Diavolo menatap tepat ke mata Uriel, lalu tersenyum. “Aku percaya padamu.”Sekelebat ingatan mengenai obrolan mereka kembali muncul. “Apa maksudnya dengan percaya padaku? Apa dia memang mudah sekali percaya pada orang asing? Dan kenapa dia selalu tersenyum manis seperti itu?” Tepat setelah monolog itu terucap dari bibirnya, Uriel langsung menggelengkan kepala cepat-cepat. “Apa yang barusan ku katakan? Senyumannya manis? Yang benar saja.”Sosok Iblis berambut merah itu benar-benar jauh dari bayangannya yang terkesan kejam dan tidak berhati nurani. Ternyata Diavolo tak semenakutkan itu. Dan Uriel baru menyadari bahwa dia sangat penasaran dengan sosok Diavolo yang baru saja ditemuinya. Apakah iblis itu berbeda dengan iblis kebanyakan? Atau barangkali itu hanyalah topeng semata?“Sudah lah, jangan terlalu memikirkannya,” monolog Uriel. “Lebih baik aku istirahat saja hari ini.”Hari pertama dilalui Uriel dengan sarapan -tentu saja- yang ternyata dihidangkan langsung oleh koki kerajaan ke d
Detik jarum jam memenuhi seisi ruangan. Eksistensinya lebih daripada sebuah pajangan semata, benda itu lah yang pertama kali membangunkan sosok yang sedari tadi terlelap di atas ranjang. Kelopak mata itu mulai terbuka, sedikit demi sedikit untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Dia tak bisa memperkirakan perpindahan waktu di sini, mengingat Devildom terletak di kerak bumi terdalam sehingga tak mendapat sinar matahari yang cukup.Tunggu, Devildom?Uriel memejamkan matanya lagi, berharap keberadaannya di sarang para Iblis adalah mimpi saja. Berharap jika ingatan mengenai hubungannya dengan Diavolo tidak benar-benar menjadi nyata. Dia pun mencoba bangkit dari ranjang, tetapi sekeras apa pun usahanya untuk berdiri, tubuhnya tetap menempel di atas ranjang. Seolah ada sesuatu yang menahannya. Lantas dia menurunkan pandangan ke tubuhnya sendiri. Betapa terkejutnya Uriel kala mendapati dia tak mengenakan apa pun, hanya tertutupi oleh selimut. Tetapi itu bukan satu-satunya hal mengejutk
“Apa yang baru saja terjadi? Apa yang ku lakukan? Bagaimana bisa aku melakukannya?”Setelah kejadian beberapa saat lalu, Uriel menghabiskan waktunya dengan duduk termenung di taman. Tentu saja dia memilih sudut yang sepi, tak ingin kehadirannya dirasakan oleh makhluk lain, terutama sang pemimpin Devildom. Meski sebenarnya itu hal mustahil. Makhluk sekuat Diavolo tentu bisa menangkap keberadaannya saat ini juga, tetapi Uriel tetap berusaha untuk menjaga jarak. Kejadian yang menimpanya terasa berlalu dengan cepat, bahkan untuk dia cerna. Seperti mimpi buruk dan indah yang bercampur menjadi satu. Benang merah baru saja dipintal menjadi pilinan yang lebih besar dan rumit. Bahkan untuk dipecahkan oleh seorang Malaikat sepertinya.Uriel mengelus bibirnya sendiri. Sensasi lembut dan panas masih dapat dia rasakan. Ciuman yang menuntut tapi juga memabukkan.“Sendiri saja?”“Astaga!”Lucifer tersenyum sampai matanya membentuk bulan sabit. “Apa yang membuat Malaikat tingkat tinggi sepertimu tak
Terbangun karena rasa pusing bukanlah cara paling benar untuk mengawali hari baru. Uriel mengerang sambil menekan kepala dengan kedua tangan. Tubuhnya terasa dingin dan lengket secara bersamaan, terutama pada tubuh bagian bawah. Ini disebabkan karena dia tidur dengan bertelanjang total, hanya selimut yang menutupinya tetapi tak cukup untuk menghalau udara dingin.‘Tumben sekali dingin, biasanya ruangan ini panas.’Kata panas mengingatkannya pada sederet kejadian luar biasa -jika dia boleh menilai dapat mencapai bintang 10/10- yang terasa seperti mimpi. Namun secara mengejutkan dia dapat merasakan sebuah benda tersemat pada jari manisnya. Seperti adegan dalam mimpi semalam.‘Oh, ini bukan mimpi...’Lalu sebuah suara menyapanya. “Oh hey, kau sudah bangun? Aku membuatkanmu sarapan.”Seketika itu pula Uriel langsung bersembunyi di bawah selimut. “Ja-jangan mendekat!”Diavolo mengernyitkan alis, tampak keheranan sejenak kemudian mulai menyadari arah pembicaraan. Dia tersenyum, membawa namp
Kicauan burung, angin yang berdesir, juga derap langkah kaki tergesa-gesa menuju panti asuhan. Dua pemuda berbeda warna rambut itu tampak tak bisa menunggu lebih lama dan langsung berteriak di depan pintu panti.“Ian! Ian!”“Tolong! Ada warga yang jatuh dari tangga!”“Lukanya parah! Cepat keluar!”“Hey, bukannya hanya memar saja?”“Kalau kita tidak berlebihan, Ian tak akan cepat keluar.”“Jangan mengarang, Tenma.”“Eh, Ian...” Tenma –si pemuda yang berlebihan tadi– terkesiap ketika mendapati sosok Ian sudah ada di depan mata. Pria berambut cokelat muda dan wajah dingin itu menatap kedua orang yang bertamu tiba-tiba.“Aku sedang memisahkan obat-obatan sewaktu kalian berlarian ke sini,” katanya sambil menyilangkan tangan di depan dada. “Jadi, kalian tak perlu berteriak kencang seperti tadi. Kalian hanya mengganggu kenyamanannya yang lain– Hey!”Perkataan Ian terputus saat pemuda lain yang berambut pirang menarik lengannya. “Nanti saja mengomelnya, ayo cepat!”“Astaga... baiklah-baiklah
Kuas terarsir mengikuti garis terdahulu. Warna merah muda memoles kanvas, membentuk sosok indah dengan rambut panjang yang melambai-lambai, seolah tertiup oleh angin. Sedangkan matanya yang separuh terpejam menggambarkan kesenduan di dalam sana. Gumpalan awan merah muda dan jingga terlukis di belakang, lalu di bawahnya sederet prajurit berarmor emas tampak berbaris rapi. Dengan senjata di tangan, mereka berdiri seperti benteng kuat dan akan menghalau siapa saja yang menyerang. Malaikat penjaga, para prajurit dari pusat Cosmo, prajurit Athena.Alone memandang karya lukis terbesar yang pernah dibuatnya. Tergantung indah pada dinding Katedral pusat kota. Katedral yang selalu dikunjunginya sebagai pelayanan terhadap warga juga jemaat.“Kemampuanmu melebihi gosip.”Lantas Alone menoleh ke sumber suara. Di mana seorang pria dewasa berambut pirang panjang sedang memandang lukisannya.Pria itu kembali melanjutkan. “Lukisan itu seperti dapat hidup kapan pun.”“Siapa Anda?” tanya Alone.“Biarka
Matahari berkilau terang sekali menggantung di langit. Musim panas tak main-main kali ini. Membangkitkan jiwa-jiwa penuh semangat yang tak berhenti untuk bergerak maju. Berbanding terbalik dengan seseorang yang duduk termenung di bawah pohon.“Hari ini tampak cerah bukan?” katanya dengan pandangan kosong. “Benar-benar cerah, tapi kenapa aku merasa kosong di sini. Seperti bukan diriku yang biasa. Aku merasa terlupakan sesaat. Seperti roda yang tiba-tiba berhenti, begitu juga dengan waktu yang berhenti berputar. Padahal Sandrok sedang aman tapi...”“Apa kau baik-baik saja, unsuur?”Yup, laki-laki itu adalah Unsuur. Sang kapten civil corp yang tak pernah sekalipun melupakan kewajibannya untuk membawa kedamaian di Sandrok. Kota kecil dengan penduduk yang saling mengenal satu sama lain.“Aku baik-baik saja, hanya saja...” Unsuur mengambil batu yang ada di dekatnya. “Aku merasa batu ini lebih berguna daripada keberadaanku.”“Jangan konyol!”Unsuur meringis. “Maaf, tak akan ku ulangi lagi.”
Pembangun menggeleng, hidungnya menggesek tengkuk Unsuur, membuat Unsuur merinding seketika. “Rasanya sangat bosan menari tanpamu.”“Lalu, kau mau bagaimana?”Pembangun terkekeh kecil. “Menarilah bersamaku~”“Tapi aku tak pandai menari.”Pembangun melepaskan pelukannya, menjadikan Unsuur menoleh ke belakang untuk meringankan rasa penasarannya. Kini pembangun berwajah masam, kecewa atas sikap Unsuur yang menolak ajakannya. Tetapi alih-alih merasa ketakutan, Unsuur justru mengulum senyum. ‘Dia sangat menggemaskan~’ Unsuur membatin.“Ayo lah... biarkan aku mengajarimu caranya menari~”“Tapi –”Sebelum Unsuur menolak, pembangun sudah menarik tangannya. Dan Unsuur hanya bisa pasrah ketika dibawa ke tengah-tengah lantai dansa. Pandangannya terfokus ke arah tautan tangan mereka. Jari-jemari lembut pembangun menggenggam tangannya. Melihat itu membuat Unsuur menjadi lumayan tenang. Mungkinkah ini kekuatan cinta?“Ikuti saja musiknya.”Unsuur menelengkan kepala ke musik berasal. Kini lagu berte
Sepanjang jalan hanya diisi oleh keheningan. Juga langkah kaki mereka yang berjalan berurutan. Dua orang – lelaki dan wanita – berpakaian lebih kompleks dari yang lain memimpin, diikuti oleh tentara Germany yang menyasar, dan terakhir para tentara lainnya.Dua Germany masih tak habis pikir dengan ketenangan di tempat ini. Jauh dari kebisingan, jauh dari kerusuhan, jauh dari kata ‘Perang’. Pikiran mereka bertanya-tanya, bagaimana bisa ada tempat damai seperti ini di tengah-tengah peperangan? Mereka terhanyut dalam keasyikan batin sampai lupa untuk mengenalkan diri pada orang-orang baru ini.“Eum... Namaku Ronald, Nona?” Ronald menjadi yang pertama mengenalkan diri. Dia mengelap tangannya sendiri sebelum mengulurkannya ke arah wanita berkarisma di depannya.Si wanita menoleh, menatap uluran tangan, lalu tersenyum. “Fan, dan kau tak perlu memanggilku Nona.”“Ah... yah, Fan.” Ronald mengulangi nama itu untuk mengusir kecanggungan.“Kalau kau bermaksud mendekatinya, kau salah orang Bung! D
Terputusnya panggilan video membuat Kevin yang semula memasang tampang ceria kembali menjadi datar. Pandangannya menatap nanar ke ponsel yang telah menghitam sebelum beralih ke arah jendela. Menatap pemandangan dari luar, cukup banyak orang-orang berlalu lalang. Kebanyakan berpakaian seperti dirinya sedangkan yang lain berjas putih dan rapi. Lumayan membosankan tinggal disini, walaupun belum sampai seminggu. Rasanya Kevin ingin cepat-cepat keluar dari Rumah sakit sialan ini.Tempat yang katanya mampu membuatnya sembuh lebih cepat nyatanya hanya penjara yang mengekangnya hingga tak bisa bergerak leluasa. Di tambah dengan tangan kanan yang masih sangat sakit untuk di gerakan. Bagaimanapun juga dia tak bisa memaafkan pelaku di balik kejadian ini. Siapa lagi kalau bukan Tiara. Gadis itu sangat mencurigakan. Dan, sialnya mampu berpura-pura seolah tak terjadi apapun di depan Nia."Padahal mereka terlihat dekat," gumam Kevin. Banyak hal tak terduga yang tak bisa dia cari jawabannya. Tiara ta
Di salah satu hari menjelang musim dingin tiba, Desa Kanomiyama mendapatkan kunjungan dari Oda Toshihiro bersama dengan seorang koki Kastil bernama Hirokawa Fuji. Kedatangan mereka tak lain untuk membantu para masyarakat ditengah kesibukan mempersiapkan persediaan musim dingin. Karena siapapun di desa itu tahu jika musim dingin akan menjadi mimpi buruk karena mereka akan kesulitan berburu dan mengumpulkan kayu bakar. Terutama karena di tahun 1586, hutan menjadi tempat berbahaya yang dapat merenggut nyawa."Baiklah semuanya, hari ini kita akan mempraktikan cara memasak bebek yakitori dan manjuu babi hutan, cara ini sangat mudah dan kalian bisa memasaknya lain waktu."Fuji, sang koki istana mengangkat pisau daging lalu menghantamkannya ke arah bebek yang telah dibersihkan. Seluruh penduduk mengangguk-anggukan kepala mereka setiap kali mendengar penjelasan dari Fuji. Entah memang paham atau hanya mengikuti saja.Sebagai seorang koki kastil, keahlian Fuji tak diragukan lagi. Dalam waktu y
TAK! TAK! TAK!Ujung tajam pisau bergerak dengan cepat, memotong kentang di atas talenan kayu, membentuknya menjadi kecil memanjang. Suasana di dalam dapur terasa pekat akan keheningan. Tampak seorang gadis muda sedang menyibukkan diri dengan membuat hidangan lezat lainnya.“Apa semua sudah aman terkendali, Orion?” tanya seorang pria paruh baya dengan kumis putih di wajahnya. Dia adalah Butler yang bertugas mengawasi pekerjaan para Maid lain. Termasuk pada gadis yang tengah memotong-motong kentang tersebut.Orion – Maid muda – menatap tanpa ekspresi tertentu. “Makan siang akan siap sebentar lagi, Tuan Steve.”“Bagus lah kalau begitu.” Steve – si Butler – tersenyum. “Apakah ada yang perlu kau butuh kan lagi?”“Tidak ada, semua sudah aman terkendali.”“Tuan Arthur tak suka –”“Daun bawang, bukan?” Orion memotong ucapan Steve sebelum pria itu menyelesaikannya. “Dan tak ada daun bawang pada sebuah Poutine.”Steve membuka mulutnya, hendak menyangkal sebelum akhirnya dia menyadari satu hal.
“Dan.....?” desak Isafuyu.“Dan... tekun dalam berlatih.”“Dan....?”Nira mengernyitkan alis. Isafuyu terus meminta penjelasan meskipun dia telah menjawab seperti apa yang dia pikirkan. Tetapi, Nira tetap melakukan apa yang diminta Isafuyu meski dalam keadaan bingung.“Dan... pintar?”“Ah, ayolah! Apa kamu tak bisa berbicara dengan jujur?!”“Sssttt!!”Dan Isafuyu langsung mendapat hardikkan dari penjaga perpustakaan yang berada tak jauh dari mereka. Tak hanya itu saja, seluruh pasang mata pengunjung perpustakaan serentak menatap tajam ke arah mereka.“Jangan berisik Issa.” Nira mengingatkan.“Ugh...” Isafuyu menggigit bibirnya. “Kalau begitu, lebih baik kita pindah tempat saja!”Sebelum Nira melayangkan protes, Isafuyu sudah lebih dulu menarik tangannya, keluar dari perpustakaan. Wilayah sekolah masih tampak ramai oleh murid-murid yang sedang menghabiskan waktu istirahat dengan makan atau pun sekedar mengobrol. Tak banyak tempat yang masih sepi, sehingga Isafuyu memutar otaknya lebih
Seorang gadis berambut Electric blue tengah berjalan menuju sebuah bangunan megah di ujung jalan. Hari masih terlalu pagi – matahari bahkan belum cukup menapaki kaki langit – sehingga hanya terlihat rinai kekuningan bercampur biru. Udara dingin berembus meniup helaian rambut Electric blue, membuatnya sedikit berantakan sehingga gadis itu harus beberapa kali merapikannya. Waktu telah berjalan sekitar seminggu sejak pertama kali dirinya menjejakkan kaki ke sekolah ini.“Pagi Nira-san!” sapa seorang pria berambut panjang menepuk pundaknya.Nira Naeve – si gadis berambut Electric blue – berjingkat karena terkejut. Dia langsung menundukkan wajahnya begitu mendapati siapa gerangan yang memanggilnya tadi.“Pagi Izayoi-san.”“Kamu berangkat sangat pagi yah, benar-benar anak yang rajin!”“Ti... tidak serajin itu kok.”Nira merapikan rambut panjangnya yang menjuntai, tetapi lumayan susah karena dia terus menerus menunduk sehingga helaian rambutnya kembali jatuh.“Eh, sebentar.”Nira membeku saa
“Hey, it’s okay..” Unsuur berusaha menenangkan pembangun. Sekalipun perasaan getir menggaung dalam hatinya. Respon pembangun menjelaskan bahwa dia telah melupakan segala hal yang terjadi semalam setelah muntah. Begitu juga dengan ciuman singkat mereka.‘Memang apa yang aku harapkan? Dia hanya mabuk bukannya menanggapi dengan serius.’“Unsuur.”“Yeah...”Pembangun menunduk. Meski begitu, Unsuur dapat menemukan semburat rona yang menjalar dari wajah hingga telinga pembangun. Dia tengah bersemu. Tetapi keheningan ini membuat Unsuur merasa gelisah. Kalau-kalau pembangun malah mengingat hal yang tak mengenakan. Seperti...“Semalam, entah kenapa aku merasakan sesuatu yang lembut menempel di bibirku.”BADUM!“Kau yakin?”Pembangun mengedikkan bahu. “Entahlah... tak begitu yakin.”“Jika merasa tak enak, lebih baik lupakan saja.”“Tapi –”“Makanlah bubur itu, setelah itu akan ku antar kau pulang.”Dan Unsuur keluar dari kamar, meninggalkan pembangun di dalam kamarnya.‘Semestaku terhisap luban
Pembangun menggeleng, hidungnya menggesek tengkuk Unsuur, membuat Unsuur merinding seketika. “Rasanya sangat bosan menari tanpamu.”“Lalu, kau mau bagaimana?”Pembangun terkekeh kecil. “Menarilah bersamaku~”“Tapi aku tak pandai menari.”Pembangun melepaskan pelukannya, menjadikan Unsuur menoleh ke belakang untuk meringankan rasa penasarannya. Kini pembangun berwajah masam, kecewa atas sikap Unsuur yang menolak ajakannya. Tetapi alih-alih merasa ketakutan, Unsuur justru mengulum senyum. ‘Dia sangat menggemaskan~’ Unsuur membatin.“Ayo lah... biarkan aku mengajarimu caranya menari~”“Tapi –”Sebelum Unsuur menolak, pembangun sudah menarik tangannya. Dan Unsuur hanya bisa pasrah ketika dibawa ke tengah-tengah lantai dansa. Pandangannya terfokus ke arah tautan tangan mereka. Jari-jemari lembut pembangun menggenggam tangannya. Melihat itu membuat Unsuur menjadi lumayan tenang. Mungkinkah ini kekuatan cinta?“Ikuti saja musiknya.”Unsuur menelengkan kepala ke musik berasal. Kini lagu berte
Matahari berkilau terang sekali menggantung di langit. Musim panas tak main-main kali ini. Membangkitkan jiwa-jiwa penuh semangat yang tak berhenti untuk bergerak maju. Berbanding terbalik dengan seseorang yang duduk termenung di bawah pohon.“Hari ini tampak cerah bukan?” katanya dengan pandangan kosong. “Benar-benar cerah, tapi kenapa aku merasa kosong di sini. Seperti bukan diriku yang biasa. Aku merasa terlupakan sesaat. Seperti roda yang tiba-tiba berhenti, begitu juga dengan waktu yang berhenti berputar. Padahal Sandrok sedang aman tapi...”“Apa kau baik-baik saja, unsuur?”Yup, laki-laki itu adalah Unsuur. Sang kapten civil corp yang tak pernah sekalipun melupakan kewajibannya untuk membawa kedamaian di Sandrok. Kota kecil dengan penduduk yang saling mengenal satu sama lain.“Aku baik-baik saja, hanya saja...” Unsuur mengambil batu yang ada di dekatnya. “Aku merasa batu ini lebih berguna daripada keberadaanku.”“Jangan konyol!”Unsuur meringis. “Maaf, tak akan ku ulangi lagi.”