Bab 7

Rahmat sangat menyayangi Kinanti, sekalipun sudah bercerai dari Fatimah. Hanya saja Kinanti tidak bisa tinggal bersama dengannya karena, Lastri tidak menyukai Kinanti.

Rahmat mempersilahkan Kinanti dan Adam masuk, duduk di kursi kayu yang terlihat begitu kusam. Tetapi, bersih karena rajin di bersihkan.

"Saya Adam Pak." Adam mulai mengutarakan maksud dan tujuannya menemui Rahmat, "Saya datang ke sini, ingin meminta Bapak untuk menikahkan kami," jelas Adam sambil melihat mata Kinanti yang berkaca-kaca menahan sesak di dada.

Lastri terlihat tidak suka, bahkan untuk air putih saja tidak ada terhidang.

"Saya terserah kepada Kinan saja," Rahmat menatap wajah Kinanti yang menahan air mata, tanpaknya Rahmat tahu putrinya tidak baik-baik saja.

"Saya ingin Bapak menikahkan kami saat ini juga," kata Adam lagi.

Rahmat cukup shock, kemudian ia beralih menatap Kinanti penuh tanya.

"Hay, kenapa harus buru-buru. Apa sudah apa-apa?" tanya Lastri dengan sinis.

"Ibu," Rahmat menegur istrinya, tapi Lastri membalas dengan tatapan sinis.

"Kalau tidak apa-apa, kenapa harus buru-buru?" Mata Lastri melebar dan menatap perut Kinanti yang masih rata. Tetapi pikirannya sudah jauh kemana-mana.

Yakin jika Kinanti adalah wanita nakal, bahkan dengan berani menggoda pria yang sudah beristri.

Adam menarik napas panjang, berpikir wajar jika Kinanti begitu tertekan melihat tidak ada yang peduli pada nasib malangnya.

Lagi-lagi Adam semakin yakin dengan keputusan untuk menikahi Kinanti.

"Iya, saya sudah mempunyai istri. Akan tetapi kami juga harus menikah," ujar Adam dengan tegas, bagaimana pun ia harus bertanggung jawab atas janin yang ada di rahim Kinanti.

"Waw!!!" Lastri berseru, seakan menatap Kinanti dengan rendah.

Ternyata apa yang barusan di pikirkan sangatlah benar, anak tirinya memang wanita liar.

Rahmat tidak memiliki alasan untuk tidak menikahkan Kinanti, entah mengapa Rahmat dapat melihat ketulusan pada Adam mungkin setelah menikahkan keduanya Kinanti bisa merasakan sedikit kebahagiaan.

Walaupun terasa berat, mengingat Kinanti akan menjadi istri kedua.

Setelah sepakat, akhirnya pernikahan benar di lakukan malam itu juga.

Tidak ada gaun, tidak ada cincin, tidak ada pesta seperti apa yang di impian Kinanti sejak kecil, menjadi seorang Cinderella menaiki kereta kuda dengan pangeran impian.

Air mata jatuh begitu saja, untuk kali ini tidak dapat menyembuhkan rasa pilu seperti biasanya.

"Saya terima nikahnya, Kinanti Anastasia binti Rahmat dengan mahar tersebut di bayar tunai!"

Kinanti Anastasia, kini sudah menjadi istri siri dari Adam Agatha Sanjaya lebih tepatnya terpaksa menjadi istri kedua.

Keduanya hanya diam seakan terasa asing sambil menahan perasaan tidak karuan, sakit, perih dan pedih tercampur menjadi satu.

Di teguk paksa bagai racun, tetapi entah sampai kapan bisa terus menahan siksaan.

Pernikahan siri, dengan saksi beberapa tetangga saja tanpa ada pihak keluarga Adam.

Sampai akhirnya malam semakin larut, ponsel Adam terus berdering seorang istri tengah merindukan suaminya yang belum kembali sampai saat ini juga.

Adam memilih mendiamkan, tidak menjawab karena Rahmat duduk saling berhadapan dengan nya.

"Saya harus kembali ke kota malam ini juga, tetapi-" Adam diam sejenak sambil menatap Kinanti, "Tetapi, Kinanti akan saya tinggalkan di sini dulu, nanti saya akan kembali untuk menjemputnya," lanjut Adam kembali menatap Rahmat.

"Hem!" ejek Lastri dengan wajah sinis, sangat tidak suka pada Kinanti.

Adam mengambil dompet pada saku celana, lalu mengambil lembaran rupiah dan memberikannya pada Lastri, "Ini Bu mung-"

Dalam sekejap Lastri langsung mengambil alih uang tersebut, menghitung dengan bahagia.

Rahmat menggeleng dan merasa malu.

"Sebulan juga tidak apa kalau kau mau di sini," Lastri terlihat bahagia, apa lagi dengan uang yang mungkin sampai lima juga di tangannya.

Tidak bisa berbuat apapun, bertanya sekalipun Kinanti tidak memiliki keberanian padahal Adam kini sudah sah menjadi suaminya.

Duduk di atas kursi kayu dengan air mata yang terus menemaninya tanpa bisa berbicara.

"Saya akan menjemput mu, tunggu dalam beberapa hari ini," pamit Adam.

Tidak mengangguk, tidak menggeleng, apa lagi bersuara. Kinanti hanya terdiam mencari kekuatan agar tetap bertahan hidup demi nyawa yang tumbuh di rahinnya.

Related Chapters

Latest Chapter