup ceroboh untuk membiarkan energi jahat mereka terpancar begitu terang-terangan."Dengan jentikan tangannya, ia merapal mantra ilusi untuk menutupi auranya. Sebuah bola energi gelap membungkusnya sebentar sebelum masuk ke dalam kulitnya. Jubah gelapnya kini tampak usang dan compang-camping, mempertegas kedok seorang penyihir gelap tingkat rendah.Saat pintu berat itu berderit terbuka, Isaac menundukkan kepalanya, membiarkan bayangan menutupi sebagian besar wajahnya. Di dalam, ruangan yang remang-remang itu diterangi oleh obor-obor yang berkelap-kelip yang dipasang di dind
