Home / Fantasy / The Second Life of Demon King / Episode 18: The Dilemma of Heart and Mind
Episode 18: The Dilemma of Heart and Mind
Author: Kaikazima4
last update2024-11-23 19:21:09

Isaac duduk termenung di tepi sungai, tubuhnya sedikit condong ke belakang, seolah-olah ingin menyatu dengan alam yang tenang di sekitarnya. Suara air yang mengalir pelan dan jernih itu menenangkan, tetapi tidak dapat meredakan badai dalam dirinya. Malam telah larut, dan langit gelap gulita, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang redup. Di sekeliling sungai, pohon-pohon tinggi berdiri kokoh, seolah-olah menyaksikan pertempuran batin yang berkecamuk dalam dirinya.

The river stretching before Isaac appeared serene, but the flowing water seemed to mock his inability to find peace within himself. Has this water ever felt restless? he wondered. Or does it simply know to flow, moving forward without regard for the past?

His gaze fell on the glimmering surface of the water, but the reflection of his face staring back at him was unrecognizable. Suddenly, memories of his past as Maximus Bloodthorn surged forward—when he ruled with an iron fist, spreading fear to anyone who defied him. He re
Continue Reading on MegaNovel
Scan code to download App

Related Chapters

  • The Second Life of Demon King    Episode 19: Encounter with the Basilisk

    Hutan lebat itu menjadi lebih sunyi saat Isaac melangkah hati-hati melewati semak belukar yang lebat. Suara langkah kakinya tenggelam oleh gemerisik dedaunan kering, seolah-olah bumi itu sendiri berbisik, memperingatkannya. Waktu berlalu perlahan, dan meskipun ketenangan itu memikat, Isaac tahu bahwa dengan setiap langkah ia semakin dekat dengan ancaman yang mengancam.Mata Isaac terfokus tajam, wajahnya menegang. Di tengah pepohonan yang tinggi dan lebat, sebuah bayangan bergerak perlahan. Itu adalah basilisk raksasa yang telah lama dicarinya. Tubuhnya yang hijau berkilauan tampak menyatu dengan sekelilingnya, tetapi matanya yang cerah memantulkan cahaya, menandakan kehadirannya."Jika mata itu menatapku, aku akan mati," pikir Isaac cemas, meski ketenangannya tetap utuh.Basilisk itu menatap Isaac dari balik pohon besar, matanya yang hijau terang menyala, tajam, dan mengancam. Setiap detik berlalu, jantung Isaac mulai berdetak lebih cepat. Ia tahu bahwa berhadapan langsung dengan mak

  • The Second Life of Demon King    Episode 20: A Tense Encounter.

    Langit memudar menjadi jingga saat Isaac tiba di tepi sebuah desa kecil. Gumpalan asap tipis mengepul dari rumah-rumah kayu yang tampak sunyi senyap, namun suasananya jauh dari kata damai. Udara terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang gelap mengintai di dekatnya. Isaac menyipitkan mata, tubuhnya menegang. Ada yang salah di sini.That’s when he saw him—a young sorcerer standing in the middle of the village road, dressed in a black robe that shimmered like a starry night. His long white hair cascaded down, a stark contrast to his pale skin. A wooden staff adorned with a purple crystal was tightly gripped in his hand. His bright violet eyes gleamed with sharp determination, staring directly at Isaac without fear.“Stop right there,” the sorcerer’s voice was clear, almost cold, yet full of alertness. “Who are you, and what are you doing here?”Isaac stopped, his hand instinctively reaching for the hilt of his sword. He studied the sorcerer carefully. “I’m just a wanderer,” he answered

  • The Second Life of Demon King    Episode 21: Mutual Respect

    Langit mulai memerah saat matahari terbenam, memancarkan cahaya jingga di antara pepohonan hutan yang gelap. Di tepi sungai kecil yang mengalir lembut, Isaac duduk bersandar pada batang pohon tua. Ia memegang pedangnya di pangkuannya, mengamati bilahnya yang penuh bekas luka pertempuran. Di seberang api unggun kecil, penyihir muda itu duduk dengan santai, memainkan tongkatnya sambil menatap Isaac dengan mata tajam namun penuh rasa ingin tahu.“Hm, jadi... kau selalu bertarung dengan gagah berani?” Sang penyihir akhirnya memecah keheningan, nadanya setengah bercanda namun penuh pengamatan.Isaac menoleh, wajahnya tak tergoyahkan. "Berani atau bodoh? Itu tergantung pada hasilnya," jawabnya dingin, lalu kembali memperhatikan pedangnya.Penyihir itu terkekeh pelan. “Mungkin sedikit dari keduanya. Tapi harus kuakui, kau punya... cara berpikir yang berbeda. Mencoba mengalihkan perhatian makhluk sebesar itu? Cukup berisiko.”"Risiko yang diperhitungkan," jawab Isaac singkat, meskipun dalam h

  • The Second Life of Demon King    Episode 22: The Hidden Connection

    Isaac berjalan pelan menyusuri koridor sempit perpustakaan, yang hanya diterangi oleh cahaya redup beberapa lilin yang tergantung di dinding. Suasananya mencekam, seolah-olah setiap rak buku dan setiap gulungan kuno menyembunyikan rahasia yang belum terungkap. Langkah kakinya bergema di dinding batu tua yang dingin, dan sesekali, derit lantai kayu rapuh di bawahnya dapat terdengar.Pikirannya berpacu, penuh dengan informasi baru yang baru saja ditemukannya. Ordo Senja. Nama itu bergema di benaknya, seolah menjanjikan kekuatan yang lebih besar dari yang dapat dibayangkannya. Saat membuka buku kuno yang penuh dengan tulisan yang hampir tidak terbaca, Isaac merasakan hawa dingin merayap dari ujung jarinya, menembus kulitnya.“Ini pastilah... The Dusk Order...” Isaac bergumam serak, matanya mengamati setiap kata di halaman di hadapannya.Setiap baris yang dibacanya hanya memperjelas siapa mereka—organisasi rahasia yang telah ada sejak zaman kuno, memengaruhi dunia sihir dan iblis. Mereka

  • The Second Life of Demon King    Episode 23: The Threat Emerging from the Shadows

    Isaac berdiri di puncak menara kuno, angin malam berputar-putar di sekelilingnya, membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang membusuk. Di bawah sana, kota yang sunyi tampak tenang, tetapi ketenangan itu menipu. Di antara bayang-bayang, sesuatu yang lebih gelap, lebih menakutkan, tumbuh. Seluruh tubuh Isaac gemetar, bukan karena dinginnya malam, tetapi karena gelombang energi magis aneh yang mulai menyelimuti langit.Di hadapan Isaac, sebuah bayangan bergerak perlahan, seperti kabut tebal yang mengalir di antara celah-celah batu. Rasa takut yang tajam menusuk hatinya. Ia tahu ini bukan sekadar pertanda—ini adalah ancaman yang lebih besar daripada yang pernah dibayangkannya."Ada yang salah..." bisiknya sambil menyipitkan matanya ke arah kegelapan di kejauhan.Langit di atasnya mulai berputar, seakan-akan dunia itu sendiri terperangkap dalam pusaran kekuatan yang mengerikan. "Aku harus mencari tahu apa ini," pikirnya, sementara angin menderu semakin kencang, hampir seolah-olah itu ada

  • The Second Life of Demon King    Chapter 24: The Inevitable Sacrifice

    Malam itu, angin bertiup dingin, membawa aroma lembap hutan yang dikelilingi kabut tebal. Isaac berdiri di tengah reruntuhan, matahari yang hampir terbenam menambah suasana suram di sekelilingnya. Dipenuhi penyesalan, ia menatap teman yang baru saja diselamatkannya—Sophie, yang terkulai lemas di tanah, bernapas berat, tetapi masih hidup."Sophie... kau... baik-baik saja?" Isaac berusaha keras menahan suaranya yang serak, matanya dipenuhi kekhawatiran. Ia meraih tubuh Sophie yang lemas, mengguncangnya pelan, mencoba menenangkan diri.Sophie perlahan membuka matanya, menatap Isaac dengan wajah penuh kebingungan dan kelelahan. "Isaac... kau... kau berhasil menyelamatkanku... tapi..." Suaranya melemah saat ia mencoba berdiri. "Tapi apa yang terjadi? Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada kita..."Isaac menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri meski jantungnya berdebar kencang. "Kita berhasil keluar... itulah yang penting," katanya, meski matanya tidak bisa menyembunyikan kekos

  • The Second Life of Demon King    Episode 25 : Mastering Advanced Magic

    Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya biru redup dari lingkaran sihir yang berdenyut di lantai batu. Isaac berdiri di tengah, bernapas dengan berat, keringat mengalir di dahinya. Udara dipenuhi dengan energi sihir yang bergetar, seperti angin tak terlihat yang menggoyangkan pakaian dan rambutnya."Fokus, Isaac. Jangan biarkan emosi menguasai dirimu," suara sang mentor terdengar tegas dari sudut ruangan, di mana ia berdiri dengan tangan terlipat, mengamati dengan tatapan tajam.Isaac memejamkan mata, merasakan aliran mana dalam dirinya. "Aku bisa merasakannya... seperti sungai yang mengalir deras. Tapi mengapa selalu terasa ada sesuatu yang menahannya?" pikirnya."Ayo, Isaac. Tunjukkan padaku apa yang pantas untukmu," desak sang mentor, suaranya menantang.Isaac mengangkat tangan kanannya, merasakan panas menyebar dari telapak tangannya ke ujung jarinya. Api biru muncul, kecil tetapi berdenyut dengan energi yang menakutkan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan ap

  • The Second Life of Demon King    Episode 26: Self-Doubt

    Di sebuah ruangan yang dipenuhi aroma ramuan dan cahaya biru lembut dari berbagai alat ajaib, Isaac duduk di meja besar, tangan kanannya menggenggam sebuah wadah kaca berisi cairan merah tua. Di sekelilingnya berjejer bahan-bahan alkimia—batu berkilau, herba, dan potongan logam yang dibentuk menjadi bentuk geometris yang rumit. Setiap elemen ini terasa seperti memiliki kehidupannya sendiri, memancarkan energi yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang cukup terlatih untuk merasakannya.Isaac menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri di tengah kecemasan yang terus menggeliat dalam dirinya. "Apa yang kulakukan?" pikirnya, menatap wadah di tangannya. Tangan kanannya sedikit gemetar, dan dia bisa merasakan kekuatan berbahaya yang kini berada di ujung jarinya.Kehadiran Lucas di pintu mengejutkan Isaac, menariknya keluar dari lamunannya. "Isaac, kau baik-baik saja?" Suara Lucas penuh kekhawatiran, tetapi matanya tajam, mengamati setiap gerakan Isaac.Isaac mengalihkan pandangan, m

Latest Chapter

  • Episode 43

    Arena yang tadinya riuh itu kini sunyi senyap. Penonton yang menyaksikan pertarungan antara Isaac dan Malgor berdiri membeku, dicengkeram oleh ketegangan yang memenuhi medan pertempuran melingkar itu. Angin panas membawa bau belerang, bercampur dengan debu yang beterbangan di udara.Isaac berdiri tegap, tubuhnya dihiasi luka dan goresan, tetapi matanya menyala dengan tekad yang tajam. Tangan kanannya terangkat, berdenyut dengan cahaya biru yang berdenyut seperti detak jantung. "Kau tahu, Malgor," katanya dingin, "pengkhianatanmu telah menyakitimu lebih dari yang kau sadari. Biar kutunjukkan padamu."Lingkaran sihir bercahaya muncul di sekitar Isaac, memancarkan energi yang menembus pikiran Malgor. Panglima perang yang menjulang tinggi itu, yang dulunya memerintah dengan mata merah menyalatiba-tiba goyah. Pedang besarnya terlepas dari genggamannya, jatuh ke tanah dengan bunyi gedebuk yang menggelegar."Apa ini?!" Malgor meraung, suaranya serak karena panik. Ia memegangi kepalanya, seol

  • Episode 42: The Traitor’s Trail

    Isaac berjalan di sepanjang jalan berbatu yang dingin, udara padat dari alam iblis menggigit kulitnya. Langit di atas berwarna abu-abu gelap, berputar-putar dengan awan yang bergulung-gulung yang kadang-kadang meledak dengan kilat merah, memecah kesunyian dengan guntur yang mengancam. Sisa-sisa kehancuran masa lalu berserakan di mana-mana—menara yang hancur, sisa-sisa kerangka raksasa, dan kota-kota yang runtuh yang tampaknya meneriakkan kisah-kisah sejarah yang tragis. Namun fokus Isaac tetap pada jejak samar di tanah berlumpur—jejak kaki yang dalam dan berat. "Ini hanya milik satu makhluk... Malgor." Isaac mengepalkan tinjunya, matanya menyipit karena kebencian yang membara. "Kau pernah bersumpah setia, Malgor. Apa yang membuatmu mengkhianatiku?"Ketika akhirnya dia mendekati benteng Malgor, dia berhenti sejenak untuk mengamati dari balik bayangan reruntuhan yang runtuh. Benteng itu menjulang tinggi, dinding-dindingnya yang hitam dipenuhi duri-duri tajam. Di atas gerbang utama, lam

  • Episode 41: The Guarded Gate

    The dark night sky enveloped them as Isaac and his group arrived at the location they had long searched for. These ancient ruins looked like the remnants of a forgotten world—tall cracked stone walls overgrown with glowing green moss, and grand statues weathered by time. The air around them felt heavy, charged with magical energy that vibrated in their bones. Each of their steps on the hard ground made a rustling sound, as if something was watching them."Is... is this the place?" Darius asked, his voice faltering as his eyes darted around, looking uncomfortable. "It feels like we're walking in another world."Isaac did not answer. His gaze was focused, his eyes glowing with a calculating gleam. "This is the first step toward my destiny," he thought, though his heart beat faster than usual.However, just before they could take another step, the atmosphere suddenly shifted. The calm wind turned into a cold breeze that howled, carrying a sharp metallic scent. From the shadows of the rui

  • Episode 40: A Fragile Balance

    Markas sementara Isaac, sebuah benteng tua yang tersembunyi jauh di dalam hutan lebat. Cahaya bulan bersinar di dinding batu yang runtuh, sementara suara burung malam dan angin sepoi-sepoi menambah suasana muram. Api unggun kecil di tengah aula utama menerangi wajah-wajah lelah sekutu Isaac. Isaac berdiri di ujung ruangan, jubah hitamnya menjuntai ke lantai. Tatapan tajamnya menyapu semua orang yang hadir. Cahaya redup menonjolkan garis-garis tegas di wajahnya, memperkuat perannya sebagai pemimpin di tengah kekacauan."Ini tidak bisa terus berlanjut," pikir Isaac sambil mengepalkan tangannya. "Aliansi ini harus diperkuat, atau akan runtuh sebelum misi ini selesai.""Aku harus bicara!" teriak Darius, suaranya menggema di aula yang sunyi. Tubuhnya yang besar dan berotot menegang, menunjukkan kemarahan yang tertahan. "Rencana ini semakin gegabah dari hari ke hari, Isaac. Kau ingin kami mengejar portal yang mungkin merupakan jebakan. Berapa banyak lagi nyawa yang harus dikorbankan demi

  • Episode 39: Recruiting New Allies

    Di sebuah desa yang hancur di tepi tebing, dengan langit kelabu yang menggantung rendah. Asap tipis masih mengepul dari pendingin, meninggalkan aroma terbakar dan kesedihan yang tertinggal di udara. Isaac berjalan perlahan, jubah hitamnya berkibar tertiup angin dingin. Tatapan tajam dan postur tubuh yang tegak memancarkan aura seorang pemimpin yang tak tergoyahkan. "Kekuatannya tidak bisa dibangun sendiri," pikir Isaac, matanya mengamati sekeliling yang suram. "Aku butuh sekutu, bukan sekedar alat. Mereka harus cukup kuat untuk bertahan hidup, tapi tidak terlalu pintar untuk melawanku."Di tengah-tengahnya, Isaac mendengar suara samar yang berasal dari bangunan yang sebagian runtuh. "Tolong...siapa pun..." Dia mendekati sumber suara itu dan mendapati seorang wanita muda, baru berusia dua puluh tahun, dengan luka di lengannya. Rambutnya yang merah gelap kusut karena debu dan darah, tetapi matanya berkilauan dengan kekuatan tertersembunyi. “Seorang penyihir,” gumam Ishak sambil berjo

  • Episode 38: The Rise of New Power

    Pagi menyingsing di medan perang yang dulunya merupakan benteng Oblivion Order, menandai dimulainya babak baru dalam sejarah manusia. Puing-puing dari benteng gelap berserakan di tanah sementara panji-panji aliansi berkibar tertiup angin dingin. Langit mendung sangat cocok dengan suasana hati Isaac yang muram.Isaac berdiri di atas reruntuhan, tatapan tajamnya tertuju ke cakrawala. Angin dingin menerpa wajahnya yang tanpa ekspresi, tetapi pikirannya terus berkecamuk."Mereka mulai melihat saya sebagai pemimpin. Itu berbahaya. Saya tidak butuh pengikut yang membabi buta."Kaelyn menghampirinya dengan langkah mantap, wajahnya menampakkan kebanggaan sekaligus kebingungan."Isaac," panggilnya. "Kita berhasil. Mereka sudah menyerah. Tapi apa yang terjadi selanjutnya?"Isaac menoleh padanya, matanya menyipit seolah sedang mengevaluasi sesuatu yang tak terlihat.“Kami perkuat posisi kami. Dan pastikan tidak ada yang berani menantang kami lagi.”Kaelyn mengangkat sebelah alisnya, suaranya ber

  • Episode 37: Forging New Alliances

    Gerimis turun perlahan di atap gudang tua, yang kini menjadi lokasi pertemuan rahasia Isaac. Di dalam, suasana dipenuhi ketegangan halus, diterangi oleh cahaya redup lentera ajaib di dinding bata. Empat sosok berdiri terpisah, masing-masing memancarkan aura misterius yang terasa berat di udara.Isaac, mengenakan jubah hitam dengan tudung yang menutupi sebagian besar wajahnya, berdiri di tengah ruangan, dengan lengan disilangkan. Matanya yang tajam mengamati setiap wajah, mencoba memahami maksud mereka."Mereka semua menyimpan dendam, tetapi apakah itu cukup untuk membuat mereka dapat dipercaya?" pikir Isaac, napasnya teratur dan terukur.Seorang pria kekar dengan bekas luka di lehernya melangkah maju, suaranya serak. "Mengapa kami harus percaya padamu? Banyak orang datang dengan janji-janji, hanya untuk memanfaatkan kami demi keuntungan mereka sendiri."Isaac menatapnya, tanpa ragu. "Aku tidak meminta kepercayaanmu, Rogar. Aku menawarkan kesempatan untuk menghancurkan musuh yang telah

  • Episode 36: The Secret Organization

    Angin malam menderu kencang, membawa aroma lembap dan metalik dari jalan-jalan sempit di kota tua. Isaac berdiri di bawah bayang-bayang jembatan batu yang gelap, jubah hitamnya berkibar ringan tertiup angin. Di depannya tampak sebuah pintu besar, ditandai dengan lingkaran yang tidak sempurna—satu-satunya petunjuk dari "Perintah Kelupaan.""Organisasi rahasia," pikir Isaac, tatapannya tertuju pada simbol itu. "Tapi cukup ceroboh untuk membiarkan energi jahat mereka terpancar begitu terang-terangan."Dengan jentikan tangannya, ia merapal mantra ilusi untuk menutupi auranya. Sebuah bola energi gelap membungkusnya sebentar sebelum masuk ke dalam kulitnya. Jubah gelapnya kini tampak usang dan compang-camping, mempertegas kedok seorang penyihir gelap tingkat rendah.Saat pintu berat itu berderit terbuka, Isaac menundukkan kepalanya, membiarkan bayangan menutupi sebagian besar wajahnya. Di dalam, ruangan yang remang-remang itu diterangi oleh obor-obor yang berkelap-kelip yang dipasang di dind

  • Episode 35: The Big Challenge

    Langit malam menyerupai kanvas gelap, dihiasi bintang-bintang redup yang berkelap-kelip di atas lapangan terbuka tempat Isaac berdiri. Angin dingin bertiup melalui lembah berbatu, membawa aroma tanah basah dan logam—pertanda buruk akan pertumpahan darah. Di depannya berdiri seorang pria jangkung, berjubah biru tua yang berkilauan seperti permukaan air di bawah sinar bulan. Wajahnya memiliki garis-garis tajam, dan matanya bersinar dengan aura magis, membuat udara di sekitarnya terasa berat."Isaac, si penyusup," suara penyihir itu bergema, diselingi ejekan. Tangan kanannya mengangkat tongkat yang diukir dengan naga melingkar di sepanjang tongkatnya. "Kau seharusnya tidak berada di sini."Isaac tersenyum tipis, yang mencerminkan rasa percaya diri sekaligus kelelahan. Tubuh manusianya terasa berat setelah serangkaian pertempuran yang telah dialaminya, namun matanya tetap tajam, penuh tekad. "Kau membuatku terdengar seperti ancaman besar," jawabnya ringan, meskipun nadanya mengandung anca

Scan code to read on App