Bab 8

Kinanti tidak tahu dimana letak kesalahan nya sehingga saat ini bisa terjebak dalam situasi yang begitu menyulitkan.

Terkadang bingung akan takdir yang seakan mempermainkan bertanya-tanya mengapa harus ia yang berada di posisi ini, bahkan tidak jarang Kinanti iri melihat kebahagiaan orang-orang di luar sana.

Mengapa tidak bisa seperti mereka, jalan terjal yang di lalui terasa begitu sulit. Kadang kala pernah berpikir untuk mengakhiri hidup demi mengakhiri takdir.

Tapi tidak. Kinanti masih berusaha untuk bertahan berdiri tegak dan meyakinkan diri akan ada secercah kebahagian setelah kesakitan.

"Sudah satu minggu kau berada di rumah ku! Mana suami mu itu? Apa jangan-jangan kau cuman di nikahi lalu, di buang seperti sampah!"

Mata Lastri seakan menatap remeh, tapi sejenak Kinanti juga membenarkan apa yang dikatakan oleh Ibu tirinya.

Menuangkan air pada gelas dan meneguk dengan perlahan, sekalipun hati terasa gundah harus berusaha terlihat tegar.

"Sejak kapan aku menjadi lemah, bangkin Kinanti. Ini hanya bagian kecil dari hidup mu. Bukankah kau terbiasa di terjang gelombang, terombang-ambing tanpa arah, lalu apa mungkin kau lemah saat ini." Dalam hati Kinanti terus berusaha untuk menyemangati diri, demi janin yang kini tumbuh di rahinnya.

Suara ketukan pintu membuat Kinanti tersadar, Lastri berjalan cepat ke arah pintu.

Seorang pria datang dengan membawa buah tangan, bibir Lastri tersenyum lebar.

"Adam kau datang?" Sambutan terlihat begitu hangat, apa lagi saat mata Lastri menatap banyak barang yang di bawa Adam.

"Ini Bu ada-"

Masih seperti kemarin, Lastri langsung mengambil alih tanpa merasa sungkan sedikitpun.

"Nak Adam sudah lama sampai?"

Rahmat mendengar dari kamar ada suara pria, hingga keluar dan melihat menantunya Adam.

"Duduk."

"Terimakasih."

Mata Adam melirik Kinanti yang duduk di kursi meja makan sederhana, diam tanpa kata apa lagi tersenyum.

Tidak ingin terus menjadi pusat perhatian Adam, Kinanti kemih memilih bangun dari duduknya melangkah menuju kamar, mencoba untuk tetap berpikir positif.

Tanpa di duga Adam juga menyusul masuk kedalam kamar. Kamar dengan ukuran 3×4, bahkan hanya bernapas juga sangat sulit.

Keduanya hanya diam, hening tanpa ada suara untuk memecahkan keheningan. Mengingat keduanya tidak pernah saling bertutur sapa, ataupun saling menegur satu sama lainnya selama Kinanti menjadi pengasuh dua keponakan Adam.

"Kita akan ke kota, bereskan semua barang-barang mu."

Kinanti hanya diam, berdiri di depan jendela menatap keluar.

"Cepat, saya tidak punya banyak waktu!" Adam menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan, kemudian kembali menatap Kinanti.

"Kalau Anda tidak ingin ke rumah ini tidak usah Tuan!" Mata yang berkaca-kaca seakan menggambarkan perasaan Kinanti, tidakkah Adam tahu bertapa Kinanti sangat menderita dengan posisi nya saat ini.

"Maaf."

Tidak pernah terbesit menjadi istri kedua di benaknya Kinanti sangat terluka tetapi, keadaan masih saja memaksa.

Sekalipun air mata terus bercucuran Kinanti tetap mengemasi pakaian untuk di bawa kemana pun kaki melangkah.

Sepanjang perjalanan menuju kota, Kinanti dan Adam hanya diam tanpa berbicara. Sesekali hanya terdengar suara deru mesin dan beberapa mobil yang juga melintas. Hingga keduanya sampai pada rumah yang di tuju, Adam memberhentikan mobilnya lalu melirik Kinanti yang duduk di sampingnya.

"Turun."

Sebuah rumah sederhana tetapi masih lebih baik jika di bandingkan dengan rumah kedua orang tuanya, Kinanti menatap sekitarnya dengan tas di tangan. Melangkah masuk tanpa tahu apa tujuan Adam membawanya ke rumah itu.

"Mulai saat ini kau tinggal di sini, aku akan menjenguk mu setiap harinya. Jarak dari rumah sakit kesini hanya memerlukan waktu lima menit." Papar Adam.

Kinanti tertegun, kalimat mengatakan "akan menjenguk" seakan membuat nya tersenyum getir.

"Aku ini istri atau tetangga? Sungguh miris." Batin Kinanti.

Lagi-lagi hanya bisa diam sambil mengusap dada.

Adam pergi begitu saja, Kinanti terdiam sambil menitihkan air mata. Menunduk sambil memeluk perut yang masih rata menatap Adam dari pintu yang terbuka hingga menghilang setelah masuk ke dalam mobil nya.

"Kita berjuang bersama."

Kinanti berbicara pada janinnya, seakan kini menemukan alasan untuk tetap berdiri dengan tegak.

Tidak memakan apapun dari semenjak pagi tadi membuat perut Kinanti terasa lapar, mata Kinanti menatap jam dinding ternyata waktu sudah hampir sore.

Mencari dapur dan melihat apa saja yang bisa di makan, tidak ada bahan makana sama sekali. Kinanti mendesus meresapi rasa lapar yang seakan semakin menyiksa.

Cukup jauh Kinanti berjalan, sampai akhirnya netral nya menatap penjual nasi goreng di pinggir jalan. Ulu hati terasa semakin perih dengan cepat menyebrang jalan raya tanpa melihat kanan atupun kiri.

"Aaaaaaa!!!!"

Teriak Kinanti saat sebuah mobil hampir saja menghantam, lama terdiam merasakan tidak ada yang terasa hingga dengan perlahan mulai membuka mata.

Related Chapters

Latest Chapter