Home / Romansa / Pembantu Rasa Nyonya / Chapter 251 - 260
All Chapters of Pembantu Rasa Nyonya: Chapter 251 - Chapter 260
616 chapters
Bab 251. Aku Bukan yang Dulu
Aku menatap kepergian Mas Bram. Dengan berlari kecil dia menyebrang jalan menuju hotel dimana Wulan menunggunya. Bagaimana pun sikap seorang lelaki, saat didatangi istrinya pasti akan bersikap seperti itu.Hmm…. Aku tersenyum sendiri. Memang cinta kami dulu merupakan cinta pertama, tapi pelabuhan terakhir akan menjadi pemenang dan yang utama.“Ran, kamu tadi sengaja mengatakan kita janjian?”“Iya, Pak Tiok. Kalau tidak, Mas Bram akan bersikukuh mengantarku pulang. Aku tidak mau ada kesalahpahaman. Ini saja, istrinya sudah mendatangiku.”Aku menarik tempat duduk, kemudian memanggil pelayan.“Saya coklat panas dan roti lapis yang itu, ya,” pintaku kemudian mendudukkan diri. “Pak Tiok pesan apa?”“Saya kopi hitam tanpa gula ya, Mas.”Pak Tiok memandangku sebentar, kemudian tersenyum simpul seakan menyembunyikan sesuatu.“Jadi perempuan susah ya, Ran. Begini salah, begitu salah. Selalu ada yang dianggap tidak benar,” seru Pak Tiok sambil melepas ikatan rambutnya dan merapikan kembali.“S
Read more
Bab 252.  Alasan
“Mau barengan pulang denganku?’Tawaran yang membuatku gamang. Lepas dari Mas Bram, dan sekarang di depanku ada Pak Tiok. Tidak mau aku ada kesalahpahaman pada Mas Suma. Memang, suamiku memperbolehkan aku bergaul dengan lelaki di depanku ini. Namun, untuk dua jam perjalanan berdua saja apakah ini menjadi alasan Mas Suma marah?“Kawatir dengan Pak Suma?” celetuknya dengan tertawa mengejek. “Satunya takut sama istri, sekarang ada istri takut suami. Ini alasan yang membuatku malas untuk menikah lagi.”“Itu Pak Tiok tahu. Saya naik travel atau minta Pak Maman jemput saja.”“Jangan kawatir. Aku menemui Bu Rani, juga karena misi titipan Pak Suma.”“Misi?” tanyaku sambil mengernyit. Sudah kuduga, tidak mungkin Pak Tiok ke sini dan kebetulan bertemu.“Eit, jangan curiga dulu! Aku ke kota ini memang janjian dengan Mas Obet. Tapi, kebetulan Pak Suma meminta saya untuk menemuimu. Siapa tahu membutuhkan pertolongan.” Pak Tiok buru-buru menjelaskan. Mungkin karena melihat kedua alisku yang mulai b
Read more
Bab 253.  Pintu Cinta
Rasa cinta yang berangkat dari rasa kasihan, merupakan pintu masuk yang paling indah. Karena ini tidak menitikberatkan pada keindahan yang bersifat semu.*Mata ini memindahi laki-laki di sampingku. Sosok yang hampir bernilai sempurna. Secara fisik sudah melebihi kata cukup.Walau tidak muda lagi, tetapi tubuhnya tinggi dan tidak ada gumpalan lemak yang menandakan seorang om-om. Wajahnya apalagi. Di bingkai dengan rambut lurus sebahu dan mata sipit tetapi berkulit gelap. Secara kepintaran juga melebihi laki-laki pada umumnya. Dia lulusan S2 dari Eropa yang menunjukkan seberapa kualitasnya.Dan, yang paling aku acungi jempol, dia memiliki hati yang baik. Aku saksinya.Namun, apa yang dia miliki tidak membuatnya cukup berani untuk menjalin hubungan serius dengan perempuan. Selalu ada kata ‘tapi’ di setiap alasan.“Pak Tiok kenapa kasihan dengan Kalila saja. Banyak perempuan di luar sana yang teraniaya. Bahkan melebihi penderitaan Kalila,” cetusku sambil melihat perubahan raut wajahnya.
Read more
Bab 254.  Darah
Seperti orang linglung, aku terdiam tidak tahu harus berbuat apa. Pikiranku kosong, bahkan apa yang dikatakan Bik Inah dari seberang saja, tidak aku tangkap dengan jelas. Yang ada di pikiranku, Tias susternya Danish kecelakaan. Bukankah dia bersama Amelia? Terus, bagaimana dengan anakku itu?“Ada apa, Ran?!” Suara keras Pak Tiok mengagetkan aku, menyadarkan dari pikiran jelek yang bergulir di kepala ini.“Amelia. Amelia dan suster kecelakaan,” sahutku. Aku menatapnya dengan tatapan kecemasan, tangan ini pun meremat erat ujung baju, mengurai resah yang mulai membuncah ini.“Tenang, ya. Setelah keluar jalan tol, kita sudah dekat dengan rumah,” serunya, kemudian menambah kecepatan, dan kembali memusatkan pada jalanan yang mulai memadat.Sedangkan aku, sibuk menata hati yang gundah. Apalagi, semua ponsel tidak bisa dihubungi. Pak Maman, Amelia, bahkan nomor ponsel Satpam. Aku menyerah, dan berakhir dengan menatap jendela mobil sambil melantunkan doa agar semua baik-baik saja.Kepadatan
Read more
Bab 255. Kalian Punya Musuh?
Sahabat itu saudara yang tidak terikat dengan darah. Perhatian mereka tidak hanya sebatas saat kita senang, justru dalam keadaan susah yang menunjukkan kadar ketulusan mereka.Sepert saat ini, saat Mas Suma tidak ada di rumah, Pak Tiok dan Dokter Hendra menjadi sandaranku. Mereka mengambil alih urusan yang berhubungan dengan peristiwa ini. Dokter Hendra fokus dengan korban kecelakaan, sedangkan Pak Tiok melakukan penyelidikan dan pengamanan di rumah.Sesampai di rumah sakit, aku langsung disambut Dokter Hendra. Dia menjelaskan keadaan Amelia yang baik-baik saja, sedangkan Tias sudah stabil tetapi membutuhkan perawatan lebih lanjut. Benturan di kepala mengharuskan dia menjalani banyak test untuk memastikan dia baik-baik saja.“Tolong kasih perawatan yang terbaik untuk Tias.”“Iya, Ran. Dari mereka datang, aku sudah berusaha yang terbaik mungkin. Kalian ini sudah menjadi tanggung jawabku, jadi jangan kawatir. Apalagi Suma tidak ada di tempat, kan?”Mendengar dia menyebut nama suamiku, k
Read more
Bab 256. Pelakunya Sama
Belum aku menyampaikan yang ada di pikiranku, ponselku dengan panggilan nomor luar negeri masuk. Nomor yang biasanya digunakan oleh Mas Suma.“Rani! Kamu baik-baik saja!” serunya saat aku membuka layar ponsel. Wajah Mas Suma menunjukkan kekawatiran yang sangat. Apa dia tahu kecelakaan ini?“Aku baik-baik saja, Mas. Tapi—““Tapi, apa?”Belum aku sempat menjawab, dia langsung mencecar pertanyaan. Apalagi setelah mendengar suara Dokter Hendra, dan mungkin melihat di belakangku terlihat bukan ada di rumah.“Kamu ada dimana? Tidak ada di rumah, ya? Di rumah sakit? Kok ada suaranya Hendra?!”“Iya. Aku ada di rumah sakit Dokter Hendra.”“Jadi yang foto yang mereka kirim itu benar? Kalian mengalami kecelakaan?!” seru Mas Suma.DEG!Foto? Maksudnya apa? Spontan aku menoleh ke arah Dokter Hendra. Kemudian dia bergabung berbicara online dengan kami.“Coba kamu lihat file yang aku send. Itu yang mereka kirim kepadaku!” Mas Suma menunjukkan wajah tegang.Mas Suma mengirim ke ponsel Dokter Hendra.
Read more
Bab 257. Pantauan yang Keliru
“Aku curiga, pelakunya sama dengan yang sebelumnya.” Ucapan Mas Suma yang mematik otakku bergulir liar dengan kejadian yang belum terungkap. Kejadian yang terbersit saat Dokter Hendra bertanya tadi. Ya, orang yang menerorku dengan mengirim foto-foto Mas Suma yang menyebabkan aku berburuk sangka. Sekaligus, orang yang menipu perusahaan dengan berpura-pura menjadi investor dan berujung dengan pemotretan di ranjang. POV Kusuma Hati ini merasa ada yang hilang dan kurang saat jauh dari keluarga. Saat kerinduan akan rumah terbersit, aku mencium syal yang selalu tersematkan di leher ini. Begitu juga saat lelah ataupun pikiran ini penat. Membauinya, melemparkan pikiran ini merasa berada di dekatnya. “Tuan Kusuma, syalnya sudah saya sisihkan, dan saya letakkan di dekat pakaian yang akan dikenakan besuk,” ucap Desi sekretarisku, saat aku mencari baju yang aku pakai sebelumnya. Dia tidak hanya handal dalam pekerjaan, tetapi mengerti apa yang aku sukai. “Kamu tahu aja. Jangan di loundry, ya
Read more
Bab 258.  Dugaan
Perempuan itu berbelok sesuai anak panah yang bertuliskan ‘DISCOTHEQUE’. Langkah panjangnya terhenti berberapa saat, dan kembali ditegakkan dengan pongahnya.Di ujung langkah, pintu besar menyambut, dan hingar bingar suara musik memeluk siapa saja yang datang. Sinar lampu berputar, menyusup di keremangan. Memindai wajah dan tubuh yang mulai larut dengan suasana yang ditawarkan.Perempuan itu langsung menuju meja bar. Tidak dihiraukan sapaan memuja dan menggoda. Dia mendudukkan diri di kursi tinggi tanpa melepas topi yang menyembunyikan sebagian wajah. Dengan tergesa, dia membuka glove kulit, memunculkan jemari putih berhias kutek merah darah.“Margarita!” serunya saat Bartender mendekatinya.Koctail beralkohol campuran tequila dan lime juice tersajikan dengan gelas lebar berkaki. Dengan cepat, bibir merah itu menyentuh pinggiran gelas yang bertabur garam. Mereguk kenikmatan yang mengurai kepenatan. “Kasih saya double!” Telunjuk berkuku lentik itu mengacung, dan disambut anggukan s
Read more
Bab 259. Menghilangkan Ingatan Buruk
Semua menunggu kedatangan Mas Suma dengan bersiap sesuai perintahnya. Termasuk Pak Tiok. Kata Pak Maman, dia pulang ke rumahnya sebentar dan tengah malam kembali lagi. Penjaga rumahpun diberi arahan untuk tidak sembarang menerima tamu ataupun paket. Aura ketegangan menyelimuti rumah ini, seakan menghadapi musuh yang tidak tahu siapa dia. Aku juga disibukkan mendampingi Amelia dan Denish, karena ketidakadaan Tias. Untung saja, ada pengasuh pengganti teman mereka. Sedangkan Bik Inah mengawasi keperluan penjaga bersama pak Maman. “Ma, Amelia masih takut. Apa pelakunya penjahat yang mengincar Amel, ya? Seperti di cerita film itu? Nanti kalau mereka masih mengikuti Amel bagaimana?” Anak gadis ini semalam tidur denganku. Sesekali dia terbangun dengan keringat dingin. Jelas, ini menandakan trauma yang masih lekat di kepala. Tangannya selalu mengapit lengan ini. Bahkan sampai pagi menjelang, tidak dibiarkan aku meninggalkannya. “Kemungkinan, dia itu lalai, Sayang. Kadang, kecelakaan itu
Read more
Bab 260.  Pemulihan
“Om Tiok! Sini. Ayok makan!” teriak Amelia sambil melambaikan tangan kepada lelaki jangkung itu.Senyuman mengembang dan menyisakan mata tertinggal segaris. Dia melangkah menuju meja dapur dan meletakkan nampan yang dia bawa.“Mau?” tanyaku sambil menunjuk piringku.“Ada?”“Masih, Om. Amelia ambilkan, ya?” seru anak gadisku sambil beranjak dari tempat duduk.Sebenarnya ini aku hindari. Memasukkan laki-laki ke areal rumah saat suami tidak di tempat. Aku merasa ini tidak tepat, walaupun tidak ada niat apapun. Anggap saja saat aku tidka ada di rumah, kemudian Mas Suma memasukkan perempuan lain dan makan bersama. Pasti aku akan terbakar kalau mendapatinya.Namun, bagaimana lagi. Amelia sudah menyiapkan dan menyodorkan spagheti yang tersisa di atas kompor tadi.Aku menuangkan air putih dan menyodorkan.“Makasih,” sambutnya sambil tersenyum.Aku membalas dengan senyuman kaku. Seperti tahu ketidaknyamananku, Pak Tiok banyak berbincang dengan Amelia.“Ini dulu makananku setiap hari.” Pak Tio
Read more