Bab 5

Setelah tersadar dari pingsannya Kinanti duduk di kursi taman yang terletak di bagian belakang rumah, sesekali tangannya memijat kepalanya yang masih terasa sedikit pusing.

"Kinan!"

Renata memanggil, hingga membuat Kinanti tersadar dari lamunan panjangnya.

"Iya Bu Renata." Dengan sigap Kinanti bangun dari duduknya, menatap Renata yang kini berdiri di hadapan nya.

"Buatkan saya makanan, saya sedang lapar!"

Kenapa harus Kinanti, bukankah ada ART lainnya?

Kinanti Anastasia seorang perawat cantik yang bekerja merawat dua bocah kecil keluarga Sanjaya, namun anehnya Renata malah memerintah nya untuk memasak.

Sedangkan tugas Kinanti hanya mengurusi kebutuhan dua bocah lucu.

Tidak ingin berdebat, kaki Kinanti segera berjalan kearah dapur.

"Mbak Kinan, masak apa?" sepulang sekolah Davina langsung mencari Kinanti di dapur, kali ini pun sama.

"Eh, Vina, Mbak Kinan masak makanan buat Tante Renata."

"Mbak Kinan, buatin Vina telur mata keranjang dong!" celetuk Davina, tetapi maksudnya adalah telur mata sapi.

Kinanti tersenyum, sejenak menjauh dari pekerjaannya lalu berjongkok menatap Davina.

"Mata sapi cantik," Kinanti menarik hidung Davina dengan gemas.

Davina cengengesan tidak jelas, karena memang ia sangat menyukai Kinanti.

Makanan tersusun rapi di atas meja makan, Adam dan Renata siap menikmatinya.

"Hey, mau kemana?"

Kinanti urung untuk melangkah pergi, dengan perasaan tidak karuan Kinanti tetap berusaha berdiri di tempatnya. Memandang kemesraan Adam dan Renata sudah menjadi hal yang biasa.

Tidak bermaksud cemburu. Akan tetapi perasaan Kinanti saat ini sangat tidak karuan, kadang ingin marah tanpa ada alasan yang jelas. Bahkan kadang ingin menangis, pernah juga Kinanti tertawa tanpa sebab jelas.

"Buatkan jus jeruk!" Renata masih cukup kesal pada Kinanti yang terus di khawatirkan Adam seperti pagi tadi, dan saat ini Renata ingin melepaskan dengan memerintahkan Kinanti sesukanya.

Kinanti masih mengangguk, kemudian membuatkan apa yang diperintahkan oleh Renata.

"Mbak Kinan!!!"

Suara teriakan Davina seakan membuat satu isi rumah terkejut, dengan langkah cepat Adam, Renata, Sarah, serta Kakak sulung Adam bernama Hanna langsung berlari menuju dapur.

"Mbak Kinan!!!"

Kinanti terkulai di lantai tidak sadarkan diri untuk yang kedua kalinya pada hari yang sama, hingga Davina berteriak histeris.

Dengan cepat tubuh Kinanti di angkat menuju sofa.

Adam terdiam, hasil pemeriksaan masih saja sama. Kinanti memang tengah mengandung.

"Sayang!" pekik Renata kesal, karena Adam hanya diam larut dalam pikirannya.

Adam seketika tersadar, berulang kali hanya bisa meneguk saliva yang terasa pahit. Apa yang akan terjadi jika semua anggota keluarga tahu tentang kemalangan nya.

Apa itu anak ku?

Apa yang harus ku lakukan?

Kepala Adam penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak memiliki jawaban.

Mata Kinanti mulai bergerak, sesaat kemudian mata itu terbuka melihat banyak orang di sekelilingnya dengan kebingungan.

"Mbak Kinan enggak papa kan?" terlihat raut wajah panik Davina, gadis kecil yang di asuh Kinanti dari semenjak kecil.

Kinanti menggeleng, sambil mendudukkan tubuhnya.

"Kamu istirahat di kamar dulu," ujar Sarah.

Kinanti mengangguk, dengan perlahan bangun lalu berjalan menuju kamar. Belum satu menit pun pintu kamar Kinanti tertutup tetapi sudah terbuka kembali.

Seorang pria dengan tubuh jangkung tiba-tiba masuk tanpa ijin, memutar kunci dengan secepat mungkin.

"Itu anak siapa?"

Suara serak dan tertahan itu terdengar begitu dingin.

Kinanti terdiam tanpaknya Adam sudah tahu tentang kehamilan yang sengaja di tutupi begitu rapat.

Kinanti juga begitu shock saat melihat dua garis meras yang muncul, saat pagi tadi mencoba alat uji kehamilan.

Tapi saat ini Kinanti bagai di tikam ribuan belati, tubuh lelah nya langsung duduk di atas lantai. Sakitnya, tiada banding. Perihnya jangan ditanya lagi, luka ini sangat menyakitkan.

"Saya tidak semurahan itu Tuan, saya akan pergi. Anda tidak perlu takut!" Jawab Kinanti dengan menguatkan perasaan yang sakit, pertanyaan Adam sangat tajam melebihi tajamnya belati.

Dengan cepat Kinanti menuju Almari, menyambar baju yang terlipat dengan rapi dan memasukannya kedalam Tas.

Setelah selesai Kinanti langsung melengos pergi, meninggalkan Adam yang masih berdiri mematung di tempatnya.

------

Di ruang keluarga Sarah dan juga kedua cucunya tengah menonton televisi, akan tetapi tiba-tiba di kejutkan dengan kedatangan Kinanti sambil membawa tas cukup besar.

"Saya mohon Bu, saya pulang hanya beberapa waktu sampai saya sembuh. Setelah sembuh saya akan kembali, saya rindu ibu saya."

"Mbak Kinan, Davi enggak mau di tinggal," rengek Davina.

"Davi sayang sama Mbak Kinan?"

Davina mengangguk, pipi gembul nya sangat menggemaskan.

Kinanti berjongkok di hadapan Davina, agar tinggi mereka sejajar.

"Mbak Kinan lagi sakit, nanti kalau Mbak Kinan sudah baikan pasti Mbak Kinan balik lagi."

"Janji ya Mbak Kinan."

Kinanti mengangguk lemah, hatinya terasa sakit harus berjauhan dengan dua anak majikannya yang sangat menyayangi dirinya.

-----

Rumah sederhana, tempat dimana Kinanti di besarkan. Terletak di pinggir kota, masih saja sama semenjak satu tahun lalu mengunjungi Ibunya.

Sebenarnya Kinanti ragu untuk pulang ke rumah itu, semenjak kedua orang tuanya bercerai. Kasih sayang Ibunya pun tidak lagi ada, apa lagi Ayah tiri Kinanti yang tidak suka pada dirinya.

"Akhirnya kau kembali, setelah sekian purnama." Lihatlah wanita paruh baya itu, Fatimah wanita yang melahirkan Kinanti terlihat tidak perduli pada dirinya.

"Ibu apa kabar?"

Kinanti tetap berusaha menghormati Fatimah, sekalipun tidak sebaliknya.

"Baik."

Kinanti berjalan menuju kamar lama miliknya, akan tetapi kamar itu sudah di berpindah menjadi milik adik tirinya. Putri.

"Ngapain Lo!" tidak ada raut wajah bahagia saat melihat kedatangan Kinanti, bahkan hanya terlihat raut wajah kebencian yang ada.

Kinanti hanya diam dengan tangannya meletakan tas besar berisi pakaian. Kemudian mengambil handuk dan pergi menuju kamar mandi yang terletak di dapur, rumah sederhana itu memang hanya memiliki satu kamar mandi saja.

Sehingga siapa saja yang ingin mandi harus bergantian.

"Kinanti!!!"

Wajah marah Fatimah terlihat jelas, tangannya memegang alat tes kehamilan yang ia temukan tergeletak di lantai kamar mandi. Fatimah yakin itu milik Kinanti, sebab setelah Kinanti menggunakan kamar mandi Fatimah lah yang masuk.

"Dasar murahan, kau hamil anak siapa!!!!"

Fatimah langsung menarik handuk yang menutupi rambut Kinanti.

"Sakit Bu," rintih Kinanti dengan air mata yang terus mengalir.

"Jalang sialan! Keluar dari rumah ku. Jangan sampai tetangga di sini tahu kau hamil tanpa suami!"

Fatimah berapi-api, tangannya menyeret Kinanti keluar dari dalam rumah. Di susul dengan pakaian yang di lemparkan pada wajah Kinanti.

"Pergi dan jangan kembali lagi ke rumah ini jalang!"

Teriak Fatimah tanpa ampun.

"Bu."

"Pergi! Kau sangat memang jalang. Pantas saja kau kembali ke rumah ini, dasar anak pembawa sial!"

Related Chapters

Latest Chapter