Isaac berdiri di dekat jendela, tatapannya tertuju pada langit malam yang gelap, mengamati kabut tipis yang menggantung di udara. Dunia luar terasa jauh, tetapi gejolak di dalam hatinya semakin dekat dan tak terelakkan. Angin malam berbisik lembut, mengacak-acak rambut hitamnya yang sedikit acak-acakan, namun matanya tetap tajam, dipenuhi ketidakpastian."Seberapa jauh aku telah berubah?" tanyanya, tenggelam dalam pikirannya. Tubuhnya masih terasa lelah, tetapi pikirannya menanggung beban yang jauh lebih berat. Sejak pertemuannya dengan penyihir tua yang bijak dan Gareth, prajurit yang kuat, ia merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih gelap dan lebih cerah bergerak dalam dirinya. Penyihir tua itu, yang telah membimbingnya melalui dasar-dasar mana dan sihir, kini telah memberinya buku mantra tingkat lanjut yang penuh dengan rahasia yang memanggilnya.Isaac mendesah pelan. "Mereka ingin aku menjadi lebih kuat. Tapi... untuk tujuan apa?" tanyanya, frustrasi menyelimuti pikiranny
Hujan deras mengguyur reruntuhan kuil tua yang tersembunyi jauh di dalam hutan lebat. Angin dingin membawa aroma tanah basah dan lumut tua, menambah suasana mencekam. Cahaya redup dari obor yang dipegang Isaac menari-nari di dinding kuil, yang dihiasi ukiran kuno. Jantungnya berdebar kencang saat pandangannya tertuju pada kristal gelap yang terletak di atas altar batu yang ditutupi lumut.Kristal itu, seukuran kepalan tangan, memancarkan cahaya ungu gelap yang samar namun memikat. Aura dingin yang tak terlihat menyelimuti ruangan, membuat Isaac menggigil meski jubahnya tebal.Saat dia melangkah mendekat, sebuah kekuatan tak kasat mata seakan menariknya masuk, memanggilnya. Tangannya terulur secara naluriah, tetapi dia ragu-ragu. "Apa ini? Mengapa aku merasa seperti ada yang memanggilku?" pikirnya, alisnya berkerut karena bingung. Menutup matanya sejenak, dia mencoba menenangkan luapan emosi yang tiba-tiba menguasainya.Suara lembut memecah keheningan dari belakang. "Hati-hati, Isaac,"
Langit malam penuh dengan bintang, tetapi udara membawa ketegangan yang menyesakkan. Di tengah ladang yang dipenuhi reruntuhan pertempuran, Isaac berdiri, bernapas dengan berat. Tangan kanannya masih memegang kristal gelap yang kini bersinar ungu tua, sementara di sekelilingnya, tubuh-tubuh tak bernyawa dari para anggota kelompok sihir yang telah mencoba menghentikannya tergeletak tak berdaya. "Isaac, kau tampak menikmati ini," kata Elara tajam. Ia berdiri beberapa langkah di belakang Isaac, darah menetes dari lengan kirinya. Mata hijaunya yang bersinar penuh amarah dan ketidakpercayaan. "Apakah ini tujuanmu? Membantai siapa pun yang menghalangi jalanmu?" Isaac menoleh perlahan, tatapannya dingin namun penuh kepuasan. Rambut hitamnya berantakan, dan wajahnya tampak kelelahan, namun sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. "Mereka yang menghalangi jalanku telah menentukan pilihan. Aku hanya memastikan mereka membayar harganya." Elara mengepalkan tangannya. "Ini lebih dari se
Suara sepatu bot Isaac yang menghantam tanah berbatu bergema di lereng yang curam. Napasnya tersengal-sengal, dadanya naik turun saat keringat berkilauan di sekujur tubuhnya di bawah terik matahari tengah hari. Di sisi terjauh lapangan latihan, Master Kael berdiri tegak, lengan disilangkan, matanya yang tajam mengamati setiap gerakan yang dilakukan muridnya."Isaac, faster!" Kael’s voice boomed, reverberating through the surrounding pine forest. "Do you want to be a warrior, or just another weak, ordinary human?"Isaac gritted his teeth, his muscles tightening as he forced himself to quicken his pace. "I’m not an ordinary human," he muttered under his breath, his fists clenching with determination.“This isn’t enough,” Isaac thought. “This body must become stronger. I must become more than this.”Kael watched as Isaac staggered, his legs trembling and his breathing labored. "He’s stubborn," Kael murmured to himself. "But stubbornness alone won’t be enough. Can he endure this?"The nex
Isaac walked slowly through the bustling village market, where the loud shouts of merchants hawking their wares, the sharp scent of spices, and the smell of freshly baked bread filled the air. It felt as though the world moved too fast for his mind to keep up. But to Isaac, this chaos felt hollow— a world full of foolishness.Amidst the narrow, crowded streets, his eyes fell on an old man sitting on a worn-out mat. His face was covered in wrinkles, his body frail, but his eyes shone with a sincerity that was rare in this world. The old man patiently shared his meager meal with a starving child. Isaac paused for a moment, watching. The old man didn’t seem bothered, even though he likely needed the food more than the child.“So foolish,” Isaac muttered to himself. What can one gain from giving to those who can’t repay? His eyes narrowed in disdain.However, as he continued on his path, his thoughts wandered back to memories of his past—memories of Maximus Bloodthorn, the Unconquerable D
Isaac duduk termenung di tepi sungai, tubuhnya sedikit condong ke belakang, seolah-olah ingin menyatu dengan alam yang tenang di sekitarnya. Suara air yang mengalir pelan dan jernih itu menenangkan, tetapi tidak dapat meredakan badai dalam dirinya. Malam telah larut, dan langit gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang redup. Di sekeliling sungai, pohon-pohon tinggi berdiri kokoh, seolah-olah menyaksikan pertempuran batin yang berkecamuk dalam dirinya.The river stretching before Isaac appeared serene, but the flowing water seemed to mock his inability to find peace within himself. Has this water ever felt restless? he wondered. Or does it simply know to flow, moving forward without regard for the past?His gaze fell on the glimmering surface of the water, but the reflection of his face staring back at him was unrecognizable. Suddenly, memories of his past as Maximus Bloodthorn surged forward—when he ruled with an iron fist, spreading fear to anyone who defied him. He re
Hutan lebat itu menjadi lebih sunyi saat Isaac melangkah hati-hati melewati semak belukar yang lebat. Suara langkah kakinya tenggelam oleh gemerisik dedaunan kering, seolah-olah bumi itu sendiri berbisik, memperingatkannya. Waktu berlalu perlahan, dan meskipun ketenangan itu memikat, Isaac tahu bahwa dengan setiap langkah ia semakin dekat dengan ancaman yang mengancam.Mata Isaac terfokus tajam, wajahnya menegang. Di tengah pepohonan yang tinggi dan lebat, sebuah bayangan bergerak perlahan. Itu adalah basilisk raksasa yang telah lama dicarinya. Tubuhnya yang hijau berkilauan tampak menyatu dengan sekelilingnya, tetapi matanya yang cerah memantulkan cahaya, menandakan kehadirannya."Jika mata itu menatapku, aku akan mati," pikir Isaac cemas, meski ketenangannya tetap utuh.Basilisk itu menatap Isaac dari balik pohon besar, matanya yang hijau terang menyala, tajam, dan mengancam. Setiap detik berlalu, jantung Isaac mulai berdetak lebih cepat. Ia tahu bahwa berhadapan langsung dengan mak
Langit memudar menjadi jingga saat Isaac tiba di tepi sebuah desa kecil. Gumpalan asap tipis mengepul dari rumah-rumah kayu yang tampak sunyi senyap, namun suasananya jauh dari kata damai. Udara terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang gelap mengintai di dekatnya. Isaac menyipitkan mata, tubuhnya menegang. Ada yang salah di sini.That’s when he saw him—a young sorcerer standing in the middle of the village road, dressed in a black robe that shimmered like a starry night. His long white hair cascaded down, a stark contrast to his pale skin. A wooden staff adorned with a purple crystal was tightly gripped in his hand. His bright violet eyes gleamed with sharp determination, staring directly at Isaac without fear.“Stop right there,” the sorcerer’s voice was clear, almost cold, yet full of alertness. “Who are you, and what are you doing here?”Isaac stopped, his hand instinctively reaching for the hilt of his sword. He studied the sorcerer carefully. “I’m just a wanderer,” he answered